Merawat Toleransi (11)

Filosopi Bhinneka Tunggal Ika

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/nasaruddin-umar-5'>NASARUDDIN UMAR</a>
OLEH: NASARUDDIN UMAR
  • Jumat, 02 Desember 2016, 09:11 WIB
Filosopi Bhinneka Tunggal Ika
Nasaruddin Umar/Net
KARYA sastrawan Empu Tantular dalam kitab ‘Hutaso­ma’-nya menggores sebuah kalimat menarik: Bhinneka Tunggal Ika, tidak pernah membayangkan akan menja­di simbol pemersatu bangsa dan negara yang amat dah­syat. Istilah Bhinneka Tung­gal Ika, yang sering diartikan bercerai berai tetapi tetap satu atau kesatuan di dalam keberagaman digunakan para founding fa­thers kita di dalam memperkenalkan Indonesia di dalam dan di luar negeri.

Keberagaman dalam Al-Qur'an merupakan sunnatullah. Menolak keragaman berarti meno­lak sunnatullah. Dalam Al-Qur'an ditegaskan: Wa lau sya’a Rabbuka laja'alnakum ummatan wahidah (Jika Tuhan-Mu menghendaki nisca­ya ia menjadikan kalian suatu umat/(Q.S. al- Maidah/5:48). Dalam ayat tersebut Allah Swt menggunakan kata/huruf lau, bukannya in atau idza. Dalam kaedah Tafsir dijelaskan, apabila Allah menggunakan kata lau (jika) maka se­sungguhnya hampir mustahil kenyataan itu tidak akan pernah mungkin terjadi. Kalau kata in (jika) kemungkinan kenyataan itu bisa terjadi bisa juga tidak, dan kalau kata idza (jika) pasti kenyataan yang digambarkan itu akan terjadi. Masalahnya sekarang kamus bahasa Indone­seia kita tidak memiliki kosa kata sepadan den­gan bahasa Arab, sehingga keseluruhannya di­artika dengan jika (if).

Konflik dan ketegangan yang terjadi di berba­gai belahan dunia tidak jarang terjadi karena di­picu sentimen perbedaan penafsiran kitab suci. Ada segolongan sering memperatasnamakan suatu penafsiran lalu menyerang kelompok lain, karena mengklaim dirinya paling benar. Ironis­nya, tidak jarang terjadi justru terkadang kelom­pok minoritas yang menyatakan kelompok may­oritas atau mainstream yang sesat. Kelompok pemurni ajaran (puritanisme) seringkali meng­klaim diri paling benar dan mereka merasa per­lu membersihkan ajaran agama dari berbagai khurafat dan bid’ah. Namun kelompok mayori­tas yang diobok-obok seringkali di antaranya tidak menerima serangan pembid'ahan itu kar­ena merasa dirinya berdasar dari sumber aja­ran dan dipandu oleh ulama besar. Akibatnya kelompok mayoritas melakukan penyerangan terhadap kelompok minoritas. Sebaliknya kel­ompok minoritas selalu mengusik kelompok mayoritas. Kasus seperti ini bukan hanya ter­jadi di Indonesia tetapi juga di negara-negara yang didominasi satu kelompok agama atau et­nik mayoritas.

Penyerangan aliran yang dianggap kelompok "sesat" oleh majlis ulama seringkali menjadi tar­get. Di antara berbagai golongan saling meng­kafirkan dan saling usir-mengusir dan bahkan bunuh-bunuhan lantaran dipicu penafsiran sumber ajaran agama. Tentu saja kenyataan ini sangat disesalkan karena mereka sama-sama berpegang kepada kitab suci yang sama tetapi mereka saling bermusuhan satu sama lain. Indonesia yang menghayati motto: Bhin­neka Tunggal Ika seharusnya konflik horizontal tidak perlu terjadi. Meskipun suku, etnik, agama dengan berbagai aliran dan mazhabnya ber­beda-beda namun persamaan historis sebagai satu bangsa yang pernah mengalami pahit ge­tirnya perjuangan melawan penjajah membuat perbedaan-perbedaan tersebut ibarat sebuah lukisan yang berwarna-warni membuat lukisan itu menjadi lebih indah. Nuansa keindonesiaan ini seharusnya mampu melenturkan kelompok-kelompok etnik dan ajaran agam sebagai di In­donesia. Sudah sekian lama konflik horizontal tidak pernah terjadi di Indonesia dalam masa proto Indonesia. Belakangan setelah Indonesia bersentuhan dengan nilai-nilai kemasyarakat baru, sebagai pengaruh globalisasi, bangsa In­donesia mulai berkenalan dengan konflik hori­zontal yang bertema keagamaan.

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA