Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Bagi-Bagi Angin Di Masela, 5 Kritik Atas Opini Tempo

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/faisal-mahrawa-5'>FAISAL MAHRAWA</a>
OLEH: FAISAL MAHRAWA
  • Minggu, 28 Februari 2016, 09:54 WIB
Bagi-Bagi Angin Di Masela, 5 Kritik Atas Opini <I>Tempo</i>
net
TULISAN ini sengaja dibuat untuk mengomentari opini Majalah Tempo yang sedianya diterbitkan pada edisi 29 Februari - 6 Maret 2016, berjudul Pastikan Nasib Blok Masela. Ada beberapa hal yang kurang pas yang tertulis dalam tajuk tersebut yang kelihatannya perlu dikritisi.
Selamat Menunaikan Ibadah Puasa

Pertama adalah tentang negara asal konsultan independen Poten and Partners. Tempo menyebutnya berasal dari Inggris, padahal kenyataannya lembaga yang kabarnya sudah terbiasa menangani proyek FLNG/offshore tersebut adalah berasal dari Australia.

Kedua, adalah tentang transparansi yang menurut Tempo penting untuk "akuntabilitas proyek". Inpex, sebagai kontraktor yang kita percaya untuk mengembangkan proyek Blok Masela, haruslah membuka ke publik Indonesia tentang dikontraknya suatu lembaga konsultan yang bernama PT Tridaya Advisory sepanjang 2015-2016 dengan nilai kontrak sebesar 1,43 juta USD.

Menurut informasi yang kami peroleh, terdapat aliran dana dari Inpex sebesar 1 juta USD kepada Kuntoro Mangkusubroto, mantan Kepala UKP4 yang saat ini menjabat sebagai Komisaris Utama PT PLN. Kabarnya nama ini dikenal luas sebagai mentor atau setidaknya orang dekat dari Menteri ESDM Sudirman Said. Seharusnya hal ini dibuka saja secara transparan saja kepada publik. Tentu tidak akan ada masalah bagi keduanya, karena bukankah baik Kuntoro maupun Sudirman dahulu berasal dari suatu organisasi yang bernama Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI)?

Ketiga, kami sangat setuju untuk mengembalikan kewenangan memutuskan skenario pengembangan Blok Masela dari Presiden kembali kepada Menteri ESDM, karena memang perundangan menyatakan demikian.

Namun bukankah Menteri ESDM sendiri yang tempo hari tidak mampu (atau tidak berani) memutuskan, dengan segala pertimbangan yang diperolehnya dari SKK Migas maupun Poten and Partners, sehingga akhirnya harus merepotkan Presiden seperti sekarang.

Jika berani, seharusnya tanpa melibatkan Presiden, Menteri ESDM putuskan saja soal ini, tapi tentu harus berani juga bertanggung jawab atasnya. Ketidakberanian ini membuktikan bahwa sebenarnya Sudirman Said secara personal bukanlah orang yang bertanggung jawab.

Setidaknya ada dua kasus lain yang memperkuat pandangan ini:

(a) Sejak hari pertama dilantik saat terjadi reshuffle jilid pertama hingga kini (sudah lebih dari 6 bulan), Menko Maritim tidak pernah sekalipun dikunjungi oleh Menteri ESDM. Padahal Menko Maritim sudah berkali-kali melayangkan undangan kepada Menteri ESDM baik untuk rapat maupun untuk keperluan koordinatif lainnya. Hal ini tentu menyebabkan Menko Maritim menjadi kesulitan menjalankan amanat Peraturan Presiden (Perpres) 10/2015 yang salah satu tugas utamanya adalah "mengkoordinasikan, mensupervisi, dan mengendalikan" Kementerian ESDM.

Tidak jelas apakah Sudirman Said tidak berani berhadapan untuk sekedar bertemu dan berdiskusi dengan Rizal Ramli, ataukah memang Sudirman Said mendapatkan "arahan dari orang lain" selain Presiden sehingga berani untuk tidak mematuhi Perpres 10/2015?

(b) Menteri ESDM Sudirman Said sudah seharusnya juga ikut mengundurkan diri saat konco-konconya, Jim Moffett dan Maroef Syamsuuin mundur. Moffett mundur dari Presiden Komisaris Freeport McMoran dan Maroef Syamsuddin akhirnya mundur dari Presdir PT Freeport Indonesia. Bukankah dengan dua pihak tersebutlah Sudirman Said menjalin surat menyurat yang mesra tahun lalu, yang isinya secara eksplisit menjanjikan percepatan perpanjangan kontrak Freeport dengan jalan mengubah Peraturan Pemerintah (PP) terkait? Hal yang sudah dibantah dengan tegas oleh Presiden Jokowi, bahwa tidak akan ada percepatan perpanjangan kontrak untuk Freeport dengan jalan perubahan PP.

Hal yang sebenarnya membuat Sudirman Said menjadi kehilangan muka, sampai kemudian perhatian publik beralih ke maneuver-nya membongkar rekaman "Papa Minta Saham" ke MKD DPR dan publik pun melupakan tentang kisah Sudirman Said dan drama percepatan perpanjangan kontrak Freeport ini.

Keempat, yang agak perlu didalami lagi adalah pernyataan tajuk tentang "ada udang di balik onshore" yang terkait perpipaan dan pembebasan lahan. Tentang perpipaan ini sangat sering dituduhkan bahwa di balik ngototnya Rizal Ramli mendukung skenario onshore adalah karena ditunggangi oleh kepentingan bisnis perpipaan Aburizal Bakrie (ARB).

Tuduhan ARB kongkalikong dengan RR ini tentu harus sangat hati-hati dilancarkan, karena dapat menimbulkan reaksi balik dari pihak yang merasa namanya dicemarkan secara hukum. Karena berdasarkan aturan yang ada, segala macam tender yang berkaitan dengan sektor hulu Migas adalah kewenangan SKK Migas, bukan Kemenko Maritim.

Secara teknis, setidaknya ada dua sumber yang menyatakan bahwa perpipaan Masela belum dapat dipasok dari produksi "pipa domestic", pertama adalah lembaga konsultan PT Tridaya Advisory-nya Kuntoro cs, kedua adalah menurut Tenaga Ahli Kemenko Maritim Haposan Napitupulu.

Sedangkan terkait pembebasan lahan, kami berharap dapat diinvestigasi lebih jauh lagi oleh Tempo, karena kami mendapatkan informasi bahwa terdapat oknum pensiunan SKK Migas bekerja sama dengan pengusaha Tionghoa asal Surabaya yang telah melakukan aksi spekulasi membeli ratusan hektar lahan-lahan calon lokasi logistic base untuk opsi offshore.

Kelima, yang terakhir dan merupakan hal yang paling konyol, terdapat pada paragraf terakhir tajuk: Seandainya pun PoD Inpex disetujui "artinya menggunakan opsi offshore- SKK Migas telah berjanji menyiapkan dana pembangunan yang lumayan besar: Rp 5 triliun per tahun selama 24 tahun masa produksi."

Sepengetahuan penulis berdasarkan sumber-sumber terpercaya, pada saat Rapat Terbatas (Ratas) terakhir yang membahas Blok Masela, beberapa orang menteri pendukung offshore mengungkapkan tentang pembagian dana sebesar 5 miliar USD yang berhasil dihemat bila yang dipilih skenario offshore.

Bila mengacu pada sumber dari Inpex, angka 5 miliar USD yang mereka maksud ini diperoleh dari perkiraan (susmsi) bahwa biaya offshore lebih murah 5 miliar USD dibanding onshore. Perlu digarisbawahi, ini adalah "asumsi" penghematan 5 miliar USD yang ngawur dan tidak benar.

Kabarnya pada saat Ratas tersebut, seorang menteri yang membidangi keuangan negara mengemukakan idenya untuk membagi dana 5 miliar dollar AS tersebut bagi Provinsi Maluku selama 10 tahun (bukan selama 24 tahun sepanjang kontrak Inpex!) atau 500 juta dollar AS setiap tahunnya. Mungkin yang dimaksud Tempo dengan angka "Rp 5 triliun" adalah angka 500 juta dollar AS ini, tentu dengan asumsi kurs Rp 10.000/USD.

Terlepas dari kurang presisinya angka versi Tempo tersebut, logika keuangan negara yang dikemukakan menteri tersebut jelas sangat aneh. Kabarnya kemudian Presiden "langsung menyerang" logika tersebut, mempertanyakan: (a) Apakah mungkin logika penganggaran khusus untuk Maluku tersebut dilakukan secara kontinyu selama 10 tahun? Akankah mendapatkan persetujuan DPR? Dan bukankah komposisi DPR berganti setiap 5 tahun?; dan (b) Apakah daerah-daerah lain (seperti Kalimantan Timur, Riau, Papua Barat, dll) yang juga memiliki kekayaan migas tidak kemudian meminta keistimewaan yang sama dengan Maluku tersebut?

Seorang Menko pun, dalam Ratas yang sama, mengamini Presiden, mengibaratkan poin (b) ini bagaikan membuka "kotak Pandora" yang akan mengacaukan sistem APBN kita yang sudah mapan. Namun, di atas semuanya, ternyata dana 5 miliar USD yang digembar-gemborkan oleh para menteri pro offshore tersebut hanyalah "angin" belaka.

Alias belum tentu dana tersebut terbukti benar ada. Hal ini karena perkiraan biaya yang bersumber dari Inpex tersebut tidaklah benar. Kemenko Maritim berpandangan bahwa perkiraan biaya yang benar untuk offshore jauh lebih besar dari versi Inpex, yaitu dapat mencapai 22 miliar USD. Sedangkan perkiraan biaya yang benar untuk onshore jauh lebih kecil dari versi Inpex, yaitu hanya berkisar 16 miliar USD (di Pulau Selaru).

Presiden sendiri kabarnya sudah merasa, dengan nalar common sense-nya yang kuat, bahwa tidak ada ceritanya fasilitas di tengah laut/offshore lebih murah daripada fasilitas di darat/onshore. Jadi, jangan sampai nanti kita hanya membagi-bagi "angin" saja. [***]

Penulis adalah Kepala Litbang Kantor Berita Politik RMOL

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA