Perempuan Yang Diungkap Al-Quran (49)

Kabisyah binti Ma'an

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/nasaruddin-umar-5'>NASARUDDIN UMAR</a>
OLEH: NASARUDDIN UMAR
  • Jumat, 08 April 2016, 09:50 WIB
Kabisyah binti Ma'an
nasaruddin umar:net
DALAM satu riwayat dise­butkan oleh Ibn Abbas ke­mudian dipublikasikan oleh Al-Syaibani, menceritakan sabab nuzul ayat Q.S. al- Nisa'/4:19: "Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagimu mewarisi wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari maskawin yang telah kamu berikan kepadanya, terkecua­li bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mer­eka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadi­kan padanya kebaikan yang banyak".

Peristiwanya ialah mengacu kepada tradisi bangsa Arab bahwa manakala seorang laki-laki meninggal maka walinya berhak untuk mewarisi isterinya. Apakah sang wali akan menikahinya, "memeliharanya" untuk laki-laki lain, bisa dijadi­kan mahar, atau hanya menjadikannya koleksi. Kondisi perempuan seperti ini amat tidak sejalan dengan perinsip kesetaraan gender, karena itulah ayat tersebut di atas diturunkan.

Dalam pandangan ayat di atas, perempuan adalah manusia yang memiliki hak dan kewa­jiban sebagaimana halnya laki-laki. Meskipun janda, perempuan tetap memiliki hak yang sama. Ia tidak boleh dipersamakan dengan harta benda atau materi tanpa jiwa. Jika dalam perjalanan hidup suatu keluarga tidak sejalan, per­ceraian merupakan jalan keluar tetapi harus betul-betul menjadi opsi terakhir. Dampak per­ceraian adalah sangat luar biasa. Jika terjadi perceraian, dari dulu sampai sekarang, umum­nya yang korban ialah isteri dan anak-anak. Be­kas-bekas perceraian itu sangat nyata pada diri kedua orang tersebut. Isteri akan menjadi janda dan anaknya akan mirip nasibnya dengan anak yatim piatu.

Contoh kasus yang diangkat dalam Al- Qur'an ialah kasus rumah tangga Kabisyah binti Ma'an, yang sekaligus menjadi sebab tu­runnya ayat tersebut di atas. Ketika suaminya meninggal maka keluarga suaminya datang mengabil semua harta miliknya tanpa menyi­sakan sedikitpun kepada isterinya (Kabisyah). Mereka mendasarkan pandangannya pada tradisi jahiliah bahwa perempuan tidak bisa mendapatkan harta warisan. Tentu saja Kabi­syah selain berduka karena sedih ditinggal sua­mi ia juga berduka dengan kehadiran keluarga suminya menyita seluruh barang-barang dan harta suaminya. Kabisyah hanya bisa memang­gil nama Tuhan agar bisa mendapatkan jalan keluar terhadap diri dan masa depannya.

Bukan hanya sampai di situ, anak-anak ke­cil yang ditinggalkan suaminya harus hidup di dalam pemeliharaan Kabisyah seorang diri. Ke­luarga suaminya tidak mau tahu kalau di samp­ing anak-anak almarhum masih kecil dan masih membutuhkan bantuan materi dan non-materi. Dalam keadaan seperti itu maka turunlah ayat yang membela Kabisyah, seperti dikemukakan di atas. Turunnya ayat di atas setahap demi setahap, nasib dan martabat perempuan terus diangkat. Banyak contoh sekaligus bukti yang mendapatkan pengakuan bahwa kehadiran Is­lam dengan kitab suci dan nabinya betul-betul mengangkat derajat dan martabat perempuan. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA