Perempuan Yang Diungkap Al-Quran (43)

Mengapa Nabi Mengawini Zainab?

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/nasaruddin-umar-5'>NASARUDDIN UMAR</a>
OLEH: NASARUDDIN UMAR
  • Sabtu, 02 April 2016, 09:05 WIB
Mengapa Nabi Mengawini Zainab?
nasaruddin umar:net
SETELAH Zaid ibn Hamzah menceraikan isterinya, Zain­ab binti Jahsy, keduanya tetap bersahabat. Ia sama-sama menjadi pengabdi terhadap misi besar yang diemban Rasulullah. Ini pelajaran bahwa perceraian tidak mesti memutuskan persaudaraan keagamaan (ukhuwah islamiyah). Banyak orang yang bercerai tetapi sekaligus melahirkan keretakan keluarga dan persaudaraan. Akan tetapi Zaid dan Zain­ab tetap menjalin hubungan keakraban sebagai sesama umat dan sesama muhajirin.

Setelah keduanya bercerai, maka perinsiwa penting berikutnya ialah Nabi mengawini Zain­ab. Ini artinya perkawinan seorang ayah angkat dengan bekas isteri anak angkatnya, yaitu Zain­ab binti Jahsy. Perkawinan ini juga full meaning karena dalam tradisi Arab Jahiliyah tidak boleh seorang ayah angkat mengawini bekas isteri anak angkatnya, tetapi Nabi merombak tradisi ini dengan mengawini Zainab. Perkawinannya dengan Zainab mematahkan mitos bahwa se­orang bangsawan, sungguhpun itu bangsawan Quraisy, jika dikawini seorang kelas masyarakat biasa yang bukan bangsawan, apalagi bekas budak, maka hapuslah harapannya untuk men­jadi perempuan terhormat. Seolah-olah muncul kesan, laki-laki non-bangsawan mantan budak saja menceraikannya, apalagi laki-laki terhor­mat. Perkawinan Nabi dengan Zainab membuat citra Zainab kembali bercahaya. Bahkan Zainab semakin popular setelah ia dikawini Nabi.

Perkawinan Nabi dengan Zainab direstui Al­lah Swt dengan turunnya ayat sebagai berikut:

Dan (ingatlah), ketika kamu berkata kepada orang yang Allah telah melimpahkan nikmat ke­padanya dan kamu (juga) telah memberi nikmat kepadanya, "Tahanlah terus istrimu dan bertak­walah kepada Allah", sedang kamu menyem­bunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan menampakannya, dan kamu takut kepada ma­nusia, sedang Allah-lah yang lebih berhak untuk kamu takuti. Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya), Kami nikahkan kamu dengannya supaya tidak ada keberatan bagi mukminin untuk (menikahi) istri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluan terhadap istri mereka. Dan ketetapan Allah itu pastilah terjadi. (Q.S. al-Ahdzab/33:37).

Ayat tersebut di atas mengisyaratkan kebole­han Nabi atau siapa saja mengawini bekas is­teri anak angkatnya (Zainab). Yang penting sang mantan isteri itu resmi terjadi perceraian. Dengan demikian, tidak ada lagi cerita macam-macam tentang perkawinan Nabi dengan Zain­ab, seperti yang sering beredar di dalam kitab-kitab klasik lain. Seolah-olah Nabi merampas isteri anak angkatnya sendiri. Padahal, Zainab dan Zaid sejak awal keduanya tidak terjadi ke­cocokan satu sama lain. Zainab dari etnik suku Quraisy yang lebih terhormat di antara seluruh suku yang pernah ada di Mekkah Madinah, se­mentara Zaid hanyalah seorang laki-laki biasa dan mantan budak.

Sangat tidak berdasar jika ada karya tulis yang berani memperatasnamakan Nabi untuk sesuatu yang bersifat tidak masuk akal. Bagi­mana mungkin seorang Nabi yang ma’shum bisa melakukan hal-hal yang tidak bermoral. Ia difitnah seolah-olah Nabi memerintahkan anak angkatnya untuk menceraikan isterinya lalu un­tuk dikawini. Jika Nabi menghendaki kawin den­gan Zainab, kenapa sejak awal ia tidak mela­marnya? Kenapa ia menunjuk kepada anak angkatnya kalau ia menyimpan kemauan terh­adap Zainab? Perkawinan Nabi dengan Zainab adalah bagian dari misi suci pengembang umat yang Nabi sedang jalankan. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA