Hak-hak kepemimpinan kaum perempuan saat itu samasekali terkunci oleh hukum adat qabilah. Dalam ketentuan qabilah Arab, sebaÂgaimana juga kaum tribal di dunia Barat dan Afrika saat itu, yang berhak menjadi pemimpin atau kepala suku hanya kaum laki-laki. PeremÂpuan samasekali tidak ada kemungkinan menÂgakses kepemimpinan yang dianggap sebagai dunia kaum laki-laki. Bahkan kosa kata "pemimpin perempuan" dalam kamus bahasa Arab tidak ditemukan. Kata "khalifah" yang seharusnya berarti pemimpin perempuan sudah dipatenkan sebagai pria pemimpin dunia Islam. "Imamah" yang seharusnya berarti "pemimpin perempuan" sudah dipatentkan artinya sebaÂgai "konsep kepemimpinan yang mengatur antara pemimpin dan yang dipimpin". Tinggal kata "sulthanah" yang seharusnya berarti "pemimpin perempuan" tidak diperbolehkan oleh para ulama. Sama dengan nasibnya dua orang pemimpin Aceh pada awal abad ke 19 dianulir oleh musti Saudi Arabia dengan alasan perempuan tidak boleh menjadi pemimpin. Ia mendasarkan pendapatnya dengan ayat: Al-rijal qawwamun 'ala al-nisa' (Laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan/Q.S. al-Nisa'/4:34).
Endapan pemahaman pra Islam masih cukup kuat berpengaruh di dalam pemahaman ayat dan hadis. Sekarang saatnya kita memberikan pencerahan terhadap umat di dalam memahami kitab sucinya. Tuhan pasti Maha Adil denÂgan sendirinya tidak membedakan laki-laki dan perempuan, karena keduanya sama-sama sebagai hamba dan sebagai khalifah. Dalam Al-Qur'an ditegaskan: Inna akramakun 'indalÂlah atqakum (Yang paling mulia di sisih Allah ialah orang yang paling bertaqwa). Dalam ayat ini tidak ditekankan kaum laki-laki atau peremÂpuan. Siapapun merasa anak cucu Adam berÂhak untuk dimuliakan sebagaimana dalam firÂmannya: Walaqad karramna Bani Adam (Allah memuliakan anak cucu Adam), tanpa dibedaÂkan perbedaan gender dan jenis kelaminnya.
Sebelum Islam datang, property kaum perempuan sangat terbatas. Seolah-olah kaum perempuan tidak berhak untuk memperatasnamakan dirinya di dalam sebuah kepemilikan property. Islam datang peluang perempuan unÂtuk memiliki property semakin besar. Isteri Nabi sendiri, Khadijah seorang pebisnis sukses. Bahkan perempuan semakin berpeluang menÂjadi menjadi tokoh masyarakat, sebuah angan-angan perempuan yang tidak pernah kesampaÂian sebelum Islam datang. Setelah Islam datang mimpi menjadi tokoh masyarakat sudah diwuÂjudkan oleh sejumlah perempuan muslimah.
Dalam kehidupan rumah tangga, kaum perempuan selalu menjadi obyek seksualitas kaum laki-laki. Kaum laki-laki selalu tampil sebagai
sexual driver, sementara kaum perempuan seÂlalu tampil sebagai obyek. Islam datang, kaum perempuan diberi kesempatan untuk menjadi
sexual driver sebagaimana sering kit abaca hadis-hadis "rumah tangga" Aisyah ra.
Daoam dunia pendidikan, sedah pasti sanÂgat jauh perbedaan antara pra Islam dan setÂelah Islam datang. Dahulu kala perempuan raÂta-rata buta huruf, tetapi setelah Islam datang kaum perempuan semakin cerdas dan pintar. Nabi sendiri membuka kelas-kelas khusus unÂtuk pendidikan dan keterampilan khusus kaum perempuan, seperti kursus kecantikan, menyaÂmak kulit, dan bahasa asing. ***