MoU bersama Mabes Polri akan disetujui November menÂdatang. Namun keduanya perlu membahas perpanjangan MoU tersebut terlebih dulu untuk memastikan lengkapnya proseÂdur atau sarana prasarana guna melindungi saksi dan korban. Berikut penjelasan Ketua LPSK, Abdul Haris Semendawai;
Apa isi pembahasan terkait korban teroris dan TPPO?Terkait hal itu kami fokuskan ke masalah ganti rugi atau resÂtitusi kepada korban. Ke depan, penghitungan kerugian dari para korban akan dilakukan sejak proses penyidikan. Jadi penghiÂtungan kerugian dari korban ini dapat dimasukkan dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP).
Kenapa harus begitu?
Supaya korban ini tidak ada kesulitan untuk mendapatkan suÂrat keterangan (suket), sehingga dia akan punya legalitas dan daÂpat mengajukan restitusi dalam proses peradilannya nanti.
Memang selama ini para korban sulit mendapatkan suket tersebut?Iya. Beberapa korban kesuliÂtan mendapatkan pelayanan kesÂehatan. Itu karena mereka tidak punya suket dari polisi bahwa mereka adalah korban. Sebagai korban mereka juga berhak mendapatkan kompensasi dari negara. Ini sesuai dengan keÂtentuan yang ada di perundang-undangan.
Tapi untuk bisa disebut korban ini tentunya harus ada pengumÂpulan data, dan penilaian terkait kerugian, yang akan dibayar oleh negara. Makanya kami mengusulkan itu dilakukan sejak awal. Terkait hal ini mendapat respon baik dari Pak Kapolri. Beliau sudah berjanji akan meÂnyampaikannya kepada pimpiÂnan-pimpinan, Kabareskrim, juga kepada Densus, supaya dalam proses penyidikan itu untuk memperhatikan kerugian oleh korban. Sehingga pada saat korban akan mengajukan tidak ada hambatan untuk hal tersebut.
Memang biasanya apa peÂnyebab kepolisian memperÂsulit pengeluaran suket terseÂbut?Mungkin karena mereka engÂgak punya data pasti tentang siapa saja korbannya. Setelah kejadian mereka kan fokus kepada pengungkapan kasus, mencari barang bukti, saksi, dan lain sebagainya. Akibatnya kebutuhan korban agak terbengÂkalai. Makanya sekarang kami usulkan didata sejak awal.
Kalau untuk ganti ruginya bagaimana?Gati ruginya sebetulnya masih bermasalah juga, khususnya buat korban terorisme. Contohnya kaÂsus di Thamrin dan Samarinda. Kerugian para korban dari dua kasus itu sebenarnya sudah dihitung.
Tapi belum didapat juga, karÂena perhitungan ganti ruginya tidak sistematis. Sampai saat ini masih banyak korban yang menunggu haknya. Korban Bom Bali itu malah banyak bantuannya dari negara lain, sepÂerti Australia. Lalu korban Bom Marriott justru dapat bantuan dari yayasan.
Lalu harus bagaimana suÂpaya ganti rugi para korban ini lebih terjamin?Harus ada penyederhanaan mekanisme pemberian ganti ruginya.
Selain masalah ganti rugi, apalagi yang dibahas terkait para korban ini? Kami merekomendasikan agar aparat jangan hanya menghitung kerugian nyata yang dialami korÂban pada saat peristiwa terjadi. Tetapi juga potensi kerugian yang diderita korban karena dia menjadi korban.
Maksudnya?Misalnya, seseorang karena menjadi korban terorisme lantas menjadi kehilangan mata pencaÂharian. Apabila dia kehilangan pendapatannya itu, maka hal tersebut dihitung sebagai keruÂgian. Sehingga bukan hanya biaya pengobatan, bukan hanya properti dia yang rusak, tetapi juga potential loss atau kerugian korban untuk masa yang akan dating juga dihitung.
Kalau kerugian immateÂrial juga harus dimasukan, bukankah agak sulit dihitung karena besarannya akan sanÂgat tergantung pada kerugian yang dirasakan oleh korban?Tidak. Jadi parameter dari potensi kerugian di masa yang akan dating tinggal dibuat jelas saja. Misalnya, kehilangan mata pencahariaan itu sangat jelas.
Ini berbeda dari kerugian immateriil yang tidak terukur, seperti perasaan sakit atau perasaan kurang menyenangÂkan. Jadi kami berharap bahwa dalam proses penyidikan seÂjak awal itu korban sudah didata kerugiannya, sehingga ketika sampai ke pengadilan semuanya jelas. ***
BERITA TERKAIT: