WAWANCARA

Agus Santoso: Dengan Data Panama Papers, Mestinya Dirjen Pajak Lebih Ngotot Untuk Ngutip Pajak

Jumat, 08 April 2016, 09:09 WIB
Agus Santoso: Dengan Data Panama Papers, Mestinya Dirjen Pajak Lebih Ngotot Untuk Ngutip Pajak
Agus Santoso:net
rmol news logo Lebih dari 11,5 juta doku­men dibocorkan dari firma hu­kum Mossack Fonseca dari Panama, hasil investigasi The International Consortium of Investigative Journalists (ICIJ). Dokumen itu membeberkan data orang-orang yang menyimpan kekayaan mereka di luar negeri untuk menghindari pajak (off­shore).

Banyak negara tersentak, bahkan Perdana Menteri Islandia, David Gunnlaugsson yang na­manya ikut masuk list langsung memutuskan mundur dari jaba­tannya. Di data itu setidaknya ada 2.961 orang Indonesia yang muncul. Lantas mungkinkah data Panama Papers itu di­manfaatkan untuk penegakkan hukum di Indonesia, simak wawancara Rakyat Merdeka dengan Wakil Ketua Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Agus Santoso berikut ini;

Sebelum terbongkarnya kasus Panama Papers, PPATK tidak bisa mendeteksi aliran dana ke negara-negara tax heaven itu?
Ya PPATK dari tahun 2012 juga sudah tahu ada pola atau modus mengirimkan uang atau transaksi keuangan ke luar negeri, apakah itu ke Panama, ke BVI (British Virgin Island), atau ke Jersey, Labuhan Batu Malaysia juga ke Singapura, Swiss, Luxemburg.

Lalu, apa langkah yang diambil?
PPATK tahun 2013 akhir, mengirimkan tim bekerjasama dengan PPATK-nya Inggris un­tuk bicara dengan otoritas BVI. Tapi ya susah juga mengungkap memang.

Kenapa?
Kalau di luar negeri itu, kalau bukan yurisdiksi kita, kalau di Panama itu kan law firm-nya ya. Kalau pendiriannya, orang-orang Indonesia itu banyak di BVI, Cook Island, Cayman Island, tempat-tempat favoritlah. Kita bisanya sampai keluarnya saja. Tapi sampai terus gimana laginya kan kita nggak tahu, karena itu sudah di luar kan, kita ngak bisa menelusuri lagi. Nah, negara-neg­ara seperti itu keunggulannya kan merahasiakan semua. Sehingga kita kesulitan mencari.

Apa tidak bisa ditembus dengan melakukan kerjasama bilateral?
Paling kita mencoba menembus itu dengan mutual legal assistance (MLA), di balik itu MLA yang paling di depan kan Kumham (Kementerian Hukum dan HAM), sebagai Central Authority (CA). Ya hambatan selanjutnya kan karena hukumnya berbeda.

Apa negara-negara bersang­kutan tidak mau kerjasama?
Kalau dengan Inggris bisa, tapi kalau sama BVI masih susah. Sudah pernah kirim tim kita ke Inggris, terus ketemu BVI pernah.

Orang Indonesia yang mengamankan uang ke luar negeri itu bagaimana sih cara kerjanya?

Orang-orang Indonesia itu kan menempatkan uang di tax heaven country. Ada yang bikin perusahaan, istilahnya perusa­haan satu dolaran, one dollar company. Nggak ada kantor, ng­gak ada apa-apa. Cuma tercatat dan diregistrasi, apa di BVI, Cayman Island, dan lainnya. Nah ini mengabarkan bahwa lawfirm bisa melakukan hal-hal seperti itu. Menjadi gatekeeper, memfasili­tasi menyembunyikan transaksi melalui mereka mengatakan ra­hasia jabatan dan lainnya.

Apa tidak bisa dikomplain kebijakan negara-negara ma­ju yang merugikan negara lain itu?

Bagi negara maju saya sering komplain ke beberapa negara dalam pertemuan multilateral, atau bilateral, itu saya mengang­gap itu kan double standard. Karena secara internasional kan FATF (The Financial Action Task Force) kan menilai uang-uang ile­gal yang beredar di seluruh dunia kan begitu besar, mesti diperangi. Tapi negara-negara maju justru punya yurisdiksi yang merupa­kan tax haven, seperti Inggris yang punya British Virgin Island (BVI), Malaysia ada Labuhan Batu, dan lain-lain. Sementara itu kan tujuannya untuk penghindaran pajak, menyembunyikan harta untuk political exposed person pasti menyembunyikan hartanya. Kalau perusahaan-perusahaan pasti penghindaran pajak, dan supaya murah pinjaman luar negerinya.  ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA