Tentu saja sabar selalu banyak ujiannya, sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur'an: "Dan sungguh akan Kami berikan cobaan keÂpadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar". (Q.S. al-Baqarah/2:155I. Sabar yang sesungguhnya ialah kemampuan untuk mempertahankan kesabaran di tengah ujian-ujian itu. Sabar seperti inilah yang dapat menÂgundang anak tangga berikutnya yang kita kenal dengan wara' yakni sikap proteksi diri yang amat tinggi terhadap dosa dan maksiyat. Orang-orang yang berhasil mempertahankÂan kesabaran sebagai seikap hidupnya maka mereka akan senantiasa bersama dengan AlÂlah Swt. Orang-orang yang sabar akan memÂperoleh keutamaan-keutamaan dari Allah Swt. Jika orang sudah bersama Tuhan otomatis rasa kecewa dan amarah menjauh.
Kalangan ulama membagi sabar kepada tiga bagian, pertama, sabar di dalam melakukan ketÂaatan, baik ketaatan yang bersifat fardlu atau waÂjib maupun ketaatan untuk menjalankan sesuatu yang bersifat sunnat. Kedua, sabar di dalam menÂjauhi dosa dan maksiyat. Ketiga, sabar di dalam menerima cobaan Allah Swt, misalnya cobaan daÂlam bentuk musibah, kekecewaan, atau penyakit. Ujung dari setiap kesabaran adalah kebahagiaan, oleh karena itu kita tidak perlu menjalani hidup ini dengan pesimistik. Kita diminta selalu untuk opÂtimis dan berkarya: "Dan katakanlah: Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang gaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan". (Q.S. al-Taubah/9:105).
Pengalaman pribadi pernah diungkapkan Ibn Hajar al-‘Asqallani, yang dikenal sebagai ulama besar, terutama dalam bidang Hadis. Dialah yang meng-syarah atau memberikan annotaÂsi terhadap Kitab Shahih al-Bukhari yang disÂusun Imam Bukhari yang terkenal itu. Ia menÂinggalkan desanya kenuju kota Mesir menuntut ilmu. Sekian lama di sana tidak merasa pintar dan akhirnya ia memutuskan untuk kembali ke kampungnya. Dalam perjalanan ia memotong ginung dan melintasi padang pasir. Karena keleÂlahan ia mampir istirahat di dalam goa. Di daÂlam goa itu ia termenung merenungi nasibnya sebagai orang yang gagal. Dalam keadaan berÂsedih ia menyaksikan tetesan air terus menerus dari stalastik menimpa batu di bawahnya. Entah berapa lama tetesan itu terjadi sehingga membuat lubang di dalam batu yang ada di bawahnya. Dari situ ia belajar bahwa air yang sedemikian lembut pun berhasil melubangi batu cadar. Bagaimana dengan dirinya? Akhirnya ia mengurungkan niatÂnya pulang ke desanya dan memutuskan untuk kembali ke Mesir. Dengan semangat membatu ia berhasil lulus dan dengan berbagai prestastasi istimewa diraihnya. Namanya pun diabadikan seÂbagai Ibnu Hajar (putra batu), yang diambil dari pengalamannya menyaksikan batu cadar di daÂlam goa. Allahu a'lam. ***