Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Ira Koesno, Presenter TV, Bangunkan Gairah Lelaki

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/derek-manangka-5'>DEREK MANANGKA</a>
OLEH: DEREK MANANGKA
  • Minggu, 15 Januari 2017, 19:58 WIB
Ira Koesno, Presenter TV, Bangunkan Gairah Lelaki
Ira Koesno/Net
KOMENTAR saya tentang debat Pilkada DKI Jumat kemarin, relatif terlambat. Antara lain karena saya sebetulnya tidak tertarik memilih satu di antara ketiga paslon.

Semua, paslon maupun para sponsor mereka, memiliki kekurangan yang tak bisa ditutupi. Siapa pun di antara mereka yang memimpin Jakarta, di mata subyektifitas pribadi, tak ada yang bisa menjamin bahwa keadaan akan lebih baik.

Omong kosong kalau keadaan Jakarta yang saat ini situasinya sangat dipengaruhi oleh kegaduhan yang bisa memecah NKRI, lantas bisa dibangun lebih baik seperti janji-janji mereka.

Apalagi ada paslon yang tidak berani menjawab apakah tidak tergiur menjadi calon presiden di Pemilu 2019, manakala sudah terpilih sebagai Gubernur DKI?

Ketiga paslon bukanlah pemimpin yang memenuhi persyaratan ideal yang dibutuhkan untuk memimpin ibukota NKRI, Jakarta.

Alasan lain, saya tandai, sudah terlalu banyak komentar yang muncul, khususnya di media sosial. Komentar para netizen, saya anggap sudah cukup mewakili.

Debat masih sedang berlangsung, tapi sudah cukup banyak netizen yang memposting penilaian mereka. Isi postingan semua menyoroti kelemahan dan kelebihan ketiga pasangan calon (paslon). Semuanya masuk akal, tergantung dari mana kita menilai.

Di pihak lain, adanya sorotan menunjukkan perhatian masyarakat terhadap debat maupun pelaksanaan Pilkada DKI 2017, ternyata masih cukup menarik.

Sekalipun debat itu digelar di akhir pekan, namun masyarakat yang tertarik menyaksikan debat lewat siaran langsung TV tersebut, masih cukup banyak.

Siaran langsung tentang debat, mungkin hanya dipengaruhi oleh Televisi Indosiar yang pada waktu yang sama menyiarkan Golden Memori Internasional.

Acara ini hiburan ini cukup menarik perhatian terutama bagi mereka yang berusia tua dan mapan. Terutama karena Indosiar menampilkan penyanyi tua asal Filipina, Jose Mari Chan. Penyanyi keturunan China yang populer di Indonesia dengan single Beautiful Girl di tahun 1990-an.

Atau yang membuat debat itu menarik, karena ada julukan, inilah Pilkada DKI Serasa Pemilihan Presiden. Sebab debat ini mengingatkan hal serupa yang diselenggarakan dalam Pilpres 2014. Debat TV yang menampilkan pasangan Joko Widodo, Jusuf Kalla melawan pasangan Prabowo Subianto, Hatta Rajasa.

Tentu saja tidak semua penilaian para netizen bermakna positif dalam arti bisa disetujui oleh semua pihak. Sebab masing-masing memberikan perspektif yang berbeda, tergantung pilihan dan keberpihakan pada setiap paslon.

Yang pasti, rata-rata komentar, isinya menarik, kritis dan cerdas.

Kalau hari ini saya akhirnya tertarik menambahkan komentar, bukan karena tidak mau ketinggalan. Melainkan karena ada kecerdasan masyarakat yang saya anggap menjadi hal yang mungkin paling menarik dari penyelenggaraan debat Pilkada DKI tersebut.

Yaitu komentar yang menyoroti penampilan Ira Koesno, sang moderator. Ira Koesno jadi sorotan karena kecantikan atau penampilannya.

Sebuah bukti bahwa cita rasa tentang kecantikan itu tak bisa dikalahkan oleh situasi yang kurang kondusif.

Saya menandai, terhadap semua paslon, tak satupun yang bebas dari kritik para netizen. Namun terhadap Ira Koesno, moderator, tidak ada yang mengeritik. Yang ada ada cuma pujian atau tanda jempol.

Tidak adanya yang mengkritik Ira Koesna, entah karena banyak yang bilang wanita ini masih terus menjaga status single-nya itu. Dan tentu saja yang tidak mau mengkritik dan hanya mengumbar pujian itu lebih banyak berasal dari bapak-bapak. Mereka, baik yang sudah tua beruban dan bercucu, maupun mereka yang menyembunyikan usia mereka melalui rambut hitam, karena disemir.

Kehadiran Ira Koesno ternyata telah memberi warna tersendiri terhadap debat tersebut.

Ira bahkan memberi kesan, dialah sosok manusia Indonesia yang pintar. Kepintarannya melebih semua, khususnya ketiga paslon yang berdebat di Jumat malam tersebut.

Seandainya Ira Koesno masih boleh mencalonkan dalam Pilkada DKI 2017, dia mungkin malah yang terpilih.

Ira Koesno dengan segudang pengalamannya memandu acara TV, berhasil menjinakkan atau mendikte para peserta debat. Semua menjadi penurut dan tiba-tiba kehilangan aura kepemimpinan mereka, ketika Ira Koesno membacakan semua persyaratan debat.

Sudah hampir dua puluh tahun Ira Koesno menghilang dari layar TV. Khususnya pemirsa SCTV. Tapi ternyata pemirsa tak pernah bisa melupakannya. Dan yang tak bisa dilupakan pemirsa, bukan sisi negatif. Tapi sisi kepintaran ataupun intelektualnya.

Sebagai catatan, Ira Koesno menjadi pembaca berita terkenal di era Indonesia sedang menghadapi "turbulence" atau instabilitas di semua lini. Yaitu pertengahan 1997 - saat nilai tukar mata uang rupiah mengalami penurunan secara drastis.

Penurunan atau depresiasi nilai, hal mana berujung pada munculnya multi krisis sekaligus menjadi penyebab atas kejatuhan Presiden Soeharto pada 20 Mei 1998.

SCTV, tempat Ira Koesno bekerja, sejatinya eksistensi berita-beritanya belum cukup populer dibanding yang disajikan oleh RCTI.

Kepemilikan SCTV dan RCTI sama-sama berada di tangan kroni Presiden Soeharto. Kantor kedua stasiun itu pun, berdekatan, di kawasan Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Hanya berjarak sekitar tiga kilometer.

Kalau saham SCTV sebagian besarnya dikuasai oleh Sudwikatmono, Henry Pribadi dan Harmoko (saat itu menjabat Menteri Penerangan), RCTI dikuasai oleh Bambang Trihatmodjo (putra Presiden Soeharto) dan konglomerat Peter Sondakh. Peter dikenal sebagai pemilik Bank Rajawali dan sebagian produsen rokok Bentoel.

Dalam masa krisis multi dimensi itu, RCTI sebagai media milik keluarga Presiden Soeharto seperti "meragu" dalam mengambil posisi di segmen pemberitaan. Kalau mau bebas, beritanya akan lebih banyak merugikan keluarga Presiden Soeharto.

Situasi itulah yang dimanfaatkan SCTV dengan presenternya Ira Koesno.

SCTV, yang terkenal dengan "call sign" liputan beritanya "Liputan 6", yang digagas oleh Sumita Tobing Ph.D. menjadi media berita broadcasting alternatif. Dalam arti tidak terlalu memihak kepada rezim Orde Baru pimpinan Presiden Soeharto. Dan berhasil.

Ira Koesno merupakan ikon dari keberhasilan itu.

Presenter jelita yang tampil sebagai pembaca berita ini, seakan menyampaikan semua berita yang ditunggu oleh pemirsa. Berita yang jauh dari kepentingan pemerintahan Presiden Soeharto. Berita yang tidak di-format dan di-frame.

Presenter wanita yang dimiliki SCTV saat itu sebetulnya tidak hanya Ira Koesno. Tapi setiap kali Ira Koesno menyampaikan berita, kehadirannya lalu menjadi daya tarik.

Mungkin bukan hanya karena dandanannya yang terkesan modis yang membuat layar SCTV menampilkan berita menarik. Melainkan karena sorot mata Ira Koesno yang tajam ketika menyampaikan berita, seperti menghipnotis pemirsa.

Sorot bola matanya yang hitam bulat, seperti sinar laser menembus mata hati pemirsa SCTV. Tak ada yang menolak sorotan matanya.

Ditambah lagi bibirnya yang tipis seperti penari yang gerakannya lincah ketika berucap, disertai deretan gigi yang putih rapi, semakin membuat semua ucapan yang keluar dari mulutnya, menggairahkan. Kemasan berita yang disampaikan SCTV pun terasa enak dilumat.

Pemirsa yang melihatnya di layar TV, tidak sadar bahwa sekalipun sorot mata Ira Koesno tertuju ke pemirsa, tapi sebetulnya Ira Koesno sedang membaca berita-berita "Liputan 6" di layar kamera.

Ira Koesno membaca, tapi pemirsa yang hanya melihat kefasihannya, mungkin menganggap wanita muda jebolan UI ini, seorang sosok pintar yang memiliki kepintaran intelektual yang terlihat maupun yang tak terlihat.

Karena kalau Ira tidak pintar, mustahil Ira demikian lancar dan fasih berbicara di depan kamera.

Pemirsa tidak paham bahwa yang membuat Ira Koesno begitu lancar dan fasih berkat mereka yang berada di belakang layar.

Mereka itulah yang menulis di tele prompter. Semua yang disampaikannya sudah tertulis rapi di layar kamera dan bergerak dari atas ke bawah, seperti running text di layar TV yang bergerak dari kiri ke kanan.

Bukan sinis dan mengada-ada. Tapi yang perlu ditegaskan adalah kalau debat perdana Pilkada DKI, Jumat malam kemarin, tanpa Ira Koesno, mungkin perhatian publik akan sangat berkurang.

Karena sebetulnya debat tersebut tak berhasil menampilkan hal yang penting diketahui oleh pemilih.

Isi debat hanya repetisi dari semua kalimat atau pernyataan yang sudah sering publik dengar, semenjak ketiga paslon resmi diumumkan oleh KPUD DKI Jakarta.

Entah karena rundown yang disusun oleh KPUD Jakarta terlalu dipengaruhi oleh kekhawatiran yang berlebihan. Atau karena KPUD sebagai penyelenggara beranggapan bahwa Pilkada harus ada debat kandidat, meniru tradisi Pemilu Presiden di Amerika Serikat.

Boleh jadi KPUD menganggap karena Jakarta merupakan barometer untuk hampir semua kehidupan masyarakat Indonesia, maka debat itu dirancang sedemikian rupa, sebagai acara yang mewakili Indonesia.

Yang pasti debat perdana itu hambar.

Sebaliknya berhubung yang memandu debat itu seorang wanita yang memiliki pesona, maka yang justru menjadi daya tarik debat itu berada pada si pemilik pesona itu - Ira Koesno.

Debat Jumat malam tersebut tidak menampilkan apa yang disebut debat.

Masih ada dua debat tersisa, sebelum Pilkada 15 Februari 2017 digelar. Menjadi pertanyaan, apakah dua debat itu nanti masih menarik, bermutu dan perlu?. [***]

Penulis adalah wartawan senior 

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA