"Suara terbanyak, saya. Tapi Ketua Umum menetapkan Ade Komarudin…â€, ujar Fadel seusai pengumuman Golkar tentang kursi kosong Ketua Parlemen tersebut.
Pernyataan Fadel diungkapkannya setelah Fraksi Golkar menggelar rapat Rabu 16 Desember 2015 di Senayan. Rapat membahas pengunduran diri Setya Novanto selaku Ketua DPR-RI setelah heboh kasus "Papa Minta Saham". Pengunduran diri Novanto mulai berlaku sejak hari Rabu itu.
Sementara Ketua Umum DPP Golkar versi Munas Bali Aburizal Bakrie alias Ical beralasan, dia menetapkan Ade Komarudin sebagai pengganti Novanto, sebab masa bakti Ade di Golkar sudah cukup lama. Mulai dari anggota biasa, naik jadi anggota DPR, pimpinan komisi, Sekretaris Fraksi sampai akhirnya menjadi Ketua Fraksi.
Pernyataan Fadel dan Aburizal, kalau diuji dengan logika demokrasi, sebetulnya cukup membingungkan.
Jika benar Fadel menang dalam pemungutan suara lantas mengapa Ade Komarudin yang terpilih ? Ini namanya kemenangan semu bagi Fadel atau politik tidak beretika dari sudut pandang textbook.
Bingung saja mengikuti kejadian ini. Sebab di tengah keterbukaan seperti sekarang, kebiasaan berpolitik pat gulipat, umpet-mengumpet, masih berlanjut. Padahal salah satu sebab munculnya reformasi adalah untuk merubah kebiasaan berpolitik umpet-umpetan.
Kalau memang Ical sudah punya pilihan calon, mengapa tidak sejak awal, sebelum pemilihan itu ditetapkan, dia sudah umumkan bahwa Ade Komarudin-lah pilihannya. Jika cara itu yang dipilih Aburizal, Fadel sebagai politisi senior barangkali tak akan merasa dipecundangi.
Hanya saja pertanyaan di atas dan kebingungan ini mengemuka, sebab saya yang bertanya dan yang bingung, melihat perpolitikan yang dimainkan Aburizal Bakrie, semata-mata dari pakem politik hitam-putih saja.
Alasan Aburizal Bakrie bahwa Ade Komarudin merupakan kader Golkar yang sudah lama berkiprah di partai itu, juga memancing kebingungan.
Karena kalau dalam hal reputasi keduanya disandingkan, hasilnya tidak akan berbanding lurus. Fadel relatif lebih unggul.
Sebab Fadel sudah pernah menjadi Gubernur Gorontalo. Fadel tercatat selaku Gubernur pertama provinsi itu setelah pemekarannya dari provinsi Sulawesi Utara.
Keberhasilan Fadel menjadi kepala daerah di sebuah provinsi baru kemudian membangun daerah itu menjadi setara dengan provinsi lainnya, tentu saja merupakan salah satu prestasi. Dan itu bisa berarti apa yang dilakukan Fadel merupakan sebuah perjuangan politik yang menghasilkan nilai tambah bagi Golkar.
Selain itu tidak lama setelah melepas jabatan Gubernur Gorontalo, Fadel terpilih selaku Menteri Kelautan dan Perikanan di Kabinet SBY. Yang memberikan nama Fadel kepada Presiden SBY untuk dipercaya menjadi anggota kabinet justru Aburizal Bakrie sendiri.
Sementara Ade Komarudin, sekalipun menurut Aburizal sudah lama berkarir di partai berlambang Pohon Beringin itu, belum pernah menduduki posisi yang setara dengan yang sudah diraih Fadel Mohammad.
Jadi bingung saja mengikuti alur berpikir Aburizal Bakrie, politisi sekaligus pebisnis ini.
Masih soal Setya Novanto. Selasa malam 15 Desember 2015, bekas Bendahara Umum Partai Golkar ini mengundurkan diri sebagai Ketua DPR-RI. Kegaduhan politik pun serta merta hilang, setidaknya turun drastis.
Yang menjadi persoalan sekaligus membingungkan adalah cara Novanto mengundurkan diri dan respons Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD).
Pernyataan pengunduran diri dilakukan Novanto saat MKD tengah menyidangkan kasusnya. Apakah dia melakukan pelanggaran etik atau tidak. Momen yang dipilih Novanto untuk mengeluarkan surat pengunduran diiri, berada di "zone injury time".
MKD tanpa berpikir panjang, spontan saja mennganggap bahwa kasus Novanto dalam "Papa Minta Saham", terselesaikan.
Padahal, selain MKD tidak menyelesaikan kasus tersebut, karena tidak mengambil keputusan, MKD juga tidak teliti. MKD tidak membaca surat pengunduran diri Novanto secara cermat.
Surat pengunduran Novanto memang dibacakan di forum MKD yang menyidangkannya. Tetapi surat itu tidak dialamatkan kepada MKD. Tetapi ke pimpinan DPR-RI. Terjadi pengaburan antara Pimpinan DPR dan Pimpinan MKD.
Maka bisa timbul persoalan, dimana hak legal MKD mewakili pimpinan DPR-RI ?
Yah, bingung saja mengikuti pernak pernik kasus Setya Novanto ini.
Secara instan dan kegaduhan, persoalannya seperti sudah berhasil diseleaikan. Tapi secara politik dan intelektual, sebetulnya belum. Kasus Novanto masih seperti permainan bola gasing, masih berputar di satu sumbu saja.
Bingung melihat bagaimana prilaku para politisi Senayan sebagai wakil rakyat apalagi mereka yang dipanggil Yang Mulia. Apa dan dimana kepatutan mereka disebut Yang Mulia dan Wakil Rakyat ?
Atau sayanya yang gagal memahami sebuah manuver politik yang tidak tertulis dalam literatur ilmu politik.
Kebingungan soal pengunduran diri Novanto, tidak berhenti di situ. Tapi berlanjut ke statusnya masih sebagai wakil rakyat.
Dengan tidak diambilnya keputusan atau tanpa adanya sanksi dari MKD terhadap Novanto, konsekwennya, secara hukum Novanto masih tetap berhak duduk di Senayan. Novanto tidak kehilangan status sebagai wakil rakyat.
Sehingga atas dasar itu pula Novanto ditetapkan oleh Aburizal Bakrie selaku Ketua Fraksi Partai Golkar di DPR-RI. Setya Novanto dan Ade Komarudin bertukar tempat.
Yang kembali membingungkan, seluruh wakil Golkar yang duduk di MKD menilai Setya Novanto dalam kasus "Papa Minta Saham" telah melakukan pelanggaran berat.
Jika terminologi itu ditafsirkan dengan logika sehat, seharusnya Novanto memperoleh "sanksi berat" dari partai. Tapi yang kita lihat, Novanto tak mendapat sanksi sama sekali bahkan justru mendapat promosi.
Secara protokoler Ketua DPR-RI lebih tinggi statusnya. Tetapi secara politik, tidak. Pimpinan DPR-RI itu hanya simbol kelembagaan, sementara hak-haknya sama dengan anggota lainnya.
Justru Ketua Fraksi memiliki kekuatan politik yang jauh lebih besar dari Ketua DPR-RI.
Jadi bingung saja - melihat inkonsistensi anggota Golkar di MKD dan kebijakan Partai Golkar dalam soal etika.
Apakah ini yang namanya logika terbalik atau memang harus beginikah cara berpolitik di era reformasi?
Yang pasti, kalau logika terbalik seperti ini yang dipraktekkan, peluang Setya Novanto untuk kembali menjadi Ketua DPR-RI, tetap terbuka kembali. Jadi jangan kaget atau gaduh kalau Ade Komarudin batal jadi Ketua DPR-RI.
Tokh Novanto tidak mendapat sanksi dari MKD. Lagi pula surat pengunduran dirinya dari Ketua DPR-RI ditujukan kepada pimpinan lembaga itu. Berarti kalau pimpinan DPR juga menolak permintaan pengunduran dirinya itu, Novanto tetap saja bisa duduk kembali di kursi Ketua.
Sepakat atau tidak, happy atau sedih, yang pasti perubahan status Novanto dari Ketua DPR-RI menjadi Ketua Fraksi Partai Golkar di DPR-RI bisa diibaratkan dengan sebuah pertunjukan atau permainan politik.
Permainan ini pantas disebut sebagai sebuah aksi yang luar biasa.
Golkar versi Aburizal Bakrie, luar biasa lihai. Ibarat ikan belut, sangat licin, sukar ditangkap dan ditaklukkan. Saking licinnya kulitnya, sekalipun sang belut sudah tidak lagi berada di dalam air atau kolam, tetap saja sulit dipegang apalagi ditangkap. Soalnya tubuhnya berlumuran oli, minyak pelumas. Sudah licin masih diberi pelumas.
Dalam perkembangan lainnya, pencalonan Ade Komarudin nampaknya menghadapi batu sandungan atau kerikil. Pasalnya, Golkar versi Agung Laksono atau dikenal Munas Ancol, mencalonkan Agus Gumiwang Kartasasmita.
Sabtu 19 Desember 2015 terbetik berita bahwa Agung Laksono yang dinyatakan sebagai Ketua Umum DPP Golkar versi Munas Ancol, mencalonkan Agus Gumiwang Kartasasmita sebagai pengganti Setya Novanto.
Nah lho, berarti penggantian Setya Novanto masih bermasalah. Bukan saja calon penggantinya tidak disepakati secara internal oleh Golkar, tetapi rupanya perpecahan partai itu masih berlanjut.
Saya benar-benar bingung, sebab sejak sebulan lalu, Golkar Ical dan Golkar Laksono sudah kembali menggunakan Kantor DPP yang terletak di Slipi, Jakarta Barat. Katanya sudah tidak ada lagi versi-versian. Ical dan Laksono tersirat mengkleim Golkar sudah berdamai.
Namun ternyata kleim itu hanya untuk mengantisipasi Pilkada Serentak 9 Desember 2015. Supaya Golkar punya wakil di Pilkada Serentak tersebut. Sebuah kleim semu.
Saya bingung dan gagal paham tentang cara Golkar berpolitik.
Barangkali memang benar kesimpulan sementara bahwa Golkar sudah tidak sesuai denhgan zaman. Golkar tidak pantas lagi menjadi teladan bagi anak bangsa. Golkar tidak lagi menjadi pemersatu.
[***]