Setelah keduanya bercerai, maka perinsiwa penting berikutnya ialah Nabi mengawini ZainÂab. Ini artinya perkawinan seorang ayah angkat dengan bekas isteri anak angkatnya, yaitu ZainÂab binti Jahsy. Perkawinan ini juga full meaning karena dalam tradisi Arab Jahiliyah tidak boleh seorang ayah angkat mengawini bekas isteri anak angkatnya, tetapi Nabi merombak tradisi ini dengan mengawini Zainab. Perkawinannya dengan Zainab mematahkan mitos bahwa seÂorang bangsawan, sungguhpun itu bangsawan Quraisy, jika dikawini seorang kelas masyarakat biasa yang bukan bangsawan, apalagi bekas budak, maka hapuslah harapannya untuk menÂjadi perempuan terhormat. Seolah-olah muncul kesan, laki-laki non-bangsawan mantan budak saja menceraikannya, apalagi laki-laki terhorÂmat. Perkawinan Nabi dengan Zainab membuat citra Zainab kembali bercahaya. Bahkan Zainab semakin popular setelah ia dikawini Nabi.
Perkawinan Nabi dengan Zainab direstui AlÂlah Swt dengan turunnya ayat sebagai berikut:
Dan (ingatlah), ketika kamu berkata kepada orang yang Allah telah melimpahkan nikmat keÂpadanya dan kamu (juga) telah memberi nikmat kepadanya, "Tahanlah terus istrimu dan bertakÂwalah kepada Allah", sedang kamu menyemÂbunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan menampakannya, dan kamu takut kepada maÂnusia, sedang Allah-lah yang lebih berhak untuk kamu takuti. Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya), Kami nikahkan kamu dengannya supaya tidak ada keberatan bagi mukminin untuk (menikahi) istri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluan terhadap istri mereka. Dan ketetapan Allah itu pastilah terjadi. (Q.S. al-Ahdzab/33:37).
Ayat tersebut di atas mengisyaratkan keboleÂhan Nabi atau siapa saja mengawini bekas isÂteri anak angkatnya (Zainab). Yang penting sang mantan isteri itu resmi terjadi perceraian. Dengan demikian, tidak ada lagi cerita macam-macam tentang perkawinan Nabi dengan ZainÂab, seperti yang sering beredar di dalam kitab-kitab klasik lain. Seolah-olah Nabi merampas isteri anak angkatnya sendiri. Padahal, Zainab dan Zaid sejak awal keduanya tidak terjadi keÂcocokan satu sama lain. Zainab dari etnik suku Quraisy yang lebih terhormat di antara seluruh suku yang pernah ada di Mekkah Madinah, seÂmentara Zaid hanyalah seorang laki-laki biasa dan mantan budak.
Sangat tidak berdasar jika ada karya tulis yang berani memperatasnamakan Nabi untuk sesuatu yang bersifat tidak masuk akal. BagiÂmana mungkin seorang Nabi yang ma’shum bisa melakukan hal-hal yang tidak bermoral. Ia difitnah seolah-olah Nabi memerintahkan anak angkatnya untuk menceraikan isterinya lalu unÂtuk dikawini. Jika Nabi menghendaki kawin denÂgan Zainab, kenapa sejak awal ia tidak melaÂmarnya? Kenapa ia menunjuk kepada anak angkatnya kalau ia menyimpan kemauan terhÂadap Zainab? Perkawinan Nabi dengan Zainab adalah bagian dari misi suci pengembang umat yang Nabi sedang jalankan. ***