Pertama keberhasilan tim bulu tangkis Denmark untuk pertama kalinya meraih Piala Thomas dengan mengalahkan Indonesia 3-2 di partai penentuan yaitu tunggal ketiga.
Denmark meraih angka 2 dari tunggal dan Indonesia meraih angka 2 dari ganda. Partai penentuan di tunggal ternyata dimenangkan Denmar. Padahal dalam empat laga final Piala Thomas antara Indonesia melawan Denmark selalu dimenangkan oleh Indonesia. Selamat untuk Denmark.
Kedua adalah kemenangan dramatis pebalap MotoGP tim Movistar Yamaha, Jorge Lorenzo, yang berhasil menyalip pebalap Repsol Honda, Marc Marquez, hanya beberapa meter saja menjelang garis finish. Sejak awal balapan dimulai, meskipun Lorenzo berada pada posisi terdepan, ancaman dan saling salip menyalip untuk memimpin lomba terjadi antara Lorenzo dan Marquez. Namun menjelang finish akselerasi mesin Yamaha yang digunakan Lorenzo berhasil menunda kemenangan Marquez yang sebenarnya sudah di depan mata. Selamat untuk Lorenzo.
Peristiwa ketiga adalah drama pertandingan sepak bola antara Barcelona melawan Sevilla dalam final perebutan Copa del Rey 2015-2016 di Spanyol. Kemenangan Barcelona 2-0 hanya bisa terjadi melalui perpanjangan waktu. Pada menit 36 sebenarnya Barcelona bermain dengan 10 pemain, karena Javier Mascherano diganjar kartu merah. Kerasnya laga ini selain harus ditentukan dengan perpanjangan waktu juga banyaknya kartu merah dan kuning yang dikeluarkan wasit. Paling tidak ada 3 kartu merah dan 13 kartu kuning yang dikeluarkan wasit Carlos del Cerro dalam pertandingan yang menegangkan ini. Selamat untuk Barca.
Beberapa hari sebelumnya tim sepak bola asuhan Louis van Gaal akhirnya berhasil mempersembahkan satu piala ketika MU mengalahkan Crystal Palace 2-1 pada babak Final Piala FA Inggris. Itupun melalui perpanjangan waktu dan gol penentuan MU diciptakan oleh Jesse Lingard. Padahal MU bermain dengan 10 orang, sudah ketinggalan 0-1 terlebih dahulu oleh gol Puncheon sebelum disamakan kedudukan oleh Juan Mata menjadi 1-1. Selamat untuk MU.
Peristiwa tersebut memperlihatkan romantika drama di pertandingan olahraga. Karena sebelum pertandingan selesai ketidakpastian selalu menghantui setiap kontestan. Sepanjang pertandingan berlangsung emosi penonton, baik yang menonton secara langsung maupun tidak langsung, terguncang dari menit ke menit. Hingga ada yang menangis karena sedih tim kesayangannya kalah ada menangis karena senang tim kesayangannya menang. Dalam kondisi emosi yang meluap tersebut tidak heran apabila sering terjadi perkelahian atau pengrusakan yang dilakukan oleh para suporter.
Pembekuan PSSI oleh Kemenpora merupakan romantika drama tersendiri di dunia sepak bola Indonesia. Tindakan pemerintah ini oleh FIFA dianggap sebagai intervensi sehingga Indonesia kena sanksi dilarang mengikuti pertandingan internasional atau kegiatan FIFA lainnya seperti penataran pelatih, penataran wasit ataupun dukungan dana untuk pengembangan sepak bola di tanah air dari FIFA. Kemenpora menyerah karena sanksi PSSI sudah diagendakan pada Kongres FIFA yang dimulai 12 Mei 2016.
Janji Kemenpora melalui tim transisi yang katanya sudah memiliki rencana reformasi di tubuh PSSI ternyata hanya hisapan jempol semata. Tim transisi dan pemerintah tidak berdaya sama sekali dalam melakukan reformasi total. Istilah yang terus digembar gemborkan pemerintah. Yang dilakukan pemerintah saat masa pembekuan PSSI adalah pertandingan sepak bola yang memberikan keuntungan finansial kepada panitia penyelenggara, kecuali yang diselenggarakan tim transisi sendiri. Seperti, Piala Kemerdekaan, Piala Presiden, Piala Bhayangkara, Piala Jenderal Sudirman. Sementara untuk program pembinaan seperti pemain usia muda, penataran pelatih dan wasit yang memerlukan dana tidak sedikit ternyata sama sekali tidak disentuh oleh pemerintah yang katanya mengambil alih aktivitas sepak bola Indonesia.
Yang dilakukan pemerintah adalah membuat romantika drama olahraga menjadi drama politik. Permainan sepak bola tidak lagi dilakukan di lapangan melainkan di belakang layar. Tidak tanggung tanggung Presiden Jokowi sendiri yang bertemu dengan 62 orang perwakilan dari klub ISL, Divisi Utama, dan Asosiasi Provinsi dan menghasilkan dua lagu yang sama didendangkan oleh peserta diskusi. Lagu pertama, meminta segera dilaksanakan Munaslub PSSI. Lagu kedua, mencalonkan Pangkostrad Letnan Jenderal Edy Rahmayadi yang juga Direktur Utama PS TNI sebagai calon Ketua Umum PSSI yang baru. Tema utamanya masih sama Reformasi Total di sepak bola.
Drama politik yang disutradarai pemerintah seperti drama politik yang terjadi di Partai Golkar dan PPP. Pemerintah yang selama satu tahun memegang kendali di sepak bola Indonesia, tapi tanpa sedikitpun langkah inovasi manajemen sepak bola yang bernafaskan reformasi total. Bahkan keinginan menggunakan APBD dalam kompetisi sepak bola jelas jelas pemikiran yang mundur ke belakang. Klub Klub maupun perwakilan Asosiasi tingkat Provinsi juga ternyata tidak belajar dari pengalaman konflik berkepanjangan di masa lalu.
Berbicara tentang prestasi yang selalu didengung-dengungkan Presiden Jokowi, hendaknya bisa melihat contoh nyata dari PBSI, bahwa prestasi tertinggi di olahraga sangat sulit tercapai. Meskipun PBSI telah memiliki fasilitas latihan yang lengkap dengan laboratorium, penginapan, dana, sponsor, kompetisi dan pembinaan berjenjang, dan dukungan klub besar seperti Djarum, Tangkas, Jaya Raya, Mutiara, SGS, Suryanaga. Prestasi pebulutangkis Indonesia belum berhasil menyamai prestasi era "The Magnificant Seven" Rudy Hartono cs, ataupun Susy Susanti dan Alan Budiusuma yang berhasil menggandeng 2 medali emas Olympiade Barcelona 1992.
Di era Presiden SBY, prestasi olahraga Indonesia di SEA Games 2005 Manila Filipina terpuruk pada peringkat ke lima. Segera Presiden SBY memerintahkan Menpora Adhyaksa Dault membuat langkah langkah terobosan agar prestasi olahraga Indonesia meningkat lagi. Segera Menpora Adhyaksa Dault membentuk lembaga semacam think thank sebagai "Tim Monitoring". Selama satu tahun Tim Monitoring bekerja dan menghasilkan ide restrukturisasi pelatnas yang dilakukan oleh "Satgas Pelatnas", di mana KONI dan Kemenpora bersama-sama terlibat di dalamnya. Sejalan dengan perkembangan yang terjadi, sekarang lembaga tersebut di sebut "Satlak Prima".
Pada tahun 2015, di SEA Games Singapore kembali prestasi Indonesia terpuruk di peringkat ke lima. Berbeda dengan era pemerintahan SBY, tidak terlihat langkah terobosan untuk mengangkat kembali kehormatan Indonesia di olahraga baik untuk tingkat Olympiade maupun Asia Tenggara.
Kemenpora asik membuat drama sendiri di bidang kebijakan olahraga. Antara lain melakukan inisiasi pencarian dana untuk pebalap Formula 1 pertama dari Indonesia Rio Haryanto, seperti layaknya pencarian dana untuk korban bencana. Itupun dilakukan mendadak, tanpa strategi yang lengkap, sehingga Rio tetap terancam tidak bisa menyelesaikan debutnya di Formula 1 apabila dana yang harus dibayarkan tidak terpenuhi.
Sementara persiapan tim Olympiade masih tertatih-tatih dan hingga saat ini kepanitiaan lengkap Asian Games 2018 masih belum tuntas. Juga pesepakbola cilik Indonesia Tristan Alif, yang disebut-sebut Messi dari Indonesia, ternyata juga mengalami kendala yang sama yaitu kekurangan dana untuk biaya hidup dan latihan di Spanyol.
Demikianlah gambaran perbedaan antara romantika drama di olahraga Indonesia yang ketegangan dan ketidakpastian lebih banyak terjadi di tingkat manajemen dan kebijakan dibandingkan dengan negara lain. Dimana ketegangan selalu terjadi di lapangan saat pertandingan berlangsung.
Untungnya dengan kemajuan teknologi saat ini, kita lebih sering disuguhi romantika drama di lapangan pertandingan dari berbagai penjuru dunia. Sekarang ini kita bisa langsung menikmati pertandingan tenis Perancis Terbuka 2016, dan mulai tanggal 30 Mei 2016 akan ada pertandingan bulutangkis BCA Open 2016. Memasuki bulan Juni 2016 akan ada pertandingan sepak bola Piala Copa America dan Piala Eropa.
Di Indonesia juga sedang berlangsung final Liga Basket Indonesia (IBL) dan kompetisi sepakbola "Torabika Soccer Championship". Semoga drama hasil akhir di kedua kompetisi bisa menjadi penghibur bagi penonton.
Bukan romantika drama perkelahian antara suporter atau romantika drama mempolitisir dunia sepak bola Indonesia. Yang mungkin saja berniat mengalahkan rating penonton Piala Copa de America atau Piala Eropa dengan terus menerus membuat hiruk pikuk sepak bola di Indonesia dengan tuntutan mempercepat Munaslub PSSI. Sungguh memprihatinkan!!!
*Penulis adalah Sosiolog, tinggal di Jakarta
BERITA TERKAIT: