Strategi Nabi untuk hijrah dan menyetujui perjanjian damai yang ganjil sama sekali tidak bisa diartikan langkah pengecut, seperti yang sering dituduhkan kalangan orientalis, bahwa acapkali tindakan Nabi mengambil penyelamatan diri sendÂiri dan melakukan pembiaran terhadap umatnya, seperti yang sering diangkat ialah kasus hijrahÂnya Nabi ke Yatsrib (Madinah). Bisa diartikan tinÂdakan pengecut jika dilakukan tanpa perhitungan matang. Akan tetapi jika itu melalui pertimbangan dan perhitungan cermat, apalagi didukung oleh petunjuk wahyu, maka tindakan itu sama sekali bukan tindakan pengecut.
Langkah jihad yang menempuh jalur nekat, seperti menolak segala bentuk perjanjian daÂmai, gencatan senjata, atau menolak alternatif strategi mundur selangkah untuk mencapai kemajuan, apalagi menolerir terjadinya tindaÂkan bunuh diri atau dengan sengaja melakukan tindakan mengorbankan orang banyak yang tak berdosa, sama sekali bukan jihad yang diperÂkenalkan di dalam Islam. Bahkan Al-Qur'an dengan tegas mengecam orang yang dengan sengaja menghancurkan diri sendiri ke dalam kebinasaan, walaupun dengan tujuan yang suci, sebagaimana dikatakan: "Dan janganÂlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesÂungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik". (Q.S. al-Baqarah/2:195). TindaÂkan bom bunuh diri yang nyata-nyata mengorÂbankan diri sendiri sama sekali tidak pernah diÂcontohkan Nabi dan para sahabatnya di dalam melaksanakan jihad. Lagi pula, hakekat jihad sesungguhnya untuk menghidupkan orang, buÂkannya untuk mematikan orang, apalagi orang-orang yang tak berdosa.
Harus selalu diingat bahwa jihad yang diperÂkenalkan Nabi ialah jihad yang mengintegrasikan antara ijtihad dan mujahadah. Ijtihad ialah perÂjuangan untuk menyelesaikan persoalan melalui akal dan pikiran yang sehat dan objektif dan miÂhajahadah ialah perjuangan untuk mendekatkan diri sedekat-dekatnya kepada Allah Swt dengan sungguh-sungguh mengerahkan kecerdasan emosional-spiritual. Dengan demikian, jihad yang sesungguhnya ialah kombinasi perjuangan fisik (jihad), perjuangan akal/logika (ijtihad), dan perÂjuangan batin (mujahadah). Jika salah satunya hilang maka bukan jihad. Orang-orang yang suÂdah menggunakan ketiga unsur tersebut lalu korÂban di medan jihad maka itulah disebut syuhaÂda', bentuk jamak dari syahid, yang berarti orang yang mati syahid. Tidak semua orang yang mati di dalam suatu perjuangan, yang biasa diistilahÂkan dengan Pahlawan Kusuma Bangsa, bisa disÂebut syuhada'. Para pahlawan yang dikuburkan di Taman Pahlawan Nasional pun, belum tentu keseluruhannya bisa disebut syuhada', meskipun harapan kita sebagai generasi pelanjut seperti itu. Allah Swt memiliki kriterianya sendiri tentang jiÂhad sebagaimana disebutkan di dalam artikel terÂdahulu. Kita tidak boleh dengan begitu gampang menggunakan term jihad untuk mengorbankan diri sendiri atau orang lain.