Dalam Al-Qur'an ditampilkan sejumlah raja digjaya tetapi tamak yang berujung kehinaan karena serakah. Fir'aun, Tsamud, Namrud, 'Ad, Abrahah, dan sejumlah tokoh lain merasakan kekecewaan di akhir hayatnya karena keserÂakahan. Tokoh dan pemimpin dunia kontempoÂrer juga tidak sedikit jumlahnya berakhir denÂgan kehinaan karena keserakahan.
Para filosof semenjak zaman kuno mencela sikap keserakahan. St. Augustine (354-430) mengidentifikasi tiga jenis keserakahan manuÂsia yaitu keserakahan kekuasaan, keserakahan seksual, dan keserakahan harta benda. KeserÂakahan yang terakhir menjadi cikal bakal lahir dan berkembangnya sistem kapitalisme. SebeÂlum kapitalisme lahir, keserakahan manusia terÂhadap harta benda merupakan perbuatan yang tidak terpuji. Bahasa agama dan bahasa filsafat sampai abad pertengahan masih memandang kapitalisme itu sebagai dosa dan aib yang harÂus dijauhi.
Milik pribadi di masa lampau bukan sekadar sumber pendapatan tetapi memiliki fungsi soÂsial dan penggunaannya selalu dibatasi oleh kepentingan-kepentingan sosial dan keperluan negara. Karena itu, menurut sejarahwan R.H. Tawney, sampai abad pertengahan konsep kepemilikan pribadi atas harta tidak begitu popÂular. Sampai sekarang, di sejumlah etnik daÂlam sejumlah wilayah kepulauan nusantara kita masih kental dengan istilah kepemilikan kolektif seperti hak-hak adat, tanah ulayat, tanah adat, tanah waqaf, dan sebagainya.
Keserakahan terhadap harta benda sesudah abad pertengahan seakan mendapatkan legitiÂmasi logika dan agama. Nilai-nilai luhur agamaÂpun direaktualisasikan untuk mendukung konsep kapitalisme, sehingga kapitalisme yang dulu diÂanggap aib kini semakin eksis di dalam opini pubÂlik. Lahirnya karya monumental Max Weber
"The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism" diÂanggap memberikan pupuk yang menyuburkan faham kapitalisme. Namun sasaran positif yang dituju buku ini ialah memberikan semangat pemÂbebasan manusia dari belenggu mistisme dan khurafat yang menyelimuti umat beragama saat itu. Weber tidak ingin agama dijadikan dasar unÂtuk meligitimasi keterbelakangan, kemelaratan, dan kepasrahan terhadap nasib.
Ekonomi pasar bebas yang lahir dari cara pandang kapitalisme dianggap sebagai pemÂbunuh berdarah dingin. Tak terhitung jumlah keÂmatian akibat kelaparan yang ditimbulkan oleh sistem ini. Ada yang menyejajarkan ekonomi pasar bebas dengan faham radikalisme yang melahirkan teroris. Para teroris memang kejam membunuh orang tak berdosa tetapi jumlah korbannya konkret dan terukur. Ekonomi pasar bebas korbannya lebih masif dan tak terukur. Energi lebih kuat di balik fenomena pasar beÂbas ialah semangat untuk memiliki, menguasai, dan memonopoli. Ujung dari pasar bebas tidak lain adalah keserakahan. Jauhi keserakahan! ***