Figur Musa terlalu mengedepankan logika. Apa saja mau dipertanyakan secara logika, sampai kepada wujud Tuhan pun akan diinderanya. Lihat misalnya ketika Nabi Musa diminta Tuhan belaÂjar kepada seorang hamba-Nya yang arif (18:65), persyaratan sang guru tinggalkan logikanya denÂgan jalan mengendalikan nafsu intelektualnya dengan cara bersabar (18:67). Nabi Musa beruÂsaha untuk bersabar tetapi ternyata tradisi berfikir kritisnya sulit dikendalikan, sehingga ia mendapÂatkan peringatan pertama, ketika Nabi Musa harÂus menyaksikan perahu-perahu nelayan yang tak berdosa dibocorkan satu persatu. Akhirnya Nabi Musa minta maaf kepada gurunya, tetapi kejadian kedua Nabi Musa masih belum bisa membersihkan diri dari sikap kritis yang sudah tertancap di dalam benaknya. Ia masih mempertanyakan, keÂnapa anak kecil yang tak berdosa harus dibunuh. Gurunya memberikan peringatan kedua dan Nabi Musa pun secara tulus memohon maaf atas kelancangannya merusak janjinya.
Peristiwa selanjutnya, Nabi Musa sudah muÂlai pasrah memugar sebuah reruntuhan banguÂnan tua selama berhari-hari tanpa kenal lelah. Nabi Musa berharap dengan selesainya banguÂnan ini ia akan diajar lebih intensif di dalamnya. Alangkah kagetnya Nabi Musa setelah banÂgunan selesai dipugar, sang guru minta agar melanjutkan perjalanan entah ke mana dan meninggalkan bangunan baru itu. Nabi Musa kembali bertanya, untuk apa menghabiskan waktu dan tenaga sekian lama membangun bangunan ini terus ditinggalkan begitu saja. Akhirnya Nabi Musa mendapatkan peringatan ketiga dan terakhir. Ternyata engkau memang belum pantas menjadi murid saya. Kali ini Nabi Musa juga tidak meminta maaf lagi. Ia pasrah dan siap untuk gagal menjadi murid.
Sebelum perpisahan, sang Guru (Khidhir) menjelaskan: Karena ini pertemuan terakhir kita maka saya akan jelaskan semua kegelisahan Anda. Perahu-perahu nelayan miskin sengaja dilubangi karena keesokan harinya raja setemÂpat akan berpesta di laut dan semua perahu laik pakai akan dirampas dari pemiliknya. Dengan melubangi sedikit maka perahu itu ditinggalkan pasukan raja. Para nelayan masih bisa memperÂbaiki kembali perahunya. Anak itu dibunuh kareÂna kelak jika dewasa menjadi racun masyarakat, termasuk mengkafirkan kedua orangtuanya, dan bangunan ini dipugar karena di bawahnya ada harta karun besar sedangkan ahli waris harta ini masih bayi. Kelak jika sudah dewasa mereka akan mendayagunakan harta karun ini dengan baik. Nabi Musa hanya bisa tercengang, ternyata di atas langit masih ada langit. ***