Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Revitalisasi Jurnalisme dan Tantangan Wartawan

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/fritz-e-simandjuntak-5'>FRITZ E. SIMANDJUNTAK</a>
OLEH: FRITZ E. SIMANDJUNTAK
  • Rabu, 03 Februari 2016, 07:36 WIB
Revitalisasi Jurnalisme dan Tantangan Wartawan
fritz e simanjuntak
MENYANGKUT peristiwa bom di Sarinah Thamrin, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat menjatuhkan sanksi kepada 8 (delapan) lembaga penyiaran, baik televisi maupun radio. Sanksi dijatuhkan karena adanya pelanggaran terhadap Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3 & SPS) tentang program siaran jurnalistik, akurasi berita dan larangan menampilkan gambar mayat.

Pelanggaran yang dilakukan oleh lembaga penyiaran tersebut utamanya berkaitan dengan kecepatan menyiarkan berita dengan nara sumber para warga yang aktif di media sosial. Sehingga prinsip "check dan recheck" tidak dilakukan oleh Dewan Redaksi.  

Memang salah satu dampak dari revolusi internet adalah bukan saja cepatnya tersebar berita suatu peristiwa, melainkan semakin tipisnya pembatasan antara "produser dan konsumer" informasi.  Istilah Citizen journalism atau jurnalisme warga ditandai dengan partisipasi aktif masyarakat dalam peristiwa sosial mulai dari pengumpulan, pelaporan, analisis, serta penyampaian informasi, foto dan film melalui media sosial. Akibatnya media resmi seperti televisi, radio, media cetak tertatih-tatih melawan kecepatan berita dari jurnalisme warga.

Contoh yang masih ada di benak kita adalah tragedi tsunami di Aceh tahun 2004 lalu. Warga tanpa latar belakang dan pelatihan sebagai jurnalis mampu memberikan informasi terkini tentang perkembangan situasi di Aceh. Didukung oleh turis yang selamat dari badai tersebut, dengan perlengkapan kamera dan video, mereka berhasil membuat liputan yang menjadi nara sumber utama lembaga penyiaran formal baik televisi nasional maupun internasional, media cetak, media online dan radio.

Beberapa peristiwa lain yang banyak menggunakan dukungan partisipasi "jurnalisme warga" antara lain: gempa bumi di Haiti 2010, Demonstrasi besar-besaran di Turki 2013 maupun Perang di Syria.  

Fenomena kolaborasi sekaligus persaingan antara jurnalis profesional dan jurnalisme warga yang sebagian besar amatir di era digital ini akan terus terjadi.  Bahkan persaingan di antara mereka akan semakin ketat yang bisa membawa situasi penyebaran informasi yang salah seperti terjadi pada beberapa lembaga penyiaran dalam kasus bom Sarinah Thamrin. Era digital belakangan ini juga memberikan keuntungan bagi para pendukung aliran sesat dan terorisme untuk terus mencari simpatisan ke seluruh dunia. Demikian juga informasi informasi yang cenderung berbau porno, kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak, semakin mudah diakses belakangan ini.

Pakar jurnalisme Bill Kovach dan Tom Rosentials tentang "The Element of Journalism" menyatakan ada 9 elemen dasar yang harus dimiliki seorang jurnalis Profesional. Yaitu: mencari kebenaran, berpihak kepada masyarakat, perlunya verifikasi fakta, menjaga independensi, penyambung lidah yang tertindas, memberi forum kepada publik, memikat dan relevan, proporsional dan komprehensif, serta menggunakan hati nurani.  

Namun faktanya sangat sulit dipenuhi kesembilan kriteria seorang jurnalis tersebut.  Terutama setelah sebagian besar media di Indonesia dimiliki pengusaha kaya dan juga politisi di mana beritanya didominasi kepentingan pemilik.  Dalam kondisi demikian tidak heran apabila jurnalisme warga melalui media sosial menjadi alternatif utama bagi masyarakat yang kecewa terhadap media formal di Indonesia.

Dalam konteks tersebut ketika para wartawan yang tergabung pada organisasi PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) mengadakan acara Hari Pers Nasional di Lombok Nusa Tenggara Barat tanggal 6-9 Februari 2016, terlihat sekali keseluruhan agenda didominasi oleh program-program pemerintah terutama yang berkaitan dengan kemaritiman dan pariwisata. Semua ini malah mengukuhkan bahwa organisasi wartawan yang tergabung PWI memang produk pemerintah dan tidak berubah sejak didirikan tahun 1985 di era Soeharto.  Setiap tahun perayaan Hari Pers Nasional selalu diwarnai dengan pesan pemerintah dan dihadiri oleh begitu banyak pejabat pemerintah.

Kenyataan ini jauh dari profesionalismenya untuk memenuhi sebagian besar dari 9 elemen yang dikemukakan oleh Bill Kovach dan Tom Rosentials di atas. Para wartawan di media formal lebih menjadi corong kekuasaan dari pada masyarakat luas persis seperti era Soeharto dulu. Tidak ada yang berubah dari para wartawan di era reformasi ini.

Karena itu kita patut bertanya kembali fungsi dan peran apakah yang akan dilakukan oleh para wartawan  ke depan menghadapi tantangan era digital ini. Apakah kategori seorang wartawan harus yang bekerja di perusahaan media formal seperti sekarang ini? Bagaimana posisi penulis penulis berita dan opini yang bertebaran di media sosial seperti facebook, twitter, blog dan path.  Karena mereka turut memperkaya informasi, opini dan berita bagi setiap warga dan banyak lagi yang lebih dipercaya masyarakat ketimbangan wartawan yang tergabung dalam organisasi PWI.

Kalau kita kutip Pasal 1 butir 4 Undang-Undang No.40/1999 tentang Pers di mana Wartawan adalah orang yang secara teratur melaksanakan kegiatan jurnalistik.” Maka jurnalis warga mestinya juga bisa termasuk sebagai wartawan.  Tetapi kita tidak tahu apakah orang seperti Jonru dan Denny Siregar yang aktif memperkaya masyarakat melalui informasi tulisan di media sosial juga diundang hadir pada perayaan Hari Pers Nasional kali ini.  

Masyarakat luas sangat beruntung dengan adanya internet dan media sosial. Karena dunia jurnalisme tidak lagi menjadi dominasi profesi wartawan.  Dengan kondisi wartawan belakangan ini sudah terlalu riskan kalau dunia jurnalisme dipercayakan hanya kepada media formal dan para wartawan wartawannya yang sebagian besar medianya dimiliki oleh para pengusaha dan politisi dan terus menjadi corong mereka.

Karena itu ke depannya jurnalisme warga di Indonesia, meski tanpa kartu anggota PWI, melalui jaringan media sosial akan semakin lebih dipercaya oleh sebagian masyarakat Indonesia karena mereka masih memiliki nurani dan keberpihakan kepada masyarakat.  Sementara para wartawan Indonesia, meskipun dengan kartu anggota PWInya, apabila tanpa keberanian melakukan revitalisasi, maka lambat laun media tempat bekerja akan hanya menjadi sejarah pernah terbit.

Selamat Merayakan Hari Pers Nasional!!! [***]

Penulis adalah Sosiolog, anggota senat Indonesia Marketing Association dan tinggal di Jakarta

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA