Pengamat kebijakan dan politik, Djoko Edhie S Abdurrahman, mengatakan bahwa Joko Widodo mengandaikan diri seperti sultan. Istilah sultan di Indonesia merupakan hasil adopsi raja-raja nusantara.
Semua sultan, jelas Djoko Edhie, bersumber dari UU Din U Devlet atau UU Khilafat yang dipakai oleh Kerajaan Turki Utsmani. UU ini terakhir digunakan oleh Kaisar terakhir Kerjaan Turki Usmani Lama, Sultan Mahmud II.
Sultan Mahmud II ini digulingkan oleh mereka yang mau membatalkan UU Din U Devlet. UU ini dibatalkan karena terlalu banyak pasal yang menyatakan bahwa seorang sultan tak pernah berdosa.
Menariknya, jelas Djoko Edhie, pasal yang menyatakan sultan tak berdosa ini justru menarik bagi raja-raja Nusantara. Raja-raja di Nusantara pun mengubah gelar raja menjadi sultan. Termasuk di dalamnya Sultan Mataram.
"Jokowi mengandaikan dirinya menjadi Sultan Agung. Menurut saya bagi-basi sembako yang dilakukaya adalah ritual Mataraman yg disebut kemisan, karena hari puncaknya hari kamis malam Jumat," kata Djoko Edhie, yang juga mantan anggota DPR, dalam keterangan beberapa saat lalu (Kamis, 28/7).
Dalam tradisi kemisan ini, sambung Djoko Edhie, sultan mengundang masyarakat dari luar tembok Istana, yang disebut kalangan sukrasana atau jelata. Masyarakat sukrasana yang hadir dan dapat sembako disebut pengemis.
"Karena Jokowi sudah kepepet, ia bikin ritual bagi-bagi sembako. Itu untuk mengambil pulung (energi gaib) dan bajra dari Prabu Mataram secara mancapat mancalimo. Agar selamat," demikian Djoko Edhie.
[ysa]
BERITA TERKAIT: