"Saya datang untuk mendapatÂkan dukungan sekaligus pikiran-pikiran dari PGI untuk penunaian tugas kami nanti sebagai utusan khusus Presiden untuk dialog, kerja sama antaragama, dan peradaban," kata Din di Kantor PGI Jakarta Pusat, kemarin.
Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah itu menuturÂkan, kunjungan ini merupaÂkan mandat dari Jokowi untuk menjaga kerukunan antar-umat beragama di dalam dan luar negÂeri. "Karena mandat dalam kepÂpres itu selain mempromosikan kerukunan antar-umat beragama Indonesia di dalam negeri dan di luar negeri, juga harus diawali dan ini paling penting kita berÂsama-sama memberikan kerukuÂnan di dalam negeri khususnya antar-umat beragama," jelas Din Syamsuddin.
Lantas apa yang dibicarakan Din dalam kunjungannya ke PGI? Kenapa PGI menjadi priÂoritas pertama kunjungannya? Berikut wawancara selengkapÂnya dengan Din Syamsuddin :
Kenapa PGI dan KWI yang menjadi kunjungan perdana dari tugas Anda?Saya memilih PGI dan juga KWI hari ini adalah soal urutan, karena memang dari jumlah pemeluk juga termasuk besar. Tentu saya enggak bisa datang ke semua organisasi keagamaan sekaligus, kecuali pakai teleÂconferences. Oleh karena itu ini hanya urutan saja.
Sebenarnya, bagaimana pandangan Anda tentang kondisi kerukunan umat beragama di tanah air?Saya berpendapat, kerukunan umat beragama di Indonesia relatif baik sejak dulu. Terutama karena agama-agama di Indonesia mengembangÂkan wawasan sekaligus watak yang mengambil jalan tengah, atau disebut dengan moderat. Mungikin karena pengaruh budaya di Indonesia, dan juga sesungguhnya itu adalah watak dari agama, khususnya yang disÂebut agama samawi baik yahudi, kristen, nasrani, maupun islam.
Oleh karena itu, modal dasar ini harus kita kembangkan. Walaupun kita tidak boleh menuÂtup mata ada masalah-masalah, ada ketegangan-ketegangan. Di Indonesia ini masalah itu tidak terlalu besar, dan itu lebih banÂyak umat islam dengan kristiani. Kalau antara umat islam atau kristiani dengan umat agama lain relatif tidak ada masalah serius.
Kenapa bisa begitu?Karena kedua agama ini beÂrasal dari rumpun yang sama. Dalam bahasa islam berasal dari ibrahim malahissalam, artinya dua jalur. Oleh karena itu harus kita rajut, baik sebagai pesan agama masing-masing, maupun sebagai pesan dari konstitusi kita, khususnya bhineka tungÂgal ika.
Namun kenyataannya, hubungan umat beragama kerap bergesekan terutama pada pemilu maupun pilkada. Apa itu juga dibahas?Kami tidak secara khusus dipercakapkan bagaimana umat-umat beragama menghadapi agenda politik seperti pilkada, bahkan nanti pilpres. Tapi ada disinggung bahwa ketegangan bahkan konflik antar umat beÂragama di tanah air kita ini, banyak disebabkan oleh faktor politik. Atau mungkin saya perÂluas faktor non-agama.
Artinya, ada kecenderungan faktor dari luar agama yang membuat umatnya kerÂap bergesekan di sejumlah daerah?Kalau faktor agama itu sendiÂri, atau faktor teologis, walaupun ada perbedaan tapi tidak memÂbawa kepada konflik. Tapi ada faktor non-agama seperti politik, ekonomi, sosial, apalagi yang menyebabkan kesenjangan itu sering menjadi pemicu, sehingga agama hanya dijadikan alat unÂtuk menjustifikasi, untuk memÂbenarkan. Ini yang telah terjadi, dan mungkin akan kembali terÂjadi. Karena setelah Pilkada DKI lalu yang hiruk-pikuk menyita, menguras energi bangsa, masih ada Pilpres 2019.
Kalau disebut faktor politik yang kerap memicu konflik antar agama. Apa tanggapan Anda?Karena ada perbedaan di kaÂlangan agama-agama itu dalam memandang urusan agama dan politik. Ada yang berpandangan tidak boleh ada hubungan antara agama dan politik, ada yang berÂpendapat harus ada hubungan.
Kalau saya berpendapat hubungan politik dalam islam itu tidak berbentuk legalistik formalistik, tetapi hanya dalam bentuk moral. Agama memberiÂkan kontribusi moral, etika berÂpolitik, sebatas itu. Masalahnya kalangan lain sering menjadikan agama sebagai basis solidaritas, sehingga terjadi pengelompokan atas dasar agama. Ini yang menÂimbulkan gesekan-gesekan itu.
Ketegangan antar umat beÂragama saat ini disebut sebaÂgai dampak dari Pilpres 2014 lalu. Tanggapan Anda?Saya kira 2014 bangsa ini terbelah dalam kubu politik, diÂmana saat itu ada dua pasangan calon. Belum begitu sembuh lukanya, terjadi pembelahan terÂmasuk di parlemen, ada koalisi ini ada koalisi itu. Kemudian ada pilkada, dan ada kasus yang membuat kita luar biasa hiruk-pikuk.
Bangsa dipolarisasi atas dasar agama, terutama ada imbuhan dari politik ini memang membawa pada satu tingkat yang lebih memÂprihatinkan, karena menyebabkan keterbelahan yang semakin dalam dan semakin lebar. Ini harus segera diatasi. ***
BERITA TERKAIT: