Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Semoga Menteri Enggar Cuma Keseleo Lidah

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/derek-manangka-5'>DEREK MANANGKA</a>
OLEH: DEREK MANANGKA
  • Sabtu, 07 Januari 2017, 16:27 WIB
<i>Semoga Menteri Enggar Cuma Keseleo Lidah</i>
Enggartiasto Lukita/Net
PERNYATAAN Enggartiasto Lukita, Menteri Perdagangan RI, tentang kelangkaan cabe dan harganya yang mahal, memaksa saya berkali-kali membacanya di detik.com.

Seandainya yang mengutip pernyataan itu media internet yang masuk kategori abal-abal”, saya tak akan tertarik membacanya dengan cara seperti itu.

Seusai membaca dan menyimak, ingin mengkonfirmasinya langsung. Karena saya punya nomor HP Menteri Enggar, yang sudah terekam di database lebih dari 20 tahun.

Tapi keinginan itu saya urungkan. Karena saya pikir, Menteri Enggar yang sibuk, bakal tak meresponsnya.

Maklum setelah Enggar diangkat menjadi Menteri Perdagangan pada minggu kedua Agustus 2016 lalu, pesan apapun yang dikirim kepadanya, tak pernah dibalasnya lagi. Ia mendadak sangat sibuk.

Ucapan "selamat" menyambut pengangkatannya sebagai Menteri menggantikan Rachmat Gobel, tak sempat dibalasnya.

Enggar sebagai sahabat lama, dengan jabatan baru Pembantu Presiden, agaknya berubah dan memilah siapa sahabat yang sangat penting, cukup penting dan tak penting.

Dugaan saya begitu. Karena sekitar sebulan sebelum diangkat jadi Menteri, kami masih sempat bersua di sebuah acara buka puasa bersama dengan beberapa politisi Golkar. Diantaranya Bobby Suhardiman, Ny. Sylvia Angraini yang suaminya sahabat Enggar di gerakan mahasiswa. Kami masih sempat "haha-hihi".

Ketika itu, belum ada "gap" dalam perkawanan kami.

Tapi kalau dipikir-pikir ada baiknya juga tidak terjadi komunikasi langsung dengan politisi Nasdem tersebut.

Sebab bisa jadi Menteri Enggar tak akan senang bila dikritik, bahwa pernyataannya tentang kelangkaan cabe dan harga super duper mahal tersebut, sangat tidak patut.

Pagi tadi saya menyertai istri ke pasar. Antara lain untuk mengecek apa benar semua bahan kebutuhan pokok melonjak gila-gilaan. Apalagi cabe.

Dan yang menjadi persoalan, sekalipun harga sudah naik, barangnya belum tentu tersedia.

Bukan tidak percaya, tetapi hanya untuk menghayati-sejauh mana kepusingan yang dirasakan seorang ibu rumah tangga menghadapi kenaikan harga barang kebutuhan pokok. Sementara laki-laki atau suami, biasanya tidak pernah ambil pusing soal harga di pasar.

Sebelum ke pasar, saya masih sempat bercanda.

"Tidak apa-apa Ma. Semua barang kebutuhan pokok boleh naik. Yang penting kan uang belanja Mama tidak naik".

Tapi candaan itu malah membuat percakapan pagi sewaktu sarapan, berubah serius. Seolah saya tidak peduli dan peka.

Selain itu, ketertarikan melakukan pengecakan ke lapangan dipicu oleh sebuah diskusi Desember lalu.

Kenaikan harga sembilan bahan pokok yang gila-gilaan, sempat diangkat di forum Refleksi 2016 oleh Persatuan Alumni Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia, akhir Desember 2016.

Seorang ibu peserta menyebut, tak masuk akal dengan kenaikan harga kebutuhan pokok. Mulai dari cabe, telur, daging dan sebagainya. Hanya saja karena peserta Refleksi itu semuanya laki-laki, keluhan ibu peserta itu tidak ada gaungnya.

"Kita punya lahan yang begitu luas. Tetapi untuk urusan cabe saja kita tidak bisa berswasembada", katanya.

Pasar tradisional yang saya datangi, belum tentu mewakili pasar seluruh Jakarta apalagi Indonesia. Tetapi sebagai random, apa yang dikeluhkan oleh istri ternyata sudah menjadi keluhan semua ibu rumah tangga. Termasuk para pedagang sendiri.

Bahkan kedengarannya lucu, ketika mengikuti percakapan polos ibu-ibu di tengah pasar yang sibuk dengan tawar menawar.

Para pembeli misalnya mengeluh kenapa harga cabe begitu mahal. Lima biji cabe harganya Rp. 10 ribu. Pembelian pun ditakar.

Tetapi sebaliknya para pedagang juga bertanya hal yang sama kepada pembeli.

Namun yang paling mengejutkan, reaksi ibu-ibu terhadap pernyataan Menteri Enggar. Bahwa kalau tidak mau membeli harga cabe mahal, yah tanam saja cabe di rumah sendiri.

Mungkin maksud Menteri Enggar baik. Maksudnya ditujukan kepada mereka yang rumahnya punya pekarangan. Seperti yang punya rumah di kawasan Pondok Indah. Tapi yang merasa terkena atau lebih tepat disebut tersakiti, mereka yang tinggal di rumah tanpa pekarangan.

Apalagi warga yang punya rumah dan masih punya lahan sudah sangat sedikit jumlahnya.

Namun bagi ibu-ibu di pasar, inilah justru yang mereka anggap sebagai pernyataan dari seorang Pembantu Presiden yang tidak bertanggung jawab. Menteri yang tidak menghayati persoalan rakyat banyak.

Atau seperti istilah di media sosial, netizen yang PB atau BP. Pintar Baru atau Baru Pintar.

"Apa dia lupa (maksudnya Menteri Enggar), rumah di Jakarta ini rata-rata tidak punya halaman. Lalu mau tanam di mana? Di pot bunga?"

"Apa dia tahu yang butuh cabe itu kan ibu-ibu rumah tangga yang suami mereka bukan pejabat?"

"Kalau begitu suruh saja mereka yang tinggal di rumah susun, yang tidak punya lahan, bercocok tanam cabe di pot-pot bunga", begitu cara para ibu melampiaskan kekesalan kepada Menteri Enggar.

Sesungguhnya cukup panas kuping mendengar sergahan para ibu di pasar. Karena yang mereka semprot, seorang Menteri yang ketika masih sebagai rakyat biasa, pernah menolong saya.

Ketika Enggar sebagai Ketua REI 27 tahun lalu, saya mendapatkan kredit rumah yang diskonnya sangat besar, dari properti miliknya.

Semakin panas kuping mendengar celotehan para ibu.

Sebab ada yang ikut nimbrung. Bahwa esok lusa atau pekan depan, bulan berikutnya, bakal ada pernyataan pembantu Presiden yang meniru Menteri Enggar.

Misalnya kalau tidak mau harga daging mahal, yang pelihara saja sapi di rumah.

Kalau rakyat mengeluh harga telur mahal, bilang saja solusinya: pelihara saja ayam di rumah. Kalau tidak mau harga ikan mahal, yah buat saja kolam ikan di rumah. Dan seterusnya.

Satu hal yang membekas dari tanggapan ibu-ibu di pasar, merupakan sebuah pembelajaran. Siapa pun pejabat kita-terutama yang bergender laki-laki, jangan pernah boleh menyederhanakan persoalan yang dihadapi oleh ibu-ibu rumah tangga.

Jangan pernah berpikir, ketika sudah menjadi pejabat, termasuk Menteri sekalipun, lantas anda bisa menganggap-semua langkah dan ucapan anda selalu benar.

Ibu-ibu rumah tangga juga sudah banyak yang kritis. Mereka lebih respek kepada Menteri Perikanan Susi Pudjiastuti dan Menteri Keuangan Sri Mulyani.

Mereka tidak pernah menyalahkan Susi, sekalipun harga ikan naik, Mengapa? Karena kekurangannya terkompensasi oleh sikap Menteri Susi yang berani menenggelamkan kapal asing yang mencuri ikan.

Demikian halnya terhadap Menteri Keuangan Sri Mulyani. Uang belanja makin sulit. Tapi, Karena dia berani memutuskan hubungan kerja pemerintah Indonesia dengan JP Morgan, konsultan keuangan terkemuka asal Amerika, maka ibu Sri di mata ibu-ibu seorang wanita yang punya nyali.

Kedua menteri perempuan itu dipuji, karena keberanian bertindak. Sekaligus dianggap mereka lebih bertanggung jawab dari beberapa menteri lelaki yang dalam kabinet Jokowi.

Dari kasus Menteri Enggar ini, secara tidak langsung terungkap, ketidakpuasan atas kinerja pemerintahan Jokowi-JK, paling tidak di kalangan ibu-ibu rumah tangga, cukup serius.

Sementara pernyataan Menteri Enggar semakin memicu sinisme bahwa para Pembantu Presiden tidak semuanya menghayati apa yang dirasakan oleh rakyat kecil.

Ironisnya, Presiden sebagai "user' tak bisa lepas dari kritikan juga. Mengapa? Karena Presiden mengangkat Menteri yang katanya hampir semuanya titipan.

Dalam kasus Menteri Enggar termasuk Surya Paloh sebagai Ketua Umum Partai Nasdem yang merekomendasikannya, pun ikut dikritik.

Semoga Enggar hanya keseleo lidah. Karena lidah memang gampang berucap dan sulit dikontrol. [***]

Penulis adalah wartawam senior

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA