"Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menulisnya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuÂliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berutang itu mengimÂlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendakÂlah ia bertakwa kepada Tuhannya, dan janganÂlah ia mengurangi sedikitpun daripada utangnya. Jika yang berutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki di antaramu. Jika tak ada dua orang laki-laki maka (boleh) seorang laki-laki dan dua orang peremÂpuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatÂkannya". (Q.S. al-Baqarah/2:282).
Ayat ini sesungguhnya bukan untuk melegitiÂmasi kelemahan apalagi mendiskreditkan kaum perempuan. Sebaliknya, ayat ini justru memÂberikan pengakuan terhadap potensi peremÂpuan sama dengan laki-laki, sama-sama memiÂliki hak untuk menjadi saksi. Dalam konteks masyarakat pra Islam, kaum perempuan samaÂsekali tidak bisa menjadi saksi. Manusia yang layak bersaksi hanya kalum laki-laki dewasa dan cerdas. Kaum perempuan dianggap tidak cakap untuk menyandang status sebagai sakÂsi, karena dipersepsikan mempunyai kelemaÂhan mendasar. Di antara kelemahannya dikaÂtakan karena sering bersikap emosional yang berpotensi mengganggu objektifitas dan sporÂtifitas kualitas persaksian. Anggapan seperti ini sesungguhnya tidak didasarkan kepada fakta tetapi lebih didasarkan kepada asumsi teologis bahwa perempuan tidak pantas disejajarkan dengan kalum laki-laki. Kaum perempuan dicipÂtakan dari tulang rusuk dan secara teologis diÂhubungan dengan konsep dosa warisan, gara-gara ulah Hawa yang menggoda Adam maka anak manusia jatuh dari langit kebahagiaan surga lalu turun di bumi penderitaan.
Ayat tersebut di atas jelas menolak asumsi teologis seperti ini. Al-Qur'an selalu mengguÂnakan kata ganti kolegial (mutsanna) di dalam menceritakan drama kosmos, kisah tentang jatuhnya Adam dan Hawa ke bumi. Al-Qur'an tidak pernah mempersalahkan Hawa seorang diri tetapi selalu bersama-sama dengan Adam.
Konteks sosiologis turunnya ayat di atas kaum perempuan sehari-hari hanya berurusan dengan dunia domestik, di sekitar kemah atau tempat tinggal mereka. Mereka tidak pernah atau jarang sekali dilibatkan di dalam dunia publik, apalagi dalam dunia bisnis. Dunia publik dan dunia bisÂnis adalah dunia laki-laki. Wajar kalau dalam masyarakat seperti ini persaksian kaum peremÂpuan tidak diterima. Bisa dibayangkan, dengan tuÂrunnya ayat tersebut di atas, maka seperti sebuah revolusi di dalam peradaban bangsa Arab. PeremÂpuan yang tadinya tidak pernah menjadi saksi tiÂba-tiba dikasih kesempatan dan pengakuan seÂbagai saksi, meskipun pada saat itu baru dalam kapasitas dua berbanding satu dengan laki-laki. Lebih menarik lagi karena pengakuan perempuan untuk menjadi saksi ialah di dalam dunia publik dan lebih khusus lagi dalam dunia bisnis. Ini artiÂnya, kaum perempuan juga sekaligus diberi penÂgakuan untuk melakukan aktifitas di dunia publik, termasuk pengakuan untuk menjalankan aktifitas di dalam dunia bisnis. Ayat tersebut betul-betul mendeklarasikan kemerdekaan perempuan unÂtuk bisa disetarakan dengan kaum laki-laki dalam dunia public dan dunia bisnis. ***