WAWANCARA

Din Syamsuddin: Pemuka Agama Tampilkanlah Pesan Moral Agar Perbedaan Tak Membawa Perpecahan

Selasa, 31 Oktober 2017, 09:39 WIB
Din Syamsuddin: Pemuka Agama Tampilkanlah Pesan Moral Agar Perbedaan Tak Membawa Perpecahan
Din Syamsuddin/Net
rmol news logo Sepekan dilantik, Din Syamsuddin langsung menjalankan tugasnya sebagai Utusan Khusus Presiden Bidang Dialog Kerja Sama Antar-agama dan Peradaban. Dalam tugas perdananya, Din menyambangi Ketua Umum Persatuan Gereja Indonesia (PGI) Henriette Tabita Hutabarat Lebang.
 
"Saya datang untuk mendapat­kan dukungan sekaligus pikiran-pikiran dari PGI untuk penunaian tugas kami nanti sebagai utusan khusus Presiden untuk dialog, kerja sama antaragama, dan peradaban," kata Din di Kantor PGI Jakarta Pusat, kemarin.

Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah itu menutur­kan, kunjungan ini merupa­kan mandat dari Jokowi untuk menjaga kerukunan antar-umat beragama di dalam dan luar neg­eri. "Karena mandat dalam kep­pres itu selain mempromosikan kerukunan antar-umat beragama Indonesia di dalam negeri dan di luar negeri, juga harus diawali dan ini paling penting kita ber­sama-sama memberikan keruku­nan di dalam negeri khususnya antar-umat beragama," jelas Din Syamsuddin.

Lantas apa yang dibicarakan Din dalam kunjungannya ke PGI? Kenapa PGI menjadi pri­oritas pertama kunjungannya? Berikut wawancara selengkap­nya dengan Din Syamsuddin :

Kenapa PGI dan KWI yang menjadi kunjungan perdana dari tugas Anda?
Saya memilih PGI dan juga KWI hari ini adalah soal urutan, karena memang dari jumlah pemeluk juga termasuk besar. Tentu saya enggak bisa datang ke semua organisasi keagamaan sekaligus, kecuali pakai tele­conferences. Oleh karena itu ini hanya urutan saja.

Sebenarnya, bagaimana pandangan Anda tentang kondisi kerukunan umat beragama di tanah air?

Saya berpendapat, kerukunan umat beragama di Indonesia relatif baik sejak dulu. Terutama karena agama-agama di Indonesia mengembang­kan wawasan sekaligus watak yang mengambil jalan tengah, atau disebut dengan moderat. Mungikin karena pengaruh budaya di Indonesia, dan juga sesungguhnya itu adalah watak dari agama, khususnya yang dis­ebut agama samawi baik yahudi, kristen, nasrani, maupun islam.

Oleh karena itu, modal dasar ini harus kita kembangkan. Walaupun kita tidak boleh menu­tup mata ada masalah-masalah, ada ketegangan-ketegangan. Di Indonesia ini masalah itu tidak terlalu besar, dan itu lebih ban­yak umat islam dengan kristiani. Kalau antara umat islam atau kristiani dengan umat agama lain relatif tidak ada masalah serius.

Kenapa bisa begitu?
Karena kedua agama ini be­rasal dari rumpun yang sama. Dalam bahasa islam berasal dari ibrahim malahissalam, artinya dua jalur. Oleh karena itu harus kita rajut, baik sebagai pesan agama masing-masing, maupun sebagai pesan dari konstitusi kita, khususnya bhineka tung­gal ika.

Namun kenyataannya, hubungan umat beragama kerap bergesekan terutama pada pemilu maupun pilkada. Apa itu juga dibahas?
Kami tidak secara khusus dipercakapkan bagaimana umat-umat beragama menghadapi agenda politik seperti pilkada, bahkan nanti pilpres. Tapi ada disinggung bahwa ketegangan bahkan konflik antar umat be­ragama di tanah air kita ini, banyak disebabkan oleh faktor politik. Atau mungkin saya per­luas faktor non-agama.

Artinya, ada kecenderungan faktor dari luar agama yang membuat umatnya ker­ap bergesekan di sejumlah daerah?

Kalau faktor agama itu sendi­ri, atau faktor teologis, walaupun ada perbedaan tapi tidak mem­bawa kepada konflik. Tapi ada faktor non-agama seperti politik, ekonomi, sosial, apalagi yang menyebabkan kesenjangan itu sering menjadi pemicu, sehingga agama hanya dijadikan alat un­tuk menjustifikasi, untuk mem­benarkan. Ini yang telah terjadi, dan mungkin akan kembali ter­jadi. Karena setelah Pilkada DKI lalu yang hiruk-pikuk menyita, menguras energi bangsa, masih ada Pilpres 2019.

Kalau disebut faktor politik yang kerap memicu konflik antar agama. Apa tanggapan Anda?
Karena ada perbedaan di ka­langan agama-agama itu dalam memandang urusan agama dan politik. Ada yang berpandangan tidak boleh ada hubungan antara agama dan politik, ada yang ber­pendapat harus ada hubungan.

Kalau saya berpendapat hubungan politik dalam islam itu tidak berbentuk legalistik formalistik, tetapi hanya dalam bentuk moral. Agama memberi­kan kontribusi moral, etika ber­politik, sebatas itu. Masalahnya kalangan lain sering menjadikan agama sebagai basis solidaritas, sehingga terjadi pengelompokan atas dasar agama. Ini yang men­imbulkan gesekan-gesekan itu.

Ketegangan antar umat be­ragama saat ini disebut seba­gai dampak dari Pilpres 2014 lalu. Tanggapan Anda?
Saya kira 2014 bangsa ini terbelah dalam kubu politik, di­mana saat itu ada dua pasangan calon. Belum begitu sembuh lukanya, terjadi pembelahan ter­masuk di parlemen, ada koalisi ini ada koalisi itu. Kemudian ada pilkada, dan ada kasus yang membuat kita luar biasa hiruk-pikuk.

Bangsa dipolarisasi atas dasar agama, terutama ada imbuhan dari politik ini memang membawa pada satu tingkat yang lebih mem­prihatinkan, karena menyebabkan keterbelahan yang semakin dalam dan semakin lebar. Ini harus segera diatasi. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA