Pernyataan tersebut disampaikan dalam sidang ke-3 Kelompok Kerja Antar Pemerintah untuk mengelaborasi instrumen hukum yang mengikat terhadap perusahaan transnasional terkait dengan HAM di Jenewa. Sidang ini berlangsung sejak 23 hingga 27 Oktober 2017.
Aktivis Solidaritas Perempuan, Arieska Kurniawaty menuturÂkan, pihaknya sebagai pengÂgugat dalam sidang menolak privatisasi air mengapresiasi pernyataan pemerintah terseÂbut. "Ini memperlihatkan posisi pemerintah yang mendukung putusan Mahkamah Agung, sehingga seharusnya tidak butuh waktu lama mengakhiri kontrak dengan Palyja dan Aetra," kaÂtanya, kemarin.
Diterangkannya, putusan Mahkamah Agung secara jelas menyebutkan penyerahan keÂwenangan pengelolaan air Jakarta kepada pihak swasta melalui pembuatan perjanjian kerja sama merupakan perbuatan melawan hukum.
MAjuga memerintahkan tergugat untuk menghentikan swastanisasi air di Jakarta serta mengembalikan pengelolaan air minum sesuai dengan norma hak atas air sebagaimana tertuang dalam Kovenan Hak Ekosob dan Komentar Umum Hak atas Air PBB.
"Kasus ini menegaskan fakta bahwa skema kerjasama peÂmerintah dan swasta merupaÂkan praktik gagal, merugikan negara dan melanggar hak asasi manusia, termasuk hak asasi perempuan," ujar Arieska.
Dalam diskusi
'Mind the Gap: AFeminist Approach to the Binding Treaty' di antara sesi sidang di Jenewa, Solidaritas Perempuan yang turut hadir mengungkapkan skema kerjasaÂma pemerintah-swasta banyak didorong oleh lembaga keuangan internasional seperti yang terjadi dalam kasus privatisasi air di Jakarta.
Ide privatisasi air di Jakarta dimulai saat Bank Dunia meÂnawarkan pinjaman kepada PAM Jaya untuk memperbaiki infrastruktur di tahun 1992 dan kemudian pada tahun 1999 Bank Dunia kembali memberikan pinÂjaman Water Resources Sector Adjustment Loan (WATSAL) yang membuka peluang keterliÂbatan sektor swasta (privatisasi) dalam pengelolaan layanan air.
"Skema kerjasama pemerintah swasta di banyak negara telah membuat pemerintah melepasÂkan tanggungjawabnya untuk memenuhi hak warga negara atas layanan publik, sementara di sisi lain perusahaan dapat mengambil keuntungan besar dari sektor layanan publik," terangnya.
Pada 2015, Solidaritas Perempuan bersama dengan kelompok perempuan akar rumput di 5 wilayah di Jakarta melakukan pemantauan terhadap hak air unÂtuk melihat dampak dari skema kerjasama pemerintah swasta ini. Hasilnya, kebanyakan warga seringkali tidak mendapatkan air atau kalaupun ada dengan kualitas yang sangat buruk dan alirannya sangat kecil.
Bagi perempuan yang karena peran gendernya paling lekat dengan air, maka dampak yang lebih berat dan mendalam dirasÂakan oleh perempuan. "Kualitas air yang buruk menimbulkan peÂnyakit kulit dan mengakibatkan gangguan kesehatan reproduksi. Selain itu, perempuan juga harus bangun pada dini hari untuk menampung tetesan air karena di pagi hari air tidak keluar," kata Arieska.
Pihaknya menekankan, air adalah kebutuhan dasar dan hak asasi manusia. Sementara meruÂpakan tanggungjawab negara untuk menghormati, memenuhi dan terlebih melindungi dari ancaman aktivitas korporasi. "Perusahaan yang tujuan utaÂmanya adalah untuk mencari keÂuntungan tidak boleh terlibat dan menghambat realisasi HAM," tandasnya.
Sementara itu, terkait putusan MAyang memerintahkan penghÂentian swastanisasi air, Wakil Gubernur DKI Jakarta, Sandiaga Uno, mengatakan Pemprov DKI Jakarta masih berkoordinasi dengan PAM Jaya.
Arieska memastikan, Pemprov DKI Jakarta akan mematuhi putusan MA. "Intinya, Pemprov DKI taat hukum. Apa pun putusannya, kita tentunya harus sesuai dengan koridor hukum," katanya.
Untuk diketahui, MAmelalui putusannya menghentikan kebiÂjakan swastanisasi air di Jakarta. Pertimbangannya, hal itu meÂlanggar Peraturan Daerah no. 13 tahun 1992 tentang Perusahaan Daerah Air Minum DKI Jakarta (PAM Jaya) dengan membuat perjanjian kerja sama dengan pihak swasta. ***
BERITA TERKAIT: