KEAJAIBAN SILATURRAHMI (23)

Belajar Dari Pengalaman Musa dan Khidir

Jumat, 05 Agustus 2016, 08:17 WIB
Belajar Dari Pengalaman Musa dan Khidir
Nasaruddin Umar/Net
KISAH pertemuan dan per­pisahan antara Nabi Musa dan Khidhir menyimpan be­gitu banyak makna. Dalam surah Al-Kahfi, Allah Swt menceritakan dua figur me­narik sekaligus mewakili dua sudut pandang epistimologi yang berbeda, yaitu kisah antara Nabi Musa dan Khi­dhir. Nabi Musa sosok intelektualis yang sangat idealis dan perfect. Upayanya di dalam mencari kebenaran bertekad tidak akan berhenti sebe­lum menemukan target yang dicari. Target itu ialah pertemuan dua laut (majma' al-bahrain) sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur'an: Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada muridnya: "Aku tidak akan berhenti (berjalan) sebelum sampai ke pertemuan dua buah lau­tan; atau aku akan berjalan sampai bertahun-tahun". (Q.S. al-Kahfi/18:60). Sayang sekali para ulama tafsir kita menafsirkannya dengan pertemuan antara laut Persia di timur dan laut Romawi di barat. Padahal menurut kalangan mufassir sufistik (isyari), pertemuan dua laut itu ialah lautan keilmuan, karena bahasa Arab Al- Qur'an sering menggunakan bahasa konotasi di dalam mengungkap sesuatu yang istimewa. Yang dimaksud dalam ayat itu sebenarnya ialah kombinasi antara epistimologi keilmuan dan epistimologi makrifah.

Figur Musa terlalu mengedepankan logika. Apa saja mau dipertanyakan secara logika, sampai kepada wujud Tuhan pun akan diinderanya. Lihat misalnya ketika Nabi Musa diminta Tuhan bela­jar kepada seorang hamba-Nya yang arif (18:65), persyaratan sang guru tinggalkan logikanya den­gan jalan mengendalikan nafsu intelektualnya dengan cara bersabar (18:67). Nabi Musa beru­saha untuk bersabar tetapi ternyata tradisi berfikir kritisnya sulit dikendalikan, sehingga ia mendap­atkan peringatan pertama, ketika Nabi Musa har­us menyaksikan perahu-perahu nelayan yang tak berdosa dibocorkan satu persatu. Akhirnya Nabi Musa minta maaf kepada gurunya, tetapi kejadian kedua Nabi Musa masih belum bisa membersihkan diri dari sikap kritis yang sudah tertancap di dalam benaknya. Ia masih mempertanyakan, ke­napa anak kecil yang tak berdosa harus dibunuh. Gurunya memberikan peringatan kedua dan Nabi Musa pun secara tulus memohon maaf atas kelancangannya merusak janjinya.

Peristiwa selanjutnya, Nabi Musa sudah mu­lai pasrah memugar sebuah reruntuhan bangu­nan tua selama berhari-hari tanpa kenal lelah. Nabi Musa berharap dengan selesainya bangu­nan ini ia akan diajar lebih intensif di dalamnya. Alangkah kagetnya Nabi Musa setelah ban­gunan selesai dipugar, sang guru minta agar melanjutkan perjalanan entah ke mana dan meninggalkan bangunan baru itu. Nabi Musa kembali bertanya, untuk apa menghabiskan waktu dan tenaga sekian lama membangun bangunan ini terus ditinggalkan begitu saja. Akhirnya Nabi Musa mendapatkan peringatan ketiga dan terakhir. Ternyata engkau memang belum pantas menjadi murid saya. Kali ini Nabi Musa juga tidak meminta maaf lagi. Ia pasrah dan siap untuk gagal menjadi murid.

Sebelum perpisahan, sang Guru (Khidhir) menjelaskan: Karena ini pertemuan terakhir kita maka saya akan jelaskan semua kegelisahan Anda. Perahu-perahu nelayan miskin sengaja dilubangi karena keesokan harinya raja setem­pat akan berpesta di laut dan semua perahu laik pakai akan dirampas dari pemiliknya. Dengan melubangi sedikit maka perahu itu ditinggalkan pasukan raja. Para nelayan masih bisa memper­baiki kembali perahunya. Anak itu dibunuh kare­na kelak jika dewasa menjadi racun masyarakat, termasuk mengkafirkan kedua orangtuanya, dan bangunan ini dipugar karena di bawahnya ada harta karun besar sedangkan ahli waris harta ini masih bayi. Kelak jika sudah dewasa mereka akan mendayagunakan harta karun ini dengan baik. Nabi Musa hanya bisa tercengang, ternyata di atas langit masih ada langit. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA