Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

WAWANCARA

Ismail Yusanto: Kami Tak Tahu Apa Salah HTI, Tak Ada Penjelasan Apapun Dari Pemerintah

Senin, 23 Oktober 2017, 08:29 WIB
Ismail Yusanto: Kami Tak Tahu Apa Salah HTI, Tak Ada Penjelasan Apapun Dari Pemerintah
Ismail Yusanto/Net
rmol news logo Komisi II DPR baru-baru ini memanggil perwakilan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), guna memberikan pandangannya soal Peraturan Pemerintah Pengganti Perundang-undangan (Perppu) Nomor 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas). Ada empat hal yang disampaikan HTI dalam per­temuan itu. Pertama soal pem­bubaran ormas mereka, kedua tentang Perppu itu sendiri, ke­mudian penjelasan mereka ten­tang sistem khilafah, dan tera­khir soal ancaman yang dihadapi bangsa ini. Empat poin itu dis­ampaikan secara tertulis kepada DPR. Berikut penuturan lengkap Ismail Yusanto, Juru Bicara HTI terkait Perppu Ormas;

Bisa dijelaskan keempat poin itu?
Pertama soal pembubaran. Bahwa pembubaran itu tidak punya dasar sama sekali, alias semena-mena. Sampai sekarang kami tidak tahu apa salah HTI. Pemerintah tidak pernah mem­berikan penjelasan, keterangan, atau pun surat peringatan kepada kami. Padahal sebagai organ­isasi legal berbadan hukum, HTI memiliki hak konstitusional untuk melakukan kegiatannya. Mestinya hak ini dijaga dan dil­indungi oleh pemerintah, apalagi selama ini kegiatan HTI telah terbukti memberikan kebaikan kepada masyarakat. Oleh kar­ena itu, pembubaran HTI yang dilakukan oleh pemerintah telah secara nyata menegasikan hak konstitusional tersebut, serta menghilangkan kebaikan yang sudah dihasilkan.

Menurut kami keputusan pe­merintah itu membuktikan bah­wa Perppu ini membuka peluang bagi Pemerintah menjadi dikta­tor. Pemerintah secara sepihak membubarkan ormas tanpa hak membela diri dan tanpa proses penegakan hukum yang adil dan benar sesuai asas negara hukum. Karena itu, publik se­makin mendapatkan bukti bahwa rezim yang tengah berkuasa saat ini adalah rezim represif anti-Islam. Buktinya, setelah sebelumnya melakukan krimi­nalisasi terhadap para ulama, bahkan di antaranya ada yang masih ditahan hingga sekarang, lalu melakukan pembubaran atau penghalangan terhadap kegiatan dakwah di sejumlah tempat, kini pemerintah membubarkan ormas Islam secara semena-mena.

Menurut pemerintah Perppu Ormas tidak otoriter, sehingga mereka juga tidak bisa bertin­dak semena-mena terhadap ormas?
Bagaimana enggak otoriter, dia (pemerintah) bubarin (HTI) tanpa pengadilan kok. Orang ditilang aja pakai pengadilan, ini bubarin ormas segitu gedenya tanpa pengadilan. Bagaimana enggak otoriter? Cuma main tuduh saja. Kamu dituduh, kami dihakimi, dan enggak dikasih kesempatan untuk membela diri.

Kan masih bisa mengajukan gugatan setelah dibubarkan?
Enggak bisa begitu dong. Dampak pembubaran ormas ini luar biasa lho. Orang jadi anggota ormas yang diduga berpaham Anti-Pancasila itu bisa kena ancaman pidana, dan ancaman pidananya tidak main-main.

Kalau biarin dibubarkan oleh pemerintah, kemudian nunggu gugatan ke pengadilan itu sama saja babak belur dulu. Artinya ada hak untuk membela dirinya dilanggar dulu, dan itu melang­gar hukum. Padahal ini negara hukum. Selain itu menurut Pak Irmanputra Sidin (pakar hukum tata negara), pengajuan guga­tan setelah pembubaran juga salah secara hukum tata negara. Menurut beliau hal itu tidak bisa menunjukkan adanya kekuasaan kehakiman. Karena pengadilan pembubaran itu berbeda den­gan gugatan PTUN. Pengadilan pembubaran mengadili sub­stansi, sedang PTUN mengadili administrasi.

Terkait perppu itu sendiri bagaimana?

Perppu ini juga menurut kami sangat bermasalah. Pertama, secara formil tidak ada alasan untuk menerbitkan Perppu. Bila menurut ketentuan Perppu boleh dibuat dalam keadaan kegentin­gan yang memaksa, maka dalam faktanya tidak ada kegentingan tersebut.

Sebab faktanya, 10 hari sejak diterbitkannya Perppu tidak satupun tindakan pemerintah dilakukan berdasarkan Perppu tersebut. Baru di hari ke 10, Perppu itu digunakan untuk membubarkan HTI.

Kalau secara materiil ba­gaimana?
Secara materiil, Perppu Ormas juga mengandung banyak perso­alan. Menurut Pak Irmanputra Sidin, intensi Perppu lebih ke­pada untuk menghapus kekua­saan kehakiman, bukan karena ingin mewujudkan prinsip con­trarius actus (Asas contrarius ac­tus merupakan sebuah kewenan­gan pemerintah selaku pembuat keputusan untuk memberikan evaluasi hingga mencabut kepu­tusan yang dibuatnya, red) sep­erti yang mereka bilang.

Karena prinsip contrarius ac­tus itu sebetulnya sudah ada Undang-Undang Ormas Nomor 17 Tahun 2013. Dihilangkannya kekuasaan kehakiman dalam Perppu bertentangan dengan prinsip keadilan hukum, yang semestinya selalu menjadi tu­juan dibuatnya peraturan pe­rundangan.

Selain itu Perppu juga mela­hirkan ketidakpastian hukum, terutama mengenai pengertian paham yang bertentangan den­gan Pancasila.

Menurut kami penjelasan men­genai paham yang bertentangan dengan Pancasila dari Pasal 59 ayat 4 huruf c mengenai laran­gan ormas menganut, mengem­bangkan dan mengajarkan pa­ham yang bertentangan dengan Pancasila, justru menimbulkan mutlitafsir. Ketidakpastian yang timbul akibat multitafsir ini sangat berbahaya, karena Peppu bisa menjadi alat represifme penguasa,di mana penguasa menjadi penafsir tunggal dari apa yang dimaksud paham yang bertentangan dengan Pancasila.

Ideologi HTI kan dianggap bertetangan dengan Pancasila karena mendukung khilafah?
Memang, meski tidak dijelas­kan secara tertulis, patut diduga bahwa pembubaran HTI terkait dengan kegiatan HTI dalam mendakwahkan khilafah sebagai ajaran Islam.

Sebetulnya sebagian besar kewajiban seperti kewajiban untuk menyejahterakan rakyat, mewujudkan keadilan ekono­mi, politik, sosial dan hukum, pelindungan terhadap keyaki­nan agama, harta, kehormatan, keturunan, keamanan,lalu ke­wajiban bersatunya umat serta terlaksanakannya dakwah ke seluruh penjuru dunia dan lain­nya, semua itu berpangkal pada tegaknya ajaran agama (Islam), dalam hal ini terkait syariah dan khilafah.

Artinya, selama syariah tidak diterapkan dan khilafah tidak ditegakkan, semua kewajiban itu tidak akan bisa dilaksanakan dengan baik. Memang sebagian kewajiban lain seperti salat, puasa, zakat, haji, akhlak, paka­ian, tersedianya makanan mi­numan halal dan beberapa ke­wajiban yang lain masih bisa dilakukan.Tapi itu semua sebatas aspek kehidupan pribadi.

Sementara, kerahmatan atau kebaikan Islam yang kita damba­kan bersama itu baru akan bisa diwujudkan bila Islam diterap­kan tidak hanya dalam kehidu­pan pribadi, tapi utamanya justru dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Harus diingat bahwa syariah secara kaffah dan penegakan khilafah ini bukan hanya penda­pat Hizbut Tahrir Indonesia, tapi pendapat seluruh ulama dari berbagai madzhab.

Tetap saja pemerintah menganggap ideologi kh­ilafah bertentangan dengan Pancasila?
Menurut Profesor Abdulgani Abdullah, mendakwahkan khila­fah tidak bisa dianggap melang­gar hukum, atau bertentangan dengan Pancasila. Karena itu masih sebatas staat phylosopy norm, bukan staat fundamental norm.

Bahkan, bila dengan dasar Perppu itu pemerintah mem­bubarkan sebuah ormas yang menganut atau menyebarkan ajaran menengai sistem politik dan pemerintahan yang mem­punyai dasar agama dalam Al Quran dan As Sunnah, serta pernah dipraktikkan oleh Nabi Muhammad lalu diikuti oleh para sahabat, maka Perppu tersebut, menurut Doktor Abdul Chair Ramadhan bisa beraki­bat menodai atau mengkrimi­nalisasi ajaran agama Islam.

Bisa jelaskan poin tera­khir, ancaman bagi bangsa Indonesia?
Saat ini gencar sekali adanya propaganda di tengah masyarakat yang menyerang Islam, seperti Islam dianggap sebagai ancaman dengan tudingan radikalisme dan lainnya. Jelas sekali ini merupa­kan bagian dari upaya pendis­kreditan Islam guna mencegah kebangkitan Islam. Semua orang tahu, saat ini Islam sedang dalam proses kebangkitan.

Fenomena Aksi 411, 212 dan lainnya adalah tanda nyata ke­bangkitan itu. Dan kebangkitan ini akan terus melaju. Tak bisa dibendung.

Tapi mereka para pembenci Islam berusaha menghambat dan memperlambat, bahkan kalau bisa menghentikannya sama sekali. Caranya, salah satunya dengan mendiskreditkan Islam. Melabeli Islam dengan aneka sebutan, seperti radikalisme, fundamentalisme dan lain se­bagainya.

Jadi, sekarang tengah berjalan politik labelling (pelebelan-red) atau labelisasi, setelah itu dilaku­kan monsterizing atau monsteri­sasi dengan menggambarkan seo­lah semua orang atau kelompok semacam-macam itu tadi seba­gai membahayakan, mengancam dan merusak negara.

Harapannya, dengan semua sebutan dan monsterisasi itu, umat Islam dan umat selain Islam menjauh dari Islam. Islam yang dimaksud di sini tentu bukan Islam dalam arti umum, tapi Islam yang menolak seku­larisme, liberalisme, kapitalisme, termasuk komunisme serta dominasi asing dan aseng, dan menginginkan tegaknya kehidu­pan Islam di mana didalamnya diterapkan syariah secara kaf­fah.

Apakah benar anggapan bahwa khilafah Islam yang diperjuangkan HTI men­gancam masyarakat dan negara?
Jelas tidak benar. Ini tudin­gan keji dan tak berdasar sama sekali. Bagaimana mungkin aja­ran Islam yang diturunkan Allah sebagai rahmat bagi sekalian alam, dianggap mengancam dan bakal menghancurkan negara yang notabene dahulu merdeka karena adanya dorongan seman­gat jihad pada diri para pejuang kemerdekaan.

Perppu Ormas kan sudah akan dibawa ke Paripurna. Apa harapan HTI?
Kami tentu berharap dito­lak. Walau pun kami ngerti itu tidak mudah, karena mayoritas parpol mendukung kan. Enam lawan empat, atau enam lawan tiga malahan. Tapi kami tetap berharap bisa ditolak.

Kalau ternyata DPR meny­etujui Perppu ini bagaimana?
Yang enggak gimana-gimana. Perppunya kan sudah ada, sudah berlaku. Jadi ya kami jalani saja sambil menjalankan proses hukum yang ada. Kami hanya melawan keberadaan Perppu ini dengan cara yang legal. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA