John Mempi merespon "Surat Rindu Buat Bu Siti Fadilah", tulisan D’Amour Sakina yang beredar di media sosial.
Anak berusia 9 tahun itu antara lain menyatakan, dia sedih karena Ibu Siti Fadilah yang dia kenal baik, dijatuhi hukuman penjara selama 6 tahun.
Tapi D’Amour juga minta agar jangan ada lagi tetesan air mata.
"Untuk apa? Karena semua teman, sahabat yang selama ini ibu anggap mereka akan ada buat ibu pada saat ibu sedang menghadapi kesusahan, ternyata mereka semua lebih memilih menjauh dari permasalahan yang ibu hadapi"
"Untuk itu, buat apa kita menangis karena perbuatan segelintir orang-orang yang sudah menjebak ibu dalam perangkap buasnya mereka?", demikian antara lain petikan tulisan dari anak yang pernah divonis psikolog sebagai anak “Indigo†tersebut.
Semula saya mengabaikan respon John Mempi yang sejatinya oleh sejumlah sahabat menganggapnya bukan sekedar pengamat. Melainkan John seorang anggota intelejen yang besar dan dibesarkan di era Ali Murtopo dan Benny Moerdani - dua pentolan intelejen Indonesia yang sudah almarhum, namun hingga sekarang masih melegenda.
Rasa penasaran atas respon John Mempi itu berkembang dan membawa ingatan pada sejumlah cerita Siti Fadilah kepada saya - ketika kami berbagi cerita dalam rangka penulisan bukunya di tahun 2014 - 2015.
Dari ceritanya, ada beberapa kisah yang sengaja saya sensor. Saya menyensornya, sekalipun Bu Siti sendiri sebagai narasumber dan pemberi testimoni, justru tidak keberatan jika topik yang diceritakannya itu dimuat dalam buku secara utuh.
"Buat apa mau anda tutupi, sementara saya yang mengalaminya kok", demikian Ibu Siti Fadilah.
Saat mendorong saya menulis apa adanya, kami berdua tidak pernah membayangkan, dia kelak menjadi pasien KPK pada kwartal terakhir di tahun 2016.
Siti Fadilah misalnya mengisahkan beberapa episode dalam kehidupannya sebagai Menteri Kesehatan. Dimana tidak pernah dibayangkan olehnya kedudukan kementerian yang dipimpinnya sangat strategis.
"Saya kira banyak yang masih berpikir, untuk mencegah negara kita dirusak negara lain, maka yang harus dijaga adalah seluruh wilayah perbatasan. Dengan paradigma itu, kita perlu anggaran pertahanan dan persenjataan yang besar".
"Padahal masalah kesehatan yang tidak pernah kita perhitungkan sebagai tempat pintu masuknya kegiatan agresi dan subversi, justru yang paling vital"
Lanjut dia mengawasi secara ketat peredaran virus asal Indonesia yang sampelnya diambil oleh pihak asing. merupakan persoalan mendesak.
Soalnya sampel-sampel tersebut kemanfaatan dan pemanfatannya seperti pisau bermata dua. Ada yang hasil penelitiannya digunakan untuk membuat anti-penyakit atau obat tertentu, tetapi ada bagian lainnya yang justru dibuat sebagai penyebar peyakit baru.
Kedua-duanya menghasikan uang tak terbatas.
Dalam hal ini industriawan farmasi asing, yang memperoleh virus dan sampel dari Indonesia, menikmati keuntungan yang luar biasa. Triliunan rupiah atau milyaran dolar.
Sementara Indonesia sebagai negara yang menyumbang virus kepada dunia kesehatan, tak mendapatkan apa-apa.
Siti Fadilah mengemukakan, selama 5 tahun menjadi Menteri Kesehatan (2004-2009), ia menemukan banyak persoalan yang janggal dalam bidang kesehatan. Terutama soal penyakit lama dan penyakit baru.
Tiba-tiba saja penyakit TBC dan Malaria yang sudah lama diangggap tak berjangkit di Indonesia, dinyatakan sudah mewabah kembali. Mau tak mau harus ada anggaran pencegahannya.
Atau penyakit “flu burung†yang menyerang Indonesia dan “flu babi†menyerbu Meksiko.
"Itu semua bagian dari rekayasa industriawan farmasi. Dan untuk pencegahannya membutuhkan dana yang besar yang otomatis membebani anggaran pemerintah", katanya.
Fenomena ini, menurut analisanya, hanya terjadi di negara yang sedang berkembang seperti Indonesia atau negara-negara lainnya di Afrika.
Fakta lain yang juga ditemukannya, virus asal Indonesia, setelah diproses di laboratorium, bisa digunakan untuk bahan bagi pembuatan senjata kimia.
Di samping soal penyakit ia menjelaskan, sewaktu menjabat sebagai Menteri Kesehatan, dia juga merasakan dan mengalami tekanan yang sangat serius. Satu diantaranya, ketika dia diberi tahu oleh pejabat tinggi BIN.
Menurut Situ Fadilah, lembaga intelijen berhasil mendeteksi adanya pembunuh bayaran yang bemaksud mengeksekusinya. (Nama pejabatnya disebut, tetapi saya sengaja tidak menuliskannya. Karena yang penting bukan siapa tetapi apa isinya).
Dan para pembunuh bayaran tersebut berperan sebagai “sniper†atau penembak jitu.
Hanya saja Siti Fadilah kemudian merasa tenang sebab oleh Kepala BIN dia diberi tahu bahwa lembaga itu telah menyiapkan penangkalannya.
Nama-nama para “sniper†berikut NRP, sudah dikantongi BIN. Dan di pihak lain, BIN juga memberitahunya bahwa sejumlah personil yang bertugas sebagai intel sekaligus memproteksinya, melakukan pengawalan pada dirinya selama 24 jam sehari.
Namun Siti Fadilah mengaku dia tidak pernah berjumpa dengan mereka - pihak yang ditugaskan oleh BIN maupun mereka yang bermaksud membunuhnya.
Karena percakapan kami terjadi setelah Siti Fadilah sudah menjadi rakyat biasa, saya sempat menyinggung soal profesinya sebagai ahli penyakit jantung.
Sebagai dokter senior dan mantan menteri, Siti Fadilah memiliki jaringan di bidang medis dan industri farmasi yang cukup luas.
Secara tidak sengaja ia meyinggung penggantinya Dr. Endang Rahayu Sedyaningsih, salah seorang juniornya.
Pasalnya Menkes untuk periode 2009-2014 ini meninggal pada 2 Mei 2012 saat masa jabatannya baru separuh waktu.
Penyebab kematiannya disebut akibat penyakit kanker. Namun Siti Fadilah sempat meminta saya untuk mencari data kesehatan almarhumah.
"Untuk apa?", saya balik bertanya.
"Supaya Mas Derek bisa punya bukti soal sejarah peyakit almarhumah.
Dari sana bisa dibuat kesimpulan apakah Menteri Endang memang meninggal akibat penyakit kanker atau bagaimana?", kata Siti Fadilah tersenyum.
Pernyataan terakhir ini saya hubungkan dengan pernyataan di bagian awal dari John Mempi.
John menutup postingannya dengan mengatakan kita sekarang tinggal menunggu siapa yang akan menjadi tumbal berikutnya.
John Mempi, Siti Fadilah dan beberapa figur lainnya seperti Prof. Dr. Sri Edi Swasono, Dr. Connie Rahakundini Bakrie, Hatta Taliwang serta Poppy Dharsono pernah membentuk grup WA bertajuk KKR.
Kegiatan kami antara lain melakukan pertemuan sekali seminggu atau sesuai kebutuhan. Manakala bertemu, kami sering berbagi cerita dan informasi.
Namun semenjak Siti Fadilah mendekam di Rutan Pondok Bambu, Jakarta Timur, kopi darat ala KKR itu, praktis terhenti. Kami semua prihatin atas jeratan hukum yang menimpa Ibu Siti Fadilah.
Jalan hidupnya cukup memilukan. Ia lolos dari usaha pembunuhan oleh "sniper" bayaran. Tapi ia tak kuasa menghindari dari jebakan hukum. Bui tempatnya.
[***]Penulis adalah wartawan senior