WAWANCARA

Tjahjo Kumolo: Presidential Threshold Tak Reduksi Substansi, Kuantitas Capres Bukan Ukuran Demokrasi

Selasa, 04 Juli 2017, 08:38 WIB
Tjahjo Kumolo: <i>Presidential Threshold</i> Tak Reduksi Substansi, Kuantitas Capres Bukan Ukuran Demokrasi
Tjahjo Kumolo/Net
rmol news logo Hingga kini pembahasan revisi Undang-Undang (RUU) Pemilu yang sedianya selesai akhir April 2017 masih belum rampung. Bahkan hingga rapat terakhir pada Senin (19/6), pembahasan antara pemerintah dan DPR masih tersandera pada syarat am­bang batas pencalonan presiden atau presidential threshold.

Menteri Tjahjo yang menjadi duta pemerintah kekeh syarat mengusung capres-cawapres memenuhi angka presidential threshold 20 persen kursi DPR dan atau 25 persen suara na­sional tetap berlaku. Sementara beberapa fraksi di DPR meng­inginkan agar ketentuan presi­dential threshold itu diturunkan atau dihilangkan sama sekali. Menteri Tjahjo memaparkan alasannya mengapa dia kekeh menginginkan agar syarat am­bang batas itu tetap ada;

Anda ngotot sekali meng­inginkan agar besaran presi­dential threshold yang ada di Undang-Undang Pilpres dulu tetap ada....

Jadi begini. Putusan MK Nomor 14/PUU-XI/2013 itu sebenarnya tidak membatalkan pasal 9 Undang-Undang Nomor 42 tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wapres. Jadi, artinya ketentuan presidential threshold 20 persen kursi atau 25 persen suara masih sah dan berlaku. RUU (Revisi Undang-Undang) Pemilu tidak menam­bah dan tidak mengurangi Pasal 9 Undang-Undang 42/2008 yang tidak dibatalkan MK tersebut. Sehingga dengan demikian tidak benar jika dikatakan bertentan­gan dengan konstitusi.

Lalu apa dong yang diubah MK dalam Undang-Undang Pilpres?
Pada putusan MK nomor 108/2013 tentang permoho­nan uji materi Undang-Undang Pemilihan Presiden menyatakan MK menolak permohonan un­tuk membatalkan presidential threshold. Dalam putusan terse­but, MK menegaskan penetapan ambang batas perolehan suara sebagai syarat pengajuan calon presiden merupakan kewenan­gan DPR sebagai pembentuk undang-undang. (Presidential threshold) itu merupakan ke­bijakan hukum terbuka atau delegasi kewenangan terbuka yang dapat ditentukan sebagai legal policy oleh pembentuk undang-undang.

Memang benar tahun 2019 pil­pres serentak dengan pileg, na­mun demikian hanya ada 1 (satu) pemilu yang ada sebelum pemilu 2019 yaitu pemilu 2014. Dengan demikian logika yang diopini­kan bahwa ada pendapat terkait kadaluwarsa kondisi politik lima tahun sebelumnya adalah tidak tepat, karena memang ada tidak pemilu lain selain pemilu 2014 yang bisa memjadi dasar rujukan presidential threshold.

Jadi pemerintah tetap meng­inginkan besaran presidential threshold tetap seperti pada pilpres 2014?
Dalam konstitusi UUD 1945 pasal 28 J ayat (2) dijelaskan bahwa pembatasan yang ditetap­kan dalam undang-undang ada­lah konstitutional, sepanjang nilai maslahatnya atau kebai­kannya lebih besar ketimbang mudharatnya untuk kepentingan bangsa dan negara. Presidential threshold tidak dimaksudkan untuk menghalangi munculnya capres lain, karena rumusan RUU Pemilu yang disusun pemerintah dan telah disetujui Pansus telah diatur ketentuan bahwa koalisi parpol dalam mengusulkan pasangan capres-cawapres tidak boleh menyebab­kan parpol atau gabungan parpol lainnya tidak dapat mengusulkan pasangan capres-cawapres lain­nya.

Tapi bukankah jika pe­merintah ngotot presidential threshold tetap ada, maka dampaknya juga akan men­ghalangi munculnya capres alternatif. Padahal dasar gu­gatan terhadap presidential threshold bertujuan untuk memunculkan capres alter­natif?
Ya, jika hanya terdapat hanya satu pasangan capres-cawapres maka Komisi Pemilihan Umum akan menolak dan memberi perpanjangan waktu pendaft­aran capres-cawapres. Dengan demikian semangat pembentuk undang-undang justru seba­liknya mendorong munculnya minimal dua pasangan capres-cawapres. Presidential threshold ini tidak mereduksi esensi atau substansi demokrasi, karena esensi atau substansi demokrasi bukan ditentukan oleh kuantitas capres-cawapres.

Sebaliknya justru sistem pemilu yang dibangun saat ini sudah tepat karena mendorong peningkatkan kualitas capres-cawapres. Hal ini sejalan dengan upaya penguatan esensi atau substansi demokrasi serta kon­solidasi demokrasi. Pada tahun 2009, Pilpres (diikuti) lima pasang calon capres-cawapres lalu Pilpres tahun 2014 muncul dua pasang capres-cawapres. Yang seharusnya gabungan Parpol lain bisa muncul empat pasang calon capres-cawapres, padahal presidential threshold 20-25 persen. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA