Nus Kholis: Masyarakat Adat Amungme Dan Kumoro Ingin Dilihat Sebagai Subjek, Bukan Observer

Sabtu, 18 Maret 2017, 08:56 WIB
Nus Kholis: Masyarakat Adat Amungme Dan Kumoro Ingin Dilihat Sebagai Subjek, Bukan Observer
Nus Kholis/Net
rmol news logo Baru-baru ini Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnnas HAM) disambangi perwakilan suku Amungme dan Kumoro. Suku asli Papua yang men­diami kawasan pertambangan PT Freeport Indonesia. Melalui Komnas HAM mereka mend­esak pemerintah agar dilibatkan dalam proses negosiasi dengan PT Freeport Indonesia. Apa saja yang dibicarakan saat perwaki­lan suku Amungme dan Kumoro hearing dengan Komnas HAM? Berikut penuturan Komisioner Komnas HAM, Nus Kholis:

Sejauh ini apa saja hasil dari pertemuan antara Komnas HAM dengan perwakilan kedua suku Papua tersebut?
Kami sudah sampaikan ke­pada Kementerian ESDM, dan mereka tidak keberatan untuk mengikutsertakan masyarakat adat dalam perundingan. Menteri ESDM Ignasius Jonan kan sudah menyatakan, mereka dipersilakan kalau mau hadir sebagai observer. Tapi Lembaga Masyarakat Adat Amungme (Lemasa) maunya mereka dilihat sebagai subjek. Menteri ESDM juga akan memastikan, kalau dalam kesepakatan negosiasi itu nanti akan ada satu point soal po­sisi masyarakat. Selama ini kan enggak pernah dibahas. Sejauh ini itu perkembangannya.

Alasan apa yang dikemuka­kan perwakilan suku Papua itu sehingga mereka menolak diposisikan sebagai observer?
Kalau sebagai subjek po­sisinya akan setara dengan pemerintah dan PT Freeport Indonesia. Mereka ingin bisa menjadi peserta langsung, yaitu peserta yang ikut aktif terlibat dalam perundingan itu. Mereka ingin ikut dilibatkan dalam pengambilan keputusan ben­tuk kerjasamanya. Apa pun bentuknya nanti, mereka ingin dilibatkan.

Memangnya mereka ingin ada aturan tertentu, sehingga ingin ikut menentukan?
Tidak juga. Intinya mereka ingin mulai sekarang posisinya sama dengan pemerintah dan PT Freeport Indonesia. Mereka tidak ingin lagi dianggap tidak ada, sehingga nasibnya terus seperti ini.

Maksudnya mereka minta diberikan saham sehingga bisa setara?
Soal saham saya mendengar juga itu. Itu kan terkait divestasi. Berapa persen, berapa persen. Tapi dalam kasus ini bentuk lain menurut saya. Soal saham itu nomer sekianlah. Intinya mereka hanya ingin dalam posisi yang setara, ingin jadi pihak yang penting juga dalam pengelolaan pertambangan. Mereka ingin ikut berpartisipasi semaksimal mungkin. Mereka lebih ingin mendapatkan pengakuan eksis­tensi Suku Amungme dan Suku Kumoro.

Memang mereka dilibatkan sampai sejauh mana?
Ya mulai dari perencanaan. Misalnya penandatanganan kontrak. Intinya mereka ingin dilibatkan dalam pengelolaan pertambangan di sana. Karena bagaimanapun, itu tanah leluhur mereka.

Lantas kalau permintaan mereka itu sampai ditolak oleh PT Freeport bagaimana dong?
Menurut saya ada peluanglah itu di akomodir itu. Kementerian ESDM kan enggak menutup diri. Tapi kalau negosiasinya gagal ya Komnas HAM juga siap membantu untuk melakukan mediasi.

Kalau masalah tanah adat­nya bagaimana?
Itu juga menjadi salah satu tuntutan mereka. Tapi tanah adat itu bagian dari pengakuan terhadap eksistensi mereka.

Saat ini pemerintah masih berunding dengan PT Freeport. Anda punya saran buat pemerintah?

Pertama, saya menyarankan sebelum adanya kesepakatan, masalah dengan masyarakat setempat diselesaikan dulu. Pemerintah buka ruang pen­gaduan, supaya semua masalah yang terjadi bisa diketahui. Dengan begitu, kita juga jadi tahu secara pasti kondisinya seperti apa.

Kedua, saya mengusulkan agar perlunya dilakukan audit hak asasi manusia sebelum izin operasi suatu perusahaan berakhir, atau sebelum per­panjangan izin pelaksanaan pertambangan.

Audit HAM perlu dilakukan sebagai tolok ukur kepatuhan sebuah perusahaan tambang terhadap berbagai aturan yang melingkupi berbagai aturan.

Misalkan sebelum PT Freeport menyelesaikan kontrak karya harus dilakukan audit HAM, untuk mengetahui apak­ah perusahaan tersebut bersih atau tidak. Supaya jika dia akan berinvestasi di tempat lain, nama baik perusahaan itu tidak tercemar.

Aspek apa saja yang harus diaudit?

Adapun aspek-aspek yang harus diaudit meliputi aspek dampak terhadap masyarakat, kemudian terhadap lingkungan serta dampak terhadap perusa­haan itu sendiri. Audit terhadap aspek masyarakat akan me­nitiberatkan pada penanganan masyarakat lokal pemilik hak ulayat yang menjadi lokasi pertambangan dengan meli­hat sejauh mana masyarakat setempat sudah mendapatkan hak-hak mereka selaku pemilik lahan.

Aspek lainya yang dilihat yakni dampak keberadaan per­tambangan tersebut terhadap lingkunngan. Audit ini akan meneropong seberapa jauh operasi pertambangan bisa menjaga keseimbangan ling­kungan.

Audit ini juga termasuk menilai sejauh mana sebuah perusahaan tambang menjalankan reklamasi pasca beroperasi. Pengalaman di Kalimantan Timur menun­jukkan ada perusahaan yang tidak melakukan reklamasi se­hingga timbul korban jiwa 24 orang tewas terperosok ke dalam lubang tambang.

Sementara itu, aspek ketiga yang diaudit akan menitiberat­kan pada dampak pertamban­gan terhadap perusahaan itu sendiri, yang meliputi beberapa hal seperti kepatuhan pada regulasi mengenai ketenagakerjaan. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA