WAWANCARA

Suyoto: Saya Tak Mau Komentar Soal Pak Ahok, Tapi Main Gusur Jelas Tidak Baik

Senin, 18 April 2016, 09:11 WIB
Suyoto: Saya Tak Mau Komentar Soal Pak Ahok, Tapi Main Gusur Jelas Tidak Baik
Suyoto:net
rmol news logo Bupati Bojonegoro, Jawa Timur ini nekat mengadu nasib untuk bertarung di Pilkada DKI ke Jakarta. Padahal masa jabatan dia sebagai orang nomor satu di Bojonegoro hingga 2018 nanti. Partai Amanat Nasional (PAN) yang memboyong Kang Yoto- sapaan akrab Suyoto, ke Jakarta.

Di Jawa Timur, Kang Yoto yang sudah memimpin Bojonegoro hingga dua periode ini diklaim menjadi salah satu bupati berprestasi. Di bawah kepemimpinannya, Bojonegoro terpilih menjadi daerah percon­tohan mewakili Indonesia pada Open Government Partnership (OGP) Subnational Government Pilot Program atau Percontohan Pemerintah Daerah Terbuka.

Mengusung konsep memimpin dengan pendekatan 'ke­bahagiaan sosial', Kang Yoto menempatkan regulasi bukan menjadi senjata utama. Baginya, kesamaan hati merupakan yang utama. Kini Kang Yoto ingin tarung di arena berbeda, di Jakarta bukan Bojonegoro. Apa saja jurus yang akan di­mainkannya di Jakarta, berikut pemaparan Kang Yoto kepada Rakyat Merdeka;

Setelah jadi bupati, mau jadi apalagi rencananya Anda?
Kalau masih laku, dan ada yang nawar, saya kira jalan saja ya kita.

Kalau ada yang nawarin jadi gubernur DKI bagaimana?
Kalau ada yang nawar dan laku, ya saya siap. Selama belum memutuskan pensiun dari politik harus siap terus. Selama ada keinginan publik. Karena politisi itu kan kayak supir bus, kalau ada panggilan harus siap. Dia juga harus mau diperbincang­kan, artinya bisa mungkin dipro­mosikan, dikritik, dihadang, itulah politisi. Dia harus siap seperti itu.

Anda lebih suka jalur inde­penden atau parpol?
Intinya, parpol ataupun jalur independen adalah kesempatan untuk menangkap keinginan rakyat. Bahwa proses pilkada, pilpres adalah sebuah proses untuk melayani rakyat.

Tapi beberapa survei bilang masyarakat mulai jenuh den­gan parpol?
Saya rasa tidak semua tem­pat orang jenuh pada parpol. Karena banyak juga yang kemu­dian masyarakat percaya dengan parpol dan karena itulah juga percaya dengan pilihan-pilihan yang diajukan parpol.

Memangnya nggak takut dimintai mahar?
Ini saya nggak tahu, karena pengalaman saya menjadi ketua partai belum pernah minta ma­har. Saya kan juga ketua partai dulu di Jawa Timur. Boleh cek semua orang yang pernah saya beri rekomendasi.

Kalau boleh tahu, sudah berapa partai yang meminang Anda?
Semua masih wacana ya, dan sebagai politisi diwacanakan itu harus mau.

Menurut Anda, jadi pemimpin itu baiknya dicalonkan atau mencalonkan diri?
Itu bisa dua-duanya. Kalau masyarakatnya apatis, saya kira harus ada yang menawarkan diri. Tapi kalau masyarakatnya pro-aktif dan partai menangkap keinginan rakyat, ya saling pro-aktif, jadi jangan didikotomi, mencalonkan atau dicalonkan. Itu bukan soal mana yang lebih baik, tapi bagaimana progres mekanisme demokrasi bisa ber­jalan dengan baik.

Kalau terpilih jadi Gubernur DKI, apa saja yang perlu dibe­nahi?
Kalau saya membayangkan untuk Jakarta, apa yang sudah bagus itu harus diteruskan. Lalu tinggal ditambahin human approach-nya.

Seperti apa itu?
Human approach itu adalah pendekatan bagaimana human development semua ini kerang­kanya adalah memajukan ke­hidupan umat manusia, kehidu­pan warga Jakarta. Bayangan saya, DKIini kan rumah besar, bukan hanya milik warga DKI, tapi juga milik seluruh orang Indonesia. Jadi bagaimana ru­mah besar ini menjadi nyaman dan menyenangkan.

Kesenjangan bisa diatasi, yang miskin bisa naik kelas. Yang kaya semakin memberikan manfaat untuk lingkungannya. Lalu, fasilitas publiknya dikelola bersama-sama, jangan lupa yang menentukan DKI baik atau tidak bukan hanya pemerintah DKI, tapi juga warga. Maka warga bisa berpartisipasi.

Contohnya...
Soal banjir misalnya, siapa sih yang memberi sampah kalau bukan kita semua, baik lang­sung atau tidak. Maka itulah yang saya sebut perlu ada ko­laborasi antara pemerintah dan warga, mengharuskan kita saling nyambung, saling kenal, jangan dilompatin, tahu-tahu kita bicara aturan. Tapi harus bicara dulu, setiap masalah pasti ada keingi­nan bersama, ada visi bersama, dari situ akan muncul apa yang boleh apa yang tidak, kemudian kita konsultasikan pada ilmu pengetahuan, para ahli untuk bicara, dibuat konsensus mana yang boleh mana yang tidak. Dari situlah dibuat regulasi yang dimandatkan pada penegak aturan, ketika ditegakkan sudah nggak ada masalah.

Tapi persoalan yang dihadapi gubernur terkadang memben­turkannya dengan sebagian masyarakatnya?
Benturan pemimpin itu dimana tempatnya, kalau ditahap pertama ada niat, nggak ada benturan. Semua orang harus didengarin ni­atnya sama atau tidak. Baru yang kedua bicara visi bersama. Ini kan kolaboratif, bersama-sama. Memangnya pemimpin itu punya visi sendiri, rakyat punya visi sendiri. Kan nggak. Pemimpin itu kan pelayan rakyat, di tengah-tengah rakyat itu ada pengusaha, NGO, politisi, emang nggak bisa ketemu, ketemu dong. Ini negeri kok. Tidak ada rumus pasti, setiap masalah itu punya cara sendiri untuk menyelesaikannya.

Memangnya Anda pernah merelokasi warga tanpa ge­jolak?
Pengalaman saya mengawal industri migas, yang sekarang 20 persen minyak Indonesia kan dari Bojonegoro. Itu melibatkan hampir 6.000 warga yang harus merelakan tanahnya, itu perlu proses dua sampai tiga tahun. Tapi begitu berhasil, semua menerima. Kan lancar, tidak perlu membangun pagar tinggi-tinggi.

Masak iya warga nggak ada yang melawan?
Oh tadinya sempat melawan, lewat truk saja dicegat. Baru kemudian kita kumpulin, kita dengerin semua aspirasinya apa, keinginannya apa.

Akhirnya, apa keinginan penting mereka yang Anda catat?
Ada tiga, waktu itu, bagaima­na tata ruangnya tetap diban­gun, mana yang boleh diubah mana yang tidak, yang kedua adalah orang-orang yang un­skilling (tidak punya keahlian) mendapatkan pekerjaannya seperti apa, lalu (ketiga) bagaimana peluang bisnis lokal bisa mendapatkannya.

Nah dari situ kita bikin pera­turan daerahnya, lalu pengu­sahanya kita ajak ngomong, daripada pakai pagar keamanan tinggi-tinggi, bagaimana kalau orang dibikin suka. Kalau orang suka, nanti orang akan merela­kan, mendukung, semua ikut bahagia. Setelah pendekatan bahagia sosial ini, jadi lancar. Kalau ada kasus salah paham bisa dengan cepat diselesaikan.

Menurut Anda antara aturan dengan keinginan rakyat, mana yang lebih didahulu­kan?
Saya kira, yang harus didengar dulu adalah aspirasi bersama. Karena pemerintah itu untuk apa sih. Pemerintah itu kan un­tuk ngurus kehidupan bersama kan, jadi harus didengarkan bersama-sama, tapi harus diden­garkan keterbatasan bersama. Kemudian baru dibikin aturan untuk keinginan bersama itu bisa dipenuhi.

Jadi pemerintah tidak baik jika langsung main gusur begitu?
Saya kira tidak.

Jadi kebijakan Gubernur DKI saat ini menurut Anda salah dong?
Oh saya tidak ingin berko­mentar soal Pak Ahok.

Jika Anda yang menjadi Gubernur DKI, bagaimana Anda menyikapi reklamasi Teluk Jakarta?
Pertama kita berniat rekla­masi atau tidak, yang kedua visi kita tentang lingkungan hidup Jakarta kayak apa, soal ba­gaimana pantai itu harus ditata. Lalu level ke tiga, bagaimana mewujudkan visi itu dengan strategi ke sana. Nah, baru yang ke mpat aturannya.

Nah sekarang, kesannya se­mua orang berdebat soal aturan. Tapi esensinya tidak memper­oleh porsi yang cukup. Baru setelah muncul rumusan mana yang boleh mana yang tidak, baru dibikin aturannya. Jika perlu aturan lama direvisi, aturan baru dibikin. Karena aturanlah yang mengikat bersama, begitu hakikatnya konsensus. Baru di­jalankan pelan-pelan. Yang sekarang terjadi saya kira orang berdebat soal aturan, tapi lupa yang tiga tadi. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA