Komisioner Ombudsman, Dadan S. Suharmawijaya yang menerima laporan menjelasÂkan, lembaganya akan meminta penjelasan kepada pihak terÂlapor (Bank Indonesia, red) dan beberapa pihak terkait dengan kebijakan ini. Berikut penuturan Dadan S. Suharmawijaya kepada
Rakyat Merdeka :
Apa saja sih yang dilaporÂkan oleh masyarakat terkait dengan rencana biaya isi ulang (top up) e-money?Sebetulnya Pak David lebih mempermasalahkan kenapa
top up dikenakan biaya dan ini dibebankan kepada konsumen dengan alasan untuk melakukan perawatan. Kenapa dibebankan ke konsumen. Bukankah ini menjadi beban bagi penyedia jasa layanan dalam hal ini Jasa Marga dan lainnya.
Penyeda jasa jalan tol inilah yang bekerjasama dengan perÂbankan. Jadi intinya Pak David melaporkan dugaan maladimisÂtrasi Bank Indonesia atas kebiÂjakan
top up ini. Dari diskusi itu didapat beberapa poin yang bisa menjadi tuntutan kenapa
top up dikenai biaya. Lalu kemudian kenapa biaya ini dibebankan ke konsumen. Saya menjelaskan Ombudsman sudah masuk ke menelaah undang-undang itu.
Ombudsman melihat ada potensi pelanggaran?Memang kami melihat ini ada potensi mal administrasi. Tapi kan kami harus tegaskan bahwa Ombudsman ini kan bukan pengacaranya pelapor, kita justru menjadi pihak yang berada di tengah, melihat dari berbagai sisi, berbagai aspek. Sehingga kita akan menentukan, apakah ini memenuhi unsur mal adminitrasi yang membebani publik dan sebagainya.
Apa saja sih potensinya itu?Ya misalnya saja kita lihat terkait dengan regulasinya. Terkait dengan peraturan perundangan-undangan. Misalnya Undang-Undang Uang Yang dimaksud dengan uang itu apa? Yang dimaksud dengan alat bayar itu apa. Uang itu kan rupiah. Kan dalam aturannya, dalam berbagai transaksi pihak-pihak tidak boleh menolak transaksi dalam bentuk uang rupiah, dari situ saja, apakah ada potensi ke arah sana (pelanggaran) nggak. Ternyata misalnya berdasarkan klarifikasi, kalau semua pintu tol tidak ada loket pembayaran secara tunai maka itu menutup pembayaran secara tunai, nah itu sudah potensi sendiri.
Nah kalau kasus ini dibalik, dari 10 loket yang berdekatan untuk akses masuk tol, ada sembilan yang non tunai tapi dia tetap menyediakan yang tunai satu loket berarti dia tidak menolak pembayaran secara tuÂnai, berarti kan tidak melanggar Undang-Undang Uang. Kalau misalnya semua ditutup untuk tunai, maka kita akan lihat reguÂlasi yang dibuat oleh pengelola jalan tol tersebut. Ya seperti di gerbang tol Semanggi yang hanÂya pakai
e-money, namun kan pada gerbang tol Slipi masih menerima uang tunai. Berarti dia tidak menolak.
Nah kalau yang menolak pembayaran secara tunai, itu yang akan menjadi masalah dari sisi regulasi. Nanti kita akan pelajari juga regulasi yang lain. Tapi untuk saat ini yang menjadi laporan adalah kenapa ini menÂjadi beban konsumen, itu lho. Kemarin juga banyak contoh, seperti di bus Transjakarta yang juga mengenakan biaya Rp 2000 untuk
top up. Itu kan selama ini kena biaya peruntukannya untuk apa, nanti kita akan tanyai juga. Justru ketika top up dikenakai biaya, pertanyaannya besarnya adalah untuk apa biaya ini.
Lalu sudah ada jawabannya?Selentingan yang selama ini berkembang bahwa itu bukan untuk biaya transfer, atau bukan biaya adminitrasi bank, bukan itu semua.
Tapi itu untuk biaya jaringan dan infrastruktur. Gitu ya. Kalau itu alasannya, selama ini kan sudah banyak bank yang bekÂerjasama dengan program ini, tapi mereka tidak membebankan ke pelanggan, mereka hanya membebankan pada pembalian perdana saja. Gitu kan. Toh seÂlama ini kan nggak masalah kalau seperti itu saat pembelian saja, selebihnya saat isi ulang nggak perlu biaya lagi.
Bagaimana dengan pihak bank yang mengganggap itu sebagai biaya administrasi?Kalau bank menganggap ini sebagai biaya administrasi bank, berarti harus ada perlindungan
e-money ini. Uang dalam
e-money ini harus dilindungi sepÂerti macamnya tabungan, karena ini harus diperjelas aturannya, karena kan kalau nanti hilang ya hilang saja.
Lantas kalau hilang lalu hilang saja, terus uangnya ke mana dong? Nah yang semacam ini adalah problem. Karena itu, orang akan bisa akan berfikiran untuk mengisi (
top up) secara sedikit saja, hal itu karena takut hilang uangnya.
Tapi kalau itu dianggap seÂbagai tabungan, mereka akan menyimpan uangnya di situ (
e-money), karena biaya adminÂistrasinya bisa dipotong dari situ. Tapi ingat lagi, itu harus diperÂlakukan seperti account tabunÂgan, harus ada perlindungan aset sebagaimana aset perbankan lainnya. Nah ini kan belum jelas. Memang bank menilai itu bukan uang yang ngendon di bank, karena uang ini tidak bisa disaÂlurkan oleh bank dalam bentuk kredit, ini uang yang bisa dikeÂluarkan kapan saja oleh pemilik untuk penggunaan jasa.
Kapan rencananya akan ada pemanggilan pihak terlapor?Laporan yang diterima Ombudsman ini nantinya akan diproses sebagaimana prosedur yang berlaku. Pertama adalah verifikasi dengan waktu maksiÂmal 14 hari atas laporan. Setelah itu, Ombudsman akan memangÂgil pihak Bank Indonesia, sebaÂgaimana yang dilaporkan David. Selain itu, Ombudsman akan meminta kepada pelapor untuk melengkapi data dalam waktu maksimal 30 hari. Hasil akhir akan dibahas dalam rapat pleno yang digelar setiap hari Senin.
Tapi apakah laporan menegani hal ini sudah ada sebelÂumnya?Kalau yang melapor baru Pak David. Cuma ini sudah menjadi isu, sudah banyak di media soÂsial. Tapi Ombudsman masih menelaah. Kalau menelaah gitu ya ujungnya on motion investiÂgation (OMI). Tapi kebetulan ini ada laporan Pak David jadi bisa disambungkan. ***