AKHIRNYA selalu kita kagum terhadap Nabi. Tidak ada yang meragukan bahÂwa masyarakat yang dihÂadapi Nabi, baik di Mekah terutama di Yatsrib, kemuÂdian Nabi mengubahnya menjadi Madinah, adalah masyarakat yang sangat plural. Di Madina ada kelÂompok berdasarkan agama dan kepercayaan seperti komunitas agama Kristen Monofisit, Kristen Nestorian, Kristen Othodox, Yahudi, ZoÂroaster, Majusi, dan aliran-aliran kepercayaan lainnya. Dari segi etnik di sana ada suku KhazÂraj dan suku ‘Auz, serta kelompok pendatang lainnya, karena kota Madinah, banyak sekali pendatang dari luar seperti Persia dan Afrika. Di tambah lagi dengan adanya kelompok berÂdasarkan politik, yakni kelompok yang menghÂendaki kehadiran Nabi Muhammad di Madinah, seperti dua etnik disebutkan di atas yang telah menjalin perjanjian damai dengan Nabi yang dikenal dengan Bai'ah 'Aqabah pertama dan kedua, dan kelompok lainnya menolak kehadÂiran Nabi seperti minoritas Yahudi dan sekutuÂnya dari kelompok minoritas Kristen saat itu.
Ketika Nabi masuk di perbatasan Madinah unÂtuk memenuhi undangan mereka, sudah mulai muncul masalah, karena kedua sponsornya yaitu suku Khazraj dan suku 'Auz sama-sama meminta Nabi untuk menetap di tengah suku mereka. Nabi dengan cerdasnya menyelesaikan persoalan ini dengan mengatakan, kita nanti melihat unta saya di mana ia akan berlutut menurunkan saya. Unta Nabi memutari kota Madina yang waktu itu relatif masih belum terlalu luas seperti sekarang. LuÂasnya kurang lebih sama dengan lingkaran parit (khandaq) yang pernah digali Nabi sebagai benÂteng. Unta Nabi berhenti di suatu tempat dan keÂbetulan di tempat pemberhentian unta itu di perÂbatasan kedua suku besar tadi. Akhirnya kedua etnik itu menerima keputusan Nabi.
Selanjutnya Nabi membaca kota Madina yang sedemikian kompleks dan menyimpan poÂtensi konflik, terutama yang paling mendesaÂkialah mengalirnya pengungsi umat Islam dari Mekkah dan dari kota-kota lain mengikuti Nabi. Masyarakat sudah mulai terpola menjadi dua, yaitu kelompok pendatang (Muhajirin) dan kelÂompok pribumi (Anshar). Sebelum terjadi konflik, Nabi segera melakukan program yang disebut gerakan persaudaraan (al-ikha’), yaitu memperÂsaudarakan antara kelompok pribumi dan pendaÂtang dengan cara melakukan kawin mawin antara keduanya. Laki-laki muhajirin diserukan kawin dengan perempuan Anshar, demikian pula sebaÂliknya. Kedua kelompok masyarakat ini akhirnya terjadi pembauran yang ideal.
Pengalaman Nabi ini bagus dicontoh untuk program transmigrasi dan kelompok migran lainÂnya di bumi nusantara. Seandainya para transÂmigran atau kelompok imigran lainnya di suatu tempat melakukan kawin silang dengan suku atau etnik pribumi atau penduduk lokal setempat, maka ketegangan etnik yang sering membayangi negeri kita akan terselesaikan dengan permanen. Banyak sekali para pendatang datang ke daerah hanya untuk menyedot kekayaan di daerah itu. Selesai disedot pindah lagi ke daerah lain. TaÂnah dan potensi-potensi di daerah setempat diÂbeli dengan cara korupsi atau berkolusi dengan pemerintah daerah setempat. Akhirnya penduduk setempat menjadi "penonton" dan "pembantu" terhadap diri dan kepentingan orang yang berasÂal dari kota. Ini mirip dengan apa yang dilakukan oleh kolonialisme dahulu. Sehingga masyarakat daerah seperti belum pernah merasakan keÂmerdekaan sejati untuk berdaulat di daerhanya sendiri. Mereka selalu merasa ada unsur luar yang menguasi dirinya sendiri. Situasi seperti ini tidak mungkin terjadi kalau sejak dini kita menerÂapkan pengalaman positif yang dirintis oleh Nabi Muhammad Saw. Pelajaran paling berharga kita bisa peroleh dari Nabi dalam kasus di atas ialah ketidak ragun nabi untuk memberikan pengakuan terhadp kelompok minoritas. Allahu a’lam.
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.