Menangkap Makna Simbolik Hijrah (8)

Dari Religiousness Ke Religious Minded

Kamis, 06 Oktober 2016, 08:47 WIB
Dari Religiousness Ke Religious Minded
Nasaruddin Umar/Net
DALAM tradisi Islam ada dua model seseorang di dalam menampilkan sikap keberag­amaannya. Pertama, ketika seseorang menampilkan diri seolah-olah hidup di dalam rangkulan agama. Keselu­ruhan pandangan hidup dan prilakunya didominasi oleh ajaran formal agama, den­gan berpegang teguh pada teks-teks keagamaan secara kaku. Seolah-olah ruang, waktu, dan di­rinya merupakan satu kesatuan kental dengan ajaran agama. Sementara di nun jauh di sana (transcendent) ada Tuhan beserta para malaikat mengawasinya dengan ketat. Ruang dan jendela untuk mengintip dunia nyata sangat terbatas kar­ena dikelilingi dan dipenuhi oleh spektrum aja­ran agama. Di sekitarnya seolah dekelilingi daer­ah terlarang sehingga dinamika dan kebebasan berekspresi menjadi kaku karena terlalu banyak rambu-rambu yang berdiri tegak. Kreatifitas dan inisiatifnya sebagai khalifah ditenggelamkan oleh kapasitas dirinya sebagai abid (hamba). Model seperti ini disebut religiousness.

Model kedua ialah religious minded, keti­ka seseorang merasa merangkul agamanya. Agama bagaikan berada di dalam genggaman, ke manapun ia pergi selalu bersamanya, na­mun ia tidak merangkul dirinya melainkan dirin­ya yang menggenggam agama itu. Dampaknya, orang akan merasa lebih merdeka dan memiliki hamparan luas dan longgar untuk berekspresi dan berkreasi. Rambu-rambu pembatas itu tidak berdiri tegak di luar dirinya tetapi melekat di dalam dirinya, sehingga pandangannya luas tanpa ter­pantul oleh papan-papan perboden keagamaan. Hidup dan kehidupannya lebih dinamis karena merasa diberikan kebebasan penuh dari ajaran agamanya sendiri. Pada prinsipnya segala ses­uatu boleh selain yang secara khusus dilarang. Jumlah larangan itu amat sedikit. Ia merasa lebih merdeka sebagai khalifah karena sikap peng­hambaan dirinya kepada Tuhan tidak mengha­langinya untuk berkreasi dan berinisiatif dalam lingkungan hidupnya.

Model religiousness cenderung lebih tertutup dan sesekali mendekati garis keras karena ia me­mandang hidup ini hitam-putih, artinya kalau bu­kan putih pasti hitam atau sebaliknya. Suasana batin ini lebih berpotensi untuk berbenturan satu sama lain karena sudah barang tentu ia harus te­gas dan istiqamah terhadap keyakinan agama di­anutnya. Orang lain yang tidak sepaham dirinya cenderung salah, karena ia merasa lebih sesuai dengan teks-teks ajaran agama. Sementara reli­gious minded cenderung lebih terbuka dan tidak khawatir ke manapun akan pergi, apapun yang akan dikerjakan. Sepanjang tidak melanggar prinsip-prinsip ajaran, maka sepanjang itu boleh dilakukan. Jalan hidup tidak hanya hitam-putih, tetapi ada sejumlah warna lain dimungkinkan di dalam Islam.

Pola-pola keagamaan religious minded lebih relevan untuk dikembangkan, karena akan mem­beri ruang otonomi dan kemerdekaan lebih luas kepada manusia. Semua yang tidak bertentan­gan dengan Islam itulah Islam, sebagaimana sabda Rasulullah: "Hikmah atau kebajikan ada di mana-mana, di manapun anda temukan am­billah karena itu milik Islam". Pola seperti ini juga lebih relevan dengan ayat: "Hai manusia, sesung­guhnya Kami menciptakan kamu dari seorang la­ki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku su­paya kamu saling kenal mengenal. Sesungguh­nya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu". (Q.S. A-Hujurat/49:13).

Keistimewaan pola ini juga lebih menjanjikan kedamaian, kesejukan, ketenteraman, dan kea­dilan. Dalam masyarakat Indonesia yang kon­disi objektif budaya, agama, dan kepercayaan­nya sangat majemuk, model religious minded lebih relevan untuk dikembangkan dan sesung­guhnya untuk ukuran Indoneisa, konsep ini leb­ih sesuai dengan konsep rahmatan lil 'alamin yang sejati. Allahu A'lam. 

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA