Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Dubes Rusia Mikhail Galuzin, 'Kepergok' Di Pacific Place

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/derek-manangka-5'>DEREK MANANGKA</a>
OLEH: DEREK MANANGKA
  • Jumat, 30 Juni 2017, 06:35 WIB
Dubes Rusia Mikhail Galuzin, 'Kepergok' Di Pacific Place
Marina-Derek-Mikhil
RUBRIK “The Ambassador” di majalah “Vista” di tahun 1988, memberi banyak pengalaman menarik bagi saya sebagai wartawan. Padahal rubrik itu, sebetulnya hanya sebuah ide jadi-jadian yang secara spontan dilontarkan oleh Surya Paloh sebagai investor yang menyulap bekas “majalah kuning” itu menjadi sedikit bergengsi.

Mengapa saya sebut ide jadi-jadian? Antara lain, ketika Surya Paloh membeli majalah gagal tersebut dari Achmad Thaufik, tujuannya hanya untuk memberi “mainan” kepada para bekas wartawan dan karyawan harian “Prioritas” yang sedang menganggur - akibat harian itu dibreidel oleh penguasa Orde Baru dengan eksekutornya Menteri Penerangan Harmoko.

Saya pun tanpa berpikir panjang, langsung mengangguk setuju, siap menghadirkan rubrik “The Ambassador” sewaktu gagasan itu disampaikan oleh Surya Paloh.

Selama hampir dua tahun mengasuh majalah tersebut dari Gedung Prioritas - yang kini menjadi Markas Besar Partai Nasdem, hampir seluruh Duta Besar negara sahabat yang bertugas di Jakarta, pernah diprofilkan di majalah tersebut.

Tidak itu saja, Dubes Mongolia yang diakreditasi untuk Indonesia namun hanya bisa berkantor di Tokyo, Jepang, sempat mengundang saya ke Negeri Sakura itu untuk sebuah wawancara - dan dimuat di majalah “Vista”.

Saat itu “Perang Dingin”, perang antar ideologi non-komunis melawan komunis sedang panas-panasnya.

Blok non-komunis dipimpin oleh Amerika Serikat di pihak komunis dimotori oleh Uni Sovyet. Dan Mongolia ketika itu secara politik berada dalam blok Uni Sovyet. Sehingga ketika masuk ke kompleks Kedubes Mongolia, suasana komunis itu cukup terasa. Maksudnya suasana kaku.

Di Jakarta, rubrik "The Ambasaador" sempat bikin heboh dengan Kedutaan Besar Amerika Serikat. Maksud saya hubungan saya dengan diplomat Amerika yang menangani masalah media, sempat sewot. Gara-gara hasil wawancara dengan Dubes Paul Wolfowitz saya beri judul: “Saya Bukan CIA”.

Atase Pers Kedubes AS ketika itu sangat marah. Karena hasil wawancara tersebut tidak saya berikan copy-nya untuk dia periksa sebelum dimuat. Saya memang meng-iya-kan permintaannya, beberapa saat saya keluar dari ruang kerja Paul Wolfowitz - diplomat berdarah Yahudi yang kelak menjadi Presiden Bank Dunia.

Tapi iya-nya saya sangat terpaksa, karena saya sangat tidak suka dengan sensor seperti itu dilakukan oleh narasumber. Apalagi narasumber kali ini dari negara demokrasi, dimana kebebasan pers sangat dijamin.

Saya sempat tutup atau banting telepon si Press Attache Kedubes AS itu, ketika dia mengancam akan memberi tahu ke Bagian Konsuler yang menangani urusan Visa, untuk tidak pernah memberi saya visa masuk Amerika.

“Terima kasih dengan ancaman anda. Saya baru tahu, ternyata anda lebih komunis dari diplomat Uni Sovyet. Dan kalau itu alasan anda, saya juga senang untuk tidak akan pernah menginjakkan kaki Amerika. Saya pasti akan memberi tahu Ambassador Wolfowitz tentang ancaman anda”, kata saya sambil menutup telepon.

Saya merasa puas dengan perdebatan bersama diplomat Amerika itu - yang saya lupa namanya. Terutama karena setelah saya bertemu dengan Paul Wolfowitz di sebuah resepsi, saya tanya bagaimana hasil wawancara kami.

“It’s good Derek. Thank you for profiling me”, jawabnya

Pemberian judul “Saya Bukan CIA”, bukan tanpa alasan. Pada edisi sebelumnya, wawancara saya dengan Duta Besar Uni Sovyet - sebelum negara itu pecah menjadi beberapa negara di antaranya Rusia, diberi judul: “Saya Bukan KGB”.

Dan ‘Edisi Sovyet’ itu saya minta bagian sirkulasi untuk mengirimkannya ke Kedubes AS di Jl. Merdeka Selatan dengan penerimanya Duta Besar Paul Wolfowitz. Karena sebelum 'Edisi Sovyet' itu terbit saya sudah minta waktu wawancara dengan Paul Walfowitz.

Rubrik “The Ambassador” itu saya hidupkan dalam format yang berbeda di “Quick Channel TV” di tahun 2000. Kebetulan majalah “Vista” juga sudah beralih kepemilikan dan berganti format.

Dari pergaulan melalui wawancara khusus dengan para diplomat negara sahabat tersebut, cukup banyak pengalaman menarik yang saya lewati. Atau ada hal-hal kecil yang menyangkut sifat-sifat manusia yang saya bisa pelajari. Ada yang langsung akrab, ada yang sangat menjaga jarak. Ada yang sangat royal kalau mengajak bertemu, tapi ada yang juga yang sangat pelit.

Ada yang bahkan super dekat dalam arti bersahabat sangat baik. Tetapi tak sekalipun mau dikutip pernyataannya, sekalipun pernyataannya dari sisi berita, sangat “news worthy”.

Saya sebut saja Dubes Singapura Edward Lee. Pak Edward, demikian saya sering sapa, merupakan Dubes yang bertugas paling lama di Indonesia. Tiga belas tahun! Padahal rata-rata seorang Dubes hanya bertugas tiga tahun.

Bukan hanya sekali saya diundang makan siang berdua di kediaman resminya - rumah yang menurut Pak Edward disewa dari Om William Soerjadjaja, pendiri PT Astra. Rumah yang terletak tak jauh dari rumah dinas Wapres RI itu, punya dua pintu masuk. Dari Jalan Diponegoro atau Jl. Mangunsarkoro, di Menteng Jakarta Pusat.

Menikmati makan siang yang ada anggur merah atau putih dan ditutup dengan kopi panas, saya merasa betapa mewahnya fasilitas yang diberikan oleh pemerintah Singapura kepada Dubes Edward Lee.

Hari ulang tahun saya kebetulan sama dengan Hari Kemerdekaan Singapura.

Di saat seperti itu, saya pernah diajak oleh Edwatd Lee untuk main golf bersama dua wakilnya - Wakil Dua Besar. Yakni Ashok Mirpuri dan Hirubalan. Kami hanya berempat main golf di Padang Golf, Emeralda. Merayakan Ulang Tahun Hari Nasional Singapura, sealigus ultah saya.

Saya pernah berada dalam suasana kebathinan, bahwa saat itu terdapat lima juta warga Singapura merayakan hari ulang tahun saya.

Nah yang saya suka pada diplomat senior Singapura ini, sikapnya. Kami bersahabat tapi tetap memiliki prinsip dalam posisi sebagai warga negara yang berbeda.

Manakala kami berdiskusi sambil berjalan kaki di padang golf - apakah itu di saat yang matahari terik di pagi hari atau tengah beristirahat di shelter karena ada ancaman petir, dia menghargai sikap saya tentang Singapura - sekalipun sikap itu tidak “ngenakin” bagi dia.

Edward Lee menegaskan, dia tidak sependapat dengan pandangan saya bahwa banyaknya warga Indonesia yang menjadi pemegang kartu penduduk tetap Singapura, bisa menjadi bom waktu dalam hubungan kedua negara. Terutama karena di antara mereka banyak yang berstatus koruptor atau pemalak pajak.

Diplomat lain yang punya karakter menarik, saya temukan pada Mikhail Galuzin, Duta Besar Rusia untuk Indonesia.

Hanya sekali saya diperkenalkan kepadanya oleh Pri Sulisto, setelah itu Galuzin langsung mengirim pesan melalui WA atau email ke saya secara rutin.

Pemahaman saya tentang konflik Ukraina, embargo AS atau PBB atas Rusia dan krisis Syria menjadi berimbang. Karena masukan-masukan Galuzin.

Pri Sulisto saat memperkenalkan kami, sedang menjabat Ketua Alumi Amerika Serikat (Alumnas) di Indonesia dan merangkap Ketua Kadin Komite Rusia serta Presiden dari Asosiasi Konsultan Politik Se Asia Pasifik.

Semenjak itu, tak terhitung undangannya ke saya baik makan malam, makan siang, minum teh atau datang ke pelabuhan Tanjung Priok untuk melihat Kapal Induk Armada Laut Kapal Perang Rusia yang merupakan saingan Armada VII Amerika Serikat.

Galuzin termasuk diplomat Rusia yang vokal. Dia tidak ragu menulis surat protes kepada sebuah harian berbahasa Inggeris di Jakarta, yang katanya sudah mewawancarai dia berjam-jam, tapi hasil wawancaranya tidak dimuat.

“Pers kamu terlalu berpihak kepada Amerika”, katanya menuduh melalui saya.

“Yah berarti anda sebagai diplomat, belum berhasil di Indonesia. Saya lihat anda belum bisa merubah stigma bahwa Rusia itu negara komunis”, ujar saya yang membuat dia menengada ke atas, sambil bergaya seperti menepok jidat.

Dia mengeluh soal sulitnya investor Rusia bersaing di Indonesia. Saya jawab, mengapa Presiden Vladimir Putin tidak anda rancang lakukan lawatan khusus ke Indonesia.

Tirulah Amerika. Obama sempat dua kali ke Indonesia, sampai akhirnya Lion Air membeli lebih dari 200 unit pesawat produk Boeing.

"Putin apa yang dia lakukan?", bertanya saya pada Galuzin.

Kemarin, Rabu 28 Juni 2017, saya tidak sengaja “memergoki”nya di Pacific Place. Siang itu saya dan putra saya sedang menuju ke lantai 5, lantai dimana banyak terdapat banyak restoran.

Di depan kami, lalu nampak seorang mirip Mikhail Galuzin.

Ketika Tondy putra saya memberi tahu bahwa di depan kami mungkin Dubes Rusia, saya masih agak ragu. Karena gayannya tidak seperti selama ini saya temui. Berpakaian jeans dengan kemeja garis-garis dan membawa tas yang talinya dilingkarkan di pundak. Sangat jarang Dubes berjalan di tempat mall terbuka seperti itu dengan menentang tas. Biasanya tangannya kosong karena tasnya dibawa oleh ajudan atau staf.

Baru setelah dia berada di atas escalator dan menengok ke belakang serta bertatapan denga saya, barulah kami saling tegur.

Waktu yang singkat itu kami manfaatkan untuk berbasa-basi, kemudian saya minta izin dia untuk foto bersama.

Jadilah foto di mana saya berada di tengah, diapit oleh Mikhil Galuzin dan Marina isterinya. Sementara foto bertiga yang saya posting bersama, saat saya dan isteri diundang Galuzin menghadiri Hari Kemenangan Rusia dua tahun lalu di Hotel Ritz Carlton, Jakarta Pusat. [***]

Penulis adalah wartawan senior

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA