Saat mengunjungi rumah kediaman al-marÂhum wa al-magfurlah, penulis ditemani salahÂseorang putra dan muridnya secara langsung pada jam 12 malam. Penulis ditunjukkan meja belajar Syeikh Thabathabai dalam ukuran keÂcil tanpa menggunaan kursi, berarti beliau duduk sila, terpasang di depan sebuah jendela menghadap ke sebuah pekarangan. Putranya menunjukkan karya-karya orisinal ayahnya, termasuk perpustakaan yang tidak terlalu beÂsar, terpampang di sejumlah lemari buku.
Informasi sangat menarik ketika muridnya menceritakan peristiwa langka, ketika ia berÂsama murid-muridnya yang lain, Syeikh tidak bisa menjelaskan secara rinci pada satu ayat. Akan tetapi keesokan harinya Syeikh sudah menulis penjelasan panjang lebar makna ayat itu dan mengajarkannya kepada murid-muridÂnya. Ketika ia ditanya darimana mendapatkan penjelasan detail ayat itu, maka Syeikh menÂjawab, "aku mendapatkan penjelasan makna ayat ini dari ranting pohon itu", sambil menunÂjuk setangkai dahan yang menjulur di depan jendela kamar belajar Syeikh. Anehnya lagi, setelah Syeikh wafat maka pohon besar itu juga mati dan tumbang. Allahu a'lam.
Ternyata bukan hanya Nabi Musa yang bisa berguru dari sebuah pohon, tetapi juga sejumÂlah hamba dan kekasih Tuhan yang lain terÂmasuk Syeikh Thabathabai. Masih banyak lagi ulama lain yang akrab belajar dari pohon. Syeikh Syihabuddin Suhrawardi (1145-1234M) dalam kitabnya "Awarif al-Ma'arif", Abu Qasim Abdul Karim Hawazin Al-Qusyairi al-Naisaburi, dalam kitabnya "Risalah Qusyairiyyah", dan Syeikh Yusuf ibn Ismail al-Nabhani dalam kitabnya "Jami' Karamat al-Auliya'" (dua jilid), juga banyak menceritakan keajaiban alam seÂbagai tempat untuk berguru dan mendapatkan pencerahan. Pantas Nabi Muhammad Saw selalu mewanti-wanti prajuritnya sebelum beÂrangkat di medan perang agar jangan sampai merusak tanaman dan mematahkan ranting pohon. ***