Keberagaman dalam Al-Qur'an merupakan sunnatullah. Menolak keragaman berarti menoÂlak sunnatullah. Dalam Al-Qur'an ditegaskan:
Wa lau sya’a Rabbuka laja'alnakum ummatan wahidah (Jika Tuhan-Mu menghendaki niscaÂya ia menjadikan kalian suatu umat/(Q.S. al- Maidah/5:48). Dalam ayat tersebut Allah Swt menggunakan kata/huruf lau, bukannya in atau idza. Dalam kaedah Tafsir dijelaskan, apabila Allah menggunakan kata lau (jika) maka seÂsungguhnya hampir mustahil kenyataan itu tidak akan pernah mungkin terjadi. Kalau kata in (jika) kemungkinan kenyataan itu bisa terjadi bisa juga tidak, dan kalau kata idza (jika) pasti kenyataan yang digambarkan itu akan terjadi. Masalahnya sekarang kamus bahasa IndoneÂseia kita tidak memiliki kosa kata sepadan denÂgan bahasa Arab, sehingga keseluruhannya diÂartika dengan jika (if).
Konflik dan ketegangan yang terjadi di berbaÂgai belahan dunia tidak jarang terjadi karena diÂpicu sentimen perbedaan penafsiran kitab suci. Ada segolongan sering memperatasnamakan suatu penafsiran lalu menyerang kelompok lain, karena mengklaim dirinya paling benar. IronisÂnya, tidak jarang terjadi justru terkadang kelomÂpok minoritas yang menyatakan kelompok mayÂoritas atau mainstream yang sesat. Kelompok pemurni ajaran (puritanisme) seringkali mengÂklaim diri paling benar dan mereka merasa perÂlu membersihkan ajaran agama dari berbagai khurafat dan bid’ah. Namun kelompok mayoriÂtas yang diobok-obok seringkali di antaranya tidak menerima serangan pembid'ahan itu karÂena merasa dirinya berdasar dari sumber ajaÂran dan dipandu oleh ulama besar. Akibatnya kelompok mayoritas melakukan penyerangan terhadap kelompok minoritas. Sebaliknya kelÂompok minoritas selalu mengusik kelompok mayoritas. Kasus seperti ini bukan hanya terÂjadi di Indonesia tetapi juga di negara-negara yang didominasi satu kelompok agama atau etÂnik mayoritas.
Penyerangan aliran yang dianggap kelompok "sesat" oleh majlis ulama seringkali menjadi tarÂget. Di antara berbagai golongan saling mengÂkafirkan dan saling usir-mengusir dan bahkan bunuh-bunuhan lantaran dipicu penafsiran sumber ajaran agama. Tentu saja kenyataan ini sangat disesalkan karena mereka sama-sama berpegang kepada kitab suci yang sama tetapi mereka saling bermusuhan satu sama lain. Indonesia yang menghayati motto: BhinÂneka Tunggal Ika seharusnya konflik horizontal tidak perlu terjadi. Meskipun suku, etnik, agama dengan berbagai aliran dan mazhabnya berÂbeda-beda namun persamaan historis sebagai satu bangsa yang pernah mengalami pahit geÂtirnya perjuangan melawan penjajah membuat perbedaan-perbedaan tersebut ibarat sebuah lukisan yang berwarna-warni membuat lukisan itu menjadi lebih indah. Nuansa keindonesiaan ini seharusnya mampu melenturkan kelompok-kelompok etnik dan ajaran agam sebagai di InÂdonesia. Sudah sekian lama konflik horizontal tidak pernah terjadi di Indonesia dalam masa proto Indonesia. Belakangan setelah Indonesia bersentuhan dengan nilai-nilai kemasyarakat baru, sebagai pengaruh globalisasi, bangsa InÂdonesia mulai berkenalan dengan konflik horiÂzontal yang bertema keagamaan.