Acara yang dibuka secara resmi oleh Ahmad Subadri, anggota MPR dari Kelompok DPD ini, ditandai dengan penyerahan tokoh wayang kepada Ki Tantut Sutanto, dalang asal Malang, Jawa Timur. Sejumlah anggota MPR hadir dalam acara ini. Mereka adalah Anang Prihantoro (DPD), Vivi Sumantri Jayabaya (Demokrat), M. Ali Thaher (PAN), Hj. Anna Mu'awamah (PKB), dan H. Zulkiflimansyah (PKS).
Sebagai anggota DPD dari dapil Banten, Ahmad Subadri memang ikut berperan hingga terselenggaranya wayang kulit di Kota Tangerang ini. Kepadanya, muncul pertanyaan, kenapa di daerah Banten digelar wayang kulit, bukan wayang golek, kesenian tradisional Sunda.
Menjawab pertanyaan itu, Ahmad Subadri menjelaskan, masyarakat Kota Tangerang sekarang sudah sangat plural, antara pribumi dan pendatang sudah berimbang. Kebetulan ada permintaan agar diadakan pertunjukan wayang kulit.
"Ini menarik, karena pementasan wayang kulit diKota Tangerang jarang terjadi, sementara wayang golek sudah biasa," kata Ahmad Subadri dalam sambutannya.
Sekda Kota Tangerang Dadi Budairi mewakili Walikota Tangerang agaknya juga ingin menjelaskan pementasan wayang kulit di Kota Tangeran ini penting. Karena dilihat dari komposisi penduduk, Kota Tangerang ini merupakan miniatur Indonesia.
"Berbagai suku, agama ada di Kota Tangerang. Karena itulah, pelaksanaan Empat Pilar di Kota Tangerang berjalan baik," ungkapnya.
Tujuan dari pementasan seni budaya wayang kulit ini, seperti dikemukan oleh Kepala Bagian Pemberitaan dan Hulembaga Biro Humas MPR Purwadi, memang untuk mereaktualisasikan nilai-nilai Empat Pilar, yaitu Pancasila, UUD NRI Tahun 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika. Selain itu, pementasan ini juga bertujuan melestarikan kesenian tradisional.
Menurut Purwadi, MPR melakukan sosialisasi lewat seni budaya ini telah berlangsung sejak 2011. "Sudah ratusan seni budaya kita gelar. Bukan hanya wayang kulit, tapi juga seni tradisional lainnyan sesuai seni buadaya setempat. Dan, di Kota Tangerang memilih wayang kulit, dengan lakon Gondomono Sayemboro, dinilai tepat," ujar Purwadi.
Tokoh Raden Gondomono memang patut diteladani. Sebagai putra mahkota di Kerajaan Pancanala, tapi ia menolak menjadi raja, karena ingin mengabdi kepada Prabu Pandu di negara Hastina. Meski akhirnya ia tewas di tangan Bimasena, putra Pandu. Dan, inilah contoh pemimpin yang tidak gila jabatan.
Terakhir, dalam rilis Humas MPR, sesuai harapan Ahmad Subadri, apa yang disampaikan oleh dalang lewat cerita Gondomono Sayemboro ini menjadi tontonan dan juga tuntunan. [rus]
BERITA TERKAIT: