Perempuan Yang Diungkap Al-Quran (60)

Perbandingan Perempuan Pra-Islam (2)

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/nasaruddin-umar-5'>NASARUDDIN UMAR</a>
OLEH: NASARUDDIN UMAR
  • Selasa, 19 April 2016, 09:14 WIB
Perbandingan Perempuan Pra-Islam (2)
nasaruddin umar:net
HAK-HAK sosial perempuan pra Islam betul-betul sangat terbatas, misalnya tidak boleh keluar rumah sendirian, tidak boleh bertindak atas namanya sendiri dalam uru­san bisnis, dan sepertinya kaum perempuan penuh dengan daerah terlarang di sekitarnya. Setelah Islam datang, kaum perempuan betul-betul merasa­kan kemerdekaan, seperti dikemukakan oleh Prof. Yvonne Yazbeck Haddad, guru besar Georgetown Universiti, Washington DC.

Hak-hak kepemimpinan kaum perempuan saat itu samasekali terkunci oleh hukum adat qabilah. Dalam ketentuan qabilah Arab, seba­gaimana juga kaum tribal di dunia Barat dan Afrika saat itu, yang berhak menjadi pemimpin atau kepala suku hanya kaum laki-laki. Perem­puan samasekali tidak ada kemungkinan men­gakses kepemimpinan yang dianggap sebagai dunia kaum laki-laki. Bahkan kosa kata "pemimpin perempuan" dalam kamus bahasa Arab tidak ditemukan. Kata "khalifah" yang seharusnya berarti pemimpin perempuan sudah dipatenkan sebagai pria pemimpin dunia Islam. "Imamah" yang seharusnya berarti "pemimpin perempuan" sudah dipatentkan artinya seba­gai "konsep kepemimpinan yang mengatur antara pemimpin dan yang dipimpin". Tinggal kata "sulthanah" yang seharusnya berarti "pemimpin perempuan" tidak diperbolehkan oleh para ulama. Sama dengan nasibnya dua orang pemimpin Aceh pada awal abad ke 19 dianulir oleh musti Saudi Arabia dengan alasan perempuan tidak boleh menjadi pemimpin. Ia mendasarkan pendapatnya dengan ayat: Al-rijal qawwamun 'ala al-nisa' (Laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan/Q.S. al-Nisa'/4:34).

Endapan pemahaman pra Islam masih cukup kuat berpengaruh di dalam pemahaman ayat dan hadis. Sekarang saatnya kita memberikan pencerahan terhadap umat di dalam memahami kitab sucinya. Tuhan pasti Maha Adil den­gan sendirinya tidak membedakan laki-laki dan perempuan, karena keduanya sama-sama sebagai hamba dan sebagai khalifah. Dalam Al-Qur'an ditegaskan: Inna akramakun 'indal­lah atqakum (Yang paling mulia di sisih Allah ialah orang yang paling bertaqwa). Dalam ayat ini tidak ditekankan kaum laki-laki atau perem­puan. Siapapun merasa anak cucu Adam ber­hak untuk dimuliakan sebagaimana dalam fir­mannya: Walaqad karramna Bani Adam (Allah memuliakan anak cucu Adam), tanpa dibeda­kan perbedaan gender dan jenis kelaminnya.

Sebelum Islam datang, property kaum perempuan sangat terbatas. Seolah-olah kaum perempuan tidak berhak untuk memperatasnamakan dirinya di dalam sebuah kepemilikan property. Islam datang peluang perempuan un­tuk memiliki property semakin besar. Isteri Nabi sendiri, Khadijah seorang pebisnis sukses. Bahkan perempuan semakin berpeluang men­jadi menjadi tokoh masyarakat, sebuah angan-angan perempuan yang tidak pernah kesampa­ian sebelum Islam datang. Setelah Islam datang mimpi menjadi tokoh masyarakat sudah diwu­judkan oleh sejumlah perempuan muslimah.

Dalam kehidupan rumah tangga, kaum perempuan selalu menjadi obyek seksualitas kaum laki-laki. Kaum laki-laki selalu tampil sebagai sexual driver, sementara kaum perempuan se­lalu tampil sebagai obyek. Islam datang, kaum perempuan diberi kesempatan untuk menjadi sexual driver sebagaimana sering kit abaca hadis-hadis "rumah tangga" Aisyah ra.

Daoam dunia pendidikan, sedah pasti san­gat jauh perbedaan antara pra Islam dan set­elah Islam datang. Dahulu kala perempuan ra­ta-rata buta huruf, tetapi setelah Islam datang kaum perempuan semakin cerdas dan pintar. Nabi sendiri membuka kelas-kelas khusus un­tuk pendidikan dan keterampilan khusus kaum perempuan, seperti kursus kecantikan, menya­mak kulit, dan bahasa asing.  ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA