Para hujjaj di Indonesia amat dahsyat. Bukan saja dari segi jumlah tetapi juga potensi strategis yang dimilikinya. Hampir semua hujjaj sekaligus tokoh konci (key persons) di dalam masyarakat. Seluruh lapisan masyarakat menÂjadi anggotanya. Susasan batin dan emosionÂal ini seharusnya mampu menjadikan Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia (IPHI), sebagai wadah tunggal para "alumni" haji ini lebih ekÂsis dan lebih berpengaruh. Tak terbayang jumÂlahnya para alumni haji di Indonesia. Jika IPHI disentuh dengan manajmen modern maka pasÂti wadah ini akan menjadi wadah yang sangat diperhitungkan, karena bukan hanya jumlahnya yang mat besar tetapi juga terdiri atas seluruh lapisan masyakarakat. Anggotanya seluruh kelÂompok umur, seluruh jenis pekerjaan, misalnya dari Pegawai Negeri Sipil, Tentara, Polisi, penÂgusaha, pelajar dan mahasiswa, pengusaha, petani, nelayan dan pembantu Rumah tangga. Tegasnya, dari Tukang becak sampai kepala negara.
Budaya Indonesia menempatka para hujjaj sebagai kelompok elit masyarakat. Ketokohan para hujjaj bukan hanya dalam soal ekonomi yang terbukti mampu menyiapkan dana tidak sedikit untuk menunaikan ibadah haji, tetapi juga sekaligus sebagai tokoh agama, tokoh budaya, dan tokoh politik. Sebagai contoh masyarakat Sulawesi Selatan. Sebelum haji, seseorang yang bukan bangsawan, ilmuan, atau pejabat tidak bisa duduk di samping atau berhadapan dengan tokoh birokrasi seperti camat atau luÂrah. Ia juga tidak diajak untuk mengantar penÂgantin dalam adat perkawinan. Terkadang juga tidak bisa duduk di belakang imam di shaf perÂtama di masjid atau mushalah. Akan tetapi jika mereka sudah menunaikan ibadah haji, maka mereka dapat duduk bersebelahan dengan peÂjabat daerah, selalu diundang mengantar romÂbongan keluarga pengantin dengan pakaian formal hajinya, dan sudah dipersilahkan duduk di shaf pertama belakang imam di masjid atau mushalah. Bahkan orang yang mengenakan simbol dan atribut haji, pedagang grosir atau eceran bersedia bahkan menawarkan barang dagangannya untuk dicicil atau dipinjam oleh para hujjaj. Ini artinya para hujjaj memiliki keÂpercayaan, legitimasi, dan kelas sosial tersendÂiri di dalam masyarakat. Seolah-olah para hujÂjaj sudah masuk ke dalam kategori shalih dan amanah.
Tidak sedikit jumlahnya di antara para hujÂjaj terpilih sebagai tokoh masyarakat, ketua paÂguyuban, dan atau di dalam pemilukada karena atribut haji. Wajar kalau di dalam papan nama dan kartu-kartu nama identitas haji seringkali dilekatÂkan, karena memiliki nilai dan harga sosial yang tidak rendah. Para hujjaj seringkali terlibat di daÂlam suatu gerakan massa yang patut diperhitungÂkan. Lihat saja contohnya di dalam acara-acara keagamaan, seringkali para hujjaj secara otomÂatis dilibatkan sebagai pemeran di dalam acara-acara keagamaan dan pesta rakyat terutama di daerah pedesaan. Itulah sebabnya pemerintah Hindia Belanda dan pemerintah Jepang selalu mewaspadai komunitas haji di Indonesia karena selalu menjadi factor utama di dalam memobilisaÂsi masyarakat. Andil para hujjaj dalam kemerdeÂkaan RI sangat luar biasa. ***