WAWANCARA

Imran Agus Nurali: Di Jakarta Masih Ada 27 Persen Keluarga Dengan Kondisi Sanitasi Sangat Tak Layak

Senin, 20 Maret 2017, 10:20 WIB
Imran Agus Nurali: Di Jakarta Masih Ada 27 Persen Keluarga Dengan Kondisi Sanitasi Sangat Tak Layak
Imran Agus Nurali/Net
rmol news logo Badan Kesehatan Dunia atau WHO melaporkan terdapat 1,7 juta anak di bawah usia lima tahun (balita) di dunia ini meninggal tiap tahunnya, akibat buruknya kualitas lingkungan. Hal itu disebabkan polusi udara, perokok pasif, air yang tidak aman, dan kurangnya sanitasi.

Buruknya sanitasi dan air mi­num yang tidak layak memberi kontribusi terhadap kematian 361.000 balita setiap tahunnya di dunia. Mereka kebanyakan men­inggal akibat terjangkit diare. Lalu bagaimana di Indonesia? Direktur Kesehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan, Imran Agus Nurali menuturkan 60 persen keluarga di Indonesia belum memiliki jamban. Berikut penuturan Imran Agus Nurali;

Sudah berapa persen masyarakat di Indonesia memi­liki sanitasi yang baik?

Saat ini secara nasional yang sanitasi yang layak itu berjumlah 68,06 persen keluarga se-Indo­nesia. Ini kita realtime per hari ini, per jam ini. Kemudian desa dan kelurahan yang sudah stop air besar sembarangan itu masih 8.429. Walaupun data itu masih harus diverifikasi dulu nanti baru dia dinyatakan bebas.

Bagaimana dengan kon­disi sanitasi di Ibukota DKI Jakarta, apa masih ada warga yang buang air besar semba­rangan?
Di DKI Jakarta total 73,69 persen keluarganya sudah me­makai sanitasi yang layak, tapi masih (ada) 27 persen keluarga yang belum.

Kalau secara nasional?
Tadi kalau secara nasional kan 60 persen dari jumlah KK ya. Jumlah KK di Indonesia kalau nggak salah 75 juta. Nanti bisa kita hitung itu. Jadi berapa KK lagi yang belum ada baik di DKI, Surabaya dan kota-kota lainnya.

Lalu daerah mana yang sanitasinya paling rendah?
Sanitasi paling rendah saya belum hafal. Papua dan Papua Barat mungkin dari segi keter­batasan, geografis, perilaku war­ganya, minumnya, air bersihnya, maka akan berpengaruh dengan sanitasinya.

Kalau menurut WHO untuk urusan sanitasi Indonesia masuk dalam urutan ke berapa?
Dari data World Bank me­mang ada 100 ribu per tahun meninggal. Tapi kalau yang meninggal karena diare, datanya kita tidak punya.

Oh ya, jika sanitasinya bu­ruk apa saja sih dampaknya bagi kesehatan masyarakat?

Yang akut itu kan diare, cac­ingan, bahkan di daerah-daerah tertentu bisa hepatitis. Tapi ada juga diare kronis yang kecil-kecil tapi lama khususnya pada bayi dan balita.

Karena terjadi kerusakan pada dinding usus, menganggu pe­nyerapan zak gizi makanan, sehingga dikasih zat gizi apapun akan keluar.

Kondisi tersebut apa pen­garuhnya terhadap tumbuh kembang anak?
Akan sangat berpengaruh pada tumbuh kembang anak, se­hingga dia jadi pendek. Awalnya kita kira karena kurang gizi, tapi sebenarnya itu salah satu penyebabnya karena sanitasi yang jelek.

Air bersih dan sanitasi itu sangat sensitif kepada kelompok rentan yaitu, pada ibu hamil, bayi, balita dan lansia. Sehingga harus diupayakan air bersihnya terjamin aman dan sanitasinya tidak mencemari lingkungan. Ibu hamil juga demikian, kalau menggunakan air tidak bersih juga berpengaruh pada pertum­buhannya janinnya. Kalau usia produktif kekuatan fisiknya masih bisalah.

Lantas sejauh ini apa saja langkah yang sudah dilakukan untuk memperbaiki buruknya sanitasi dan penyediaan air bersih?
Di beberapa daerah sudah ada upaya memberpaiki. Tetap kita harus melakukan pendampingan terus menerus dan itu sifatnya saling mengawasi di satu desa, nanti juga ada satu leader. Nanti sebagai tokoh masyarakat akan mengawasi tadi. Sampai nanti akan ada akses pembangunan oleh Pekerjaan Umum (PU), yang diperlukan oleh keluarga adalah jamban sendiri, itu memang harus mandiri bukan subsidi.

Nah proses tanpa subsidi inilah yang kita bantu dan kita fasilitasi. Salah satunya dengan wirausaha sanitasi membuat jamban. Nanti secara ekonomi mereka membuat jamban, dan cetakan jambannya kita pin­jamkan ke puskesmas. Kita beli ke pengusaha dengan harga murah. Kesannya jamban itu harus mewah. Banyak contoh, ada satu jamban Rp 75.000 bisa kuat dua tahun.

Pemerintah sendiri sudah menyiapkan anggaran khusus belum untuk memperbaiki sanitasi?
Yang kita anggarakan ada­lah untuk pelatihan-pelatihan. Cetakan jamban nanti kita kasih. Justru masyakat dengan cara mandiri tadi, bisa dengan ci­cil, dengan arisan, akhirnya dengan harga murah mereka bisa memiliki (jamban) sendiri. Karena mereka sudah kita bikin membutuhkan.

Termasuk kita juga dibantu oleh MUI sudah mengeluar­kan fatwa tahun 2015 bulan Oktober dalam pemanfaatan infaq, sadaqah untuk pembangun air bersih dan sanitasi, termasuk untuk dalam bentuk kredit untuk membeli jamban.

Sudah ada contohnya di Tangerang dalam bentuk ko­perasi syariah, kemudian di Wonogiri juga sudah ada. Nanti akan dikembangkan ini, khusus bagi yang sudah benar-benar tidak mampu.

Lalu bagaimana dengan sanitasi di wilayah pesisir?
Kita di Indonesia itu ada wilayah pasang surut. Daerah pesisir ada teknologi tepat gu­na, sudah ada percontohan di Kalimantan Tengah dan Jawa Timur membuat septic tank terapung.

Apa target percepatan akses air minum dan sanitasi pada tahun 2019 akan tercapai?
Saya tetap optimis dan harapan juga dibantu dari sisi anggaran. Karena kebutuhan anggarannya juga cukup besar untuk sanitasi tapi bukan hanya kesehatan dan perilaku tapi juga akses air juga harus diperhatikan. Karena kalau punya jamban tapi tak punya air bersih ya percuma. Ya kalau mengharapkan air hujan kan ng­gak tiap hari hujan. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA