"Mengapa saya tegaskan belum sempurna, karena terkadang antar lembaga negara ada saling tarik menarik kebijakan dan adanya konflik kepentingan dalam soal kebijakan sebagai contoh soal
tax amnesty dan masih banyak lagi," ujar dia dalam acara 'Dialog Ini Baru Indonesia' di Komplek Parlemen, Jakarta, Rabu (28/9).
Konstitusi, lanjut John Pieris, adalah sumber hukum tertinggi di negara Indonesia. Konstitusi menajdi payung hukum di bawahnya seperti UU sampai peraturan daerah sehingga menajdi sangat penting penataan kembali sistem ketatanegaraan Indonesia menuju kesempurnaan sistem yakni keadilan untuk semua.
Namun, dalam pelaksanaan menuju penataan sistem ketatanegaraan itu memang banyak hambatan. John Pieris menyebut sebagai kendala atau hambatan konstitusional antara lain, kentalnya konflik kepentingan. Contoh yang paling anyar adalah soal wacana penguatan DPD. Dalam perjalanannya, banyak sekali pendapat miring yang mengatakan bahwa penguatan DPD berarti pelemahan kewenangan DPR.
"Penguatan DPD berarti pelemahan DPR itu sama sekali tidak benar, yang ada malah akan semakin saling menguatkan satu sama lain dengan adanya
check and balances yang kuat. Ingat Indonesia menganut sistem bikameral atau dua kamar.
Check and balances system akan saling menyeimbangkan dan menguatkan peran antara DPR dan DPD. Intinya denga adanya penataan, kami ingin dan semua rakyat ingin agar sistem ketatanegaraan Indonesia jauh lebih baik," paparnya.
Berbicara soal ketatanegaraan Indonesia, pakar hukum tatanegara dan Anggota Lembaga Pengkajian MPR, Margarito Kamis mengatakan bahwa banyak sekali praktek-ptaktek ketatanegaraan yang menabrak konstitusi malah dikerjakan. Seperti calon tunggal dan independen pada Pilpres 2019 dan Pilpres dan Pileg serentak yang merupakan hasil putusan MK. Bahkan ada beberapa terkesan kontradiktif dan ambigu.
"Saya rasa harus ada aturan memberi kewenangan kepada MPR RI untuk mereview keputusan MK yang melampaui kewenangan konstitusi apapun itu. Nanti, MPR yang harus putuskan," tegasnya seperti dalam rilis Humas MPR.
Diutarakan Margarito, sistem ketatanegaraan Indonesia memang bisa dibilang sulit dan bisa juga mudah tergantung para pelakunya. Soal ketatanegaraan yang paling kental dan tebal adalah nuansa politiknya. Jika bicara politik maka bicara soal kesepakatan dan semua itu tergantung pada individu-individunya, jika yang keluar adalah kesepakatan bersama untuk kepentingan bangsa dan negara serta untuk kepentingan kesejahteraan rakyat maka pelaksanaan ketatanegaraan akan jauh lebih mudah.
"Tapi jika kesepakatan tersebut hanya untuk kepentingan pribadi dan golongannya sendiri, maka praktek ketatanegaraan kita akan sangat sulit untuk semua," tandasnya.
[rus]
BERITA TERKAIT: