Di tengah kemelut keprihatinan, saya mencoba mempelajari apa yang disebut sebagai Teologi Pembebasan yang digagas oleh Gustavo Gutierrez Merino kelahiran Lima, Peru pada tahun bersamaan dengan Sumpah Pemuda yaitu tahun 1928.
Gustavo Gutierrez adalah Mahaguru Teologi di Universitas Notre Dame di Amerika Serikat di samping Universitas Katolik Kepausan di Peru dan profesor tamu di banyak universitas terkemuka di Amerika Utara dan Eropa.
Prof. Gustavo Gutierrez adalah anggota Akademi Bahasa Peru, dan pada 1993 ia dianugerahi Legiun Kehormatan oleh pemerintah Perancis untuk karyanya yang tak mengenal lelah memperjuangkan kebebasan umat manusia dari angkara murka penindasan.
Gustavo Gutierrez juga pendiri dan anggota dewan direktur jurnal internasional, Concilium. Pengggagas teologi pembebasan ini Peru menghabiskan sebagian besar masa hidupnya dengan hidup dan bekerja di antara orang-orang miskin di Lima.
Mahakarya Gutiérrez, A Theology of Liberation: History, Politics, Salvation (1971) (“Suatu Teologi Pembebasan : Sejarah, Politik, Keselamatanâ€), menjelaskan pemahaman Nasrani tentang kemiskinan sebagai suatu tindakan solidaritas penuh cinta kasih dengan kaum miskin maupun sebagai protes pembebasan melawan penindasan terhadap kaum miskin.
Tiga dimensi utama Teologi Pembebasan adalah pertama mencakup pembebasan politik dan sosial, penghapusan hal-hal yang langsung menyebabkan kemiskinan dan ketidakadilan. Kedua, pembebasan mencakup emansipasi kaum miskin, kaum marjinal, mereka yang terinjak-injak dan tertindas dari “segala sesuatu yang membatasi kemampuan mereka untuk mengembangkan diri dengan bebas dan dengan bermartabatâ€. Ketiga, teologi pembebasan mencakup pembebasan dari egoisme dan dosa, pembentukan kembali hubungan dengan Allah dan dengan orang-orang lain.
Buku
A Theology of Liberation: History, Politics, Salvation dibahas oleh Kardinal Ratzinger dan ditemukan mengandung banyak gagasan yang dianggap tidak sesuai dengan kebijakan Vatikan .
Pada September 1984, sekelompok uskup Peru dipanggil ke Roma untuk mendengar langsung kecaman terhadap Gutiérrez dari Vatikan, namun para uskup itu tetap mendukung Gutiérrez.
Meskipun Gutiérrez sendiri tidak dikenai sanksi, banyak teolog pembebasan lainnya memperoleh sanksi kepausan. Akibat orang-orang miskin dilihat sebagai calon potensial pemberontak komunis, maka banyak imam yang berpikiran pembebasan dibunuh di negara-negara Amerika Selatan pada tahun 1980-an, yang paling terkenal di antaranya adalah Uskup Agung Oscar Romero.
Saya pribadi melihat kesamaan nurani kemanusiaan Gustavo Gutierrez dengan Sri Paus Fransiskus.
Saya pribadi prihatin atas nasib Sandyawan Sumardi akibat membela rakyat digusur malah dihujat dan difitnah sebagai makelar tanah, pelestari kemiskinan, penjual kemiskinan, profokator, komunis bahkan kriminal.
Setelah menyimak kisah Gustavo Gutierrez dan para pejuang nurani kemanusiaan ternyata malah dimusuhi berbagai pihak maka saya mulai sedikit demi sedikit mencoba mengerti kenapa Sandyawan Sumardi dihujat dan difitnah gara-gara berpihak ke rakyat miskin tergusur dan tertindas di persada Nusantara tercinta ini.
Ternyata masalah dasarnya cukup sederhana yaitu memang tidak semua orang berpihak kepada orang miskin tergusur dan tertindas akibat tidak semua orang mau dan mampu merasakan derita orang miskin tergusur dan tertindas.
[***]Penulis adalah orang yang prihatin nasib rakyat miskin tergusur dan tertindas
BERITA TERKAIT: