Akibat dikotomi ini muncul konsep beban ganÂda (double burden) bagi perempuan. Dari satu segi dituntut untuk mengurus secara langsung urusan kerumahtanggaan, tetapi di segi lain ditantang untuk memerankan beberapa peran tertentu yang masuk di wilayah publik. Aktifnya perempaun di dunia publik didorong oleh berÂbagai alasan, antara lain untuk menghilangkan ketergantungan kepada suami di samping meÂringankan beban ekonomi keluarga.
Salahsatu kerugian yang dialami kaum peremÂpuan dengan dikotomi pembagian peran ini ialah terbatasnya ruang dan waktu bagi perempuan unÂtuk mengakses pekerjaan atau dunia usaha. PaÂdahal, bekerja adalah salahsatu hak asasi manuÂsia yang sangat mendasar. Dilihat dari berbagai sudut, seseorang yang tidak bekerja, entah laki-laki atau perempuan, apapun alasannya, seolah-olah dianggap cacat atau beban sosial. Berbagai asumsi negatif bisa muncul terhadap orang-orang yang tidak bekerja. Dalam berbagai penelitian juga membuktikan bahwa secara psikologis sesÂeorang dalam usia proktif akan mengalami inveriÂority comlex syndrome, kehilangan rasa percaya diri; dan dari sudut agama, orang yang tidak beÂramal dianggap tidak sempurna keimanannya, karena hampir setiap perintah beriman dibarengi perintah beramal.
Ketika indikator pekerjaan diukur berdasarÂkan nilai produktifitas, dan produktifitas diÂtafsirkan berdasarkan incame materi, maka dampaknya antara lain, setiap orang yang tidak menghasilkan nilai tambah (value added) maka dianggap tidak bekerja. Seberat apapun pekerÂjaan seorang ibu rumah tangga di sektor doÂmestik, ia tidak dianggap bekerja dalam persÂpektif masyarakat kapitalis.
Perempuan yang bekerja dalam dunia pubÂlik, masih dibedakan dengan dua istilah, yaitu perempuan bekerja dan perempuan karier atau lebih popular dengan wanita karier. Yang pertaÂma ditujukan kepada perempuan yang bekerja di sektor informal sebagai buruh atau semacamÂnya, tidak mempunyai hak-hak inisiatif lebih beÂsar dan semuanya ditentukan oleh para pemiÂlik modal, termasuk di sini para pekerja seks. Yang kedua diperuntukkan kepada perempuan yang memiliki profesionalisme dan hak-hak iniÂsiatif lebih luas. Ironisnya, polarisasi seperti ini tidak pernah diberlakukan bagi laki-laki. DaÂlam lingkungan kerja, promosi karier seorang perempuan selain harus memenuhi persyaraÂtan formal sebagaimana ketentuan yang berÂlaku, juga tersirat satu syarat inplisit, yaitu yang bersangkutan "direlakan" oleh kaum laki-laki di lingkungannya, baik di lingkungan unit kerjanya maupun di lingkungan keluarganya, khususnya oleh suaminya. Al-Qur'an dan hadis lebih awal tampil menggugat warisan peran ini dengan memberi kesempatan kaum perempuan untuk memilih peran dalam sektor mana saja, tanpa membedakan publik atau domestik. (Lihat seÂjumlah artikel terdahulu). ***