Kelebihan seorang perempuan ialah kemamÂpuannya untuk mengekspresikan easa cinta dan kasih sayang, yang justru penting untuk menduÂkung kapasitas diri sebagai hamba ('abid) dan sebagai
representative Tuhan di bumi (khalifah). Dalam menyukseskan kedua misi manusia ini, komposisi kualitas feminine dan maskulin amat diperlukan. Jika manusia
over masculine di daÂlam menjalankan misi kekhalifahan maka bisa sangat berbahaya. Bisa saja terjadi melakukan eksploitasi alam melampaui ambang daya duÂkungnya sehingga terjadi kerusakan alam. SeÂbaliknya, mengeliminir kualitas maskulin dalam menjalankan misi manusia sebagai 'abid, maka kemungkinan besar yang akan terjadi adalah fatalisme keagamaan, yakni kesalehan individÂual yang tidak membawa dampak ke dalam keÂhidupan sosial.
Keseimbangan sifat-sifat maskulin dan femiÂnine sangat diperlukan di dalam menjalani keÂhidupan ini. Kualitas maskulin sangat memÂbantu manusia dalam menjalankan misinya sebagai khalifah dan kualitas feminin sangat membantu manusia dalam menjalankan misÂinya sebagai 'abid. Idealnya, jika komposisi kedua kualitas ini menyatu dalam diri setiap orang, maka yang akan terjadi adalah kedamaÂian kosmopolit (
rahmatan li al-'alamin) di tingkat makrokosmos dan negeri tenteram di bawah lindungan Tuhan (
baldah thayyibah wa Rab al-Gafur) di tingkat mikrokosmos. Konsep keseraÂsian pasangan (
azwaj) dalam Islam sekali lagi perlu ditegaskan, bukan hanya dalam level maÂnusia tetapi juga mencakup keserasian ciptaan alam semesta. Bahkan bukan hanya dalam bentuk fisik tetapi juga pasangan yang lebih absrak. Banyak ayat yang menjelaskan akan hal ini, di antaranya ialah: Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat akan kebesaran Allah. (Q.S. al-Zariyat/51:49). Maha Suci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui (Q.S. Yasin/36:36).
Diperlukan metodologi lebih komperhensif di dalam memahami ayat-ajat jender di dalam Al-Qur'an. Kita tidak boleh alergi terhadap metodÂologi yang pernah digunakan orang lain di daÂlam memahami kitab sucinya. Dari manapun datangnya sebuah metodologis jika itu mengÂhasilkan pemahaman yang lebih sesuai dengan tujuan umum syari'ah (
maqashid al-syari'ah) dapat dipertimbangkan. Hanya saja yang perÂlu diperhatikan, metodologi yang akan dikemÂbangkan di dalam memahami ayat-ayat Al-Qur'an tidak boleh bertentangan dengan atau menabrak sendi-sendi utama ajaran Islam. Di antara metodelogi yang dapat dipertimbangkan secara selektif dan kritis ialah metode hermeÂneutic, metode semantic, metode semiotic, meÂtode historisme, dan metode filologi. ***