Menteri Tjahjo yang menjadi duta pemerintah kekeh syarat mengusung capres-cawapres memenuhi angka
presidential threshold 20 persen kursi DPR dan atau 25 persen suara naÂsional tetap berlaku. Sementara beberapa fraksi di DPR mengÂinginkan agar ketentuan
presiÂdential threshold itu diturunkan atau dihilangkan sama sekali. Menteri Tjahjo memaparkan alasannya mengapa dia kekeh menginginkan agar syarat amÂbang batas itu tetap ada;
Anda ngotot sekali mengÂinginkan agar besaran presiÂdential threshold yang ada di Undang-Undang Pilpres dulu tetap ada....Jadi begini. Putusan MK Nomor 14/PUU-XI/2013 itu sebenarnya tidak membatalkan pasal 9 Undang-Undang Nomor 42 tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wapres. Jadi, artinya ketentuan presidential threshold 20 persen kursi atau 25 persen suara masih sah dan berlaku. RUU (Revisi Undang-Undang) Pemilu tidak menamÂbah dan tidak mengurangi Pasal 9 Undang-Undang 42/2008 yang tidak dibatalkan MK tersebut. Sehingga dengan demikian tidak benar jika dikatakan bertentanÂgan dengan konstitusi.
Lalu apa dong yang diubah MK dalam Undang-Undang Pilpres?
Pada putusan MK nomor 108/2013 tentang permohoÂnan uji materi Undang-Undang Pemilihan Presiden menyatakan MK menolak permohonan unÂtuk membatalkan
presidential threshold. Dalam putusan terseÂbut, MK menegaskan penetapan ambang batas perolehan suara sebagai syarat pengajuan calon presiden merupakan kewenanÂgan DPR sebagai pembentuk undang-undang. (
Presidential threshold) itu merupakan keÂbijakan hukum terbuka atau delegasi kewenangan terbuka yang dapat ditentukan sebagai
legal policy oleh pembentuk undang-undang.
Memang benar tahun 2019 pilÂpres serentak dengan pileg, naÂmun demikian hanya ada 1 (satu) pemilu yang ada sebelum pemilu 2019 yaitu pemilu 2014. Dengan demikian logika yang diopiniÂkan bahwa ada pendapat terkait kadaluwarsa kondisi politik lima tahun sebelumnya adalah tidak tepat, karena memang ada tidak pemilu lain selain pemilu 2014 yang bisa memjadi dasar rujukan presidential threshold.
Jadi pemerintah tetap mengÂinginkan besaran presidential threshold tetap seperti pada pilpres 2014? Dalam konstitusi UUD 1945 pasal 28 J ayat (2) dijelaskan bahwa pembatasan yang ditetapÂkan dalam undang-undang adaÂlah konstitutional, sepanjang nilai maslahatnya atau kebaiÂkannya lebih besar ketimbang mudharatnya untuk kepentingan bangsa dan negara.
Presidential threshold tidak dimaksudkan untuk menghalangi munculnya capres lain, karena rumusan RUU Pemilu yang disusun pemerintah dan telah disetujui Pansus telah diatur ketentuan bahwa koalisi parpol dalam mengusulkan pasangan capres-cawapres tidak boleh menyebabÂkan parpol atau gabungan parpol lainnya tidak dapat mengusulkan pasangan capres-cawapres lainÂnya.
Tapi bukankah jika peÂmerintah ngotot presidential threshold tetap ada, maka dampaknya juga akan menÂghalangi munculnya capres alternatif. Padahal dasar guÂgatan terhadap presidential threshold bertujuan untuk memunculkan capres alterÂnatif?Ya, jika hanya terdapat hanya satu pasangan capres-cawapres maka Komisi Pemilihan Umum akan menolak dan memberi perpanjangan waktu pendaftÂaran capres-cawapres. Dengan demikian semangat pembentuk undang-undang justru sebaÂliknya mendorong munculnya minimal dua pasangan capres-cawapres. Presidential threshold ini tidak mereduksi esensi atau substansi demokrasi, karena esensi atau substansi demokrasi bukan ditentukan oleh kuantitas capres-cawapres.
Sebaliknya justru sistem pemilu yang dibangun saat ini sudah tepat karena mendorong peningkatkan kualitas capres-cawapres. Hal ini sejalan dengan upaya penguatan esensi atau substansi demokrasi serta konÂsolidasi demokrasi. Pada tahun 2009, Pilpres (diikuti) lima pasang calon capres-cawapres lalu Pilpres tahun 2014 muncul dua pasang capres-cawapres. Yang seharusnya gabungan Parpol lain bisa muncul empat pasang calon capres-cawapres, padahal presidential threshold 20-25 persen. ***
BERITA TERKAIT: