Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Wajah "Innocent" Setya Novanto Tuai Simpati

Don't Judge the Book from Its Cover

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/derek-manangka-5'>DEREK MANANGKA</a>
OLEH: DEREK MANANGKA
  • Selasa, 17 November 2015, 21:25 WIB
Wajah "Innocent" Setya Novanto Tuai Simpati
setya novanto/net
Pada acara peluncuran buku Surya Paloh tahun lalu, tepatnya 21 Nopember 2014, Setya Novanto, hadir. Kehadirannya sebagai Ketua DPR-RI cukup mengejutkan sekaligus menyejukan.

Mengejutkan karena Setya Novanto yang ketika itu dianggap mewakili Koalisi Merah Putih (KMP), berani hadir di acara yang didominasi oleh politisi Koalisi Indonesia Hebat (KIH). Sementara saat itu tensi politik yang membelah KMP dan KIH masih sangat tinggi. Dia hadir seperti utusan yang membawa pesan perdamaian.

Sedikitnya ada 5 Menteri anggota kabinet Joko Widodo yang dianggap mewakili KIH. Adanya Setyo Novanto dan kelima Menteri, acara yang digelar di Gedung Pertemuan "Gramedia", Jakarta tersebut, menjadi lebih hidup dan memancarkan nuansa yang lebih bersahabat.

Kehadiran Setya Novanto, eks Bendahara Golkar itu bertambah menyejukan, sebab dia terus menebar senyum dan memperlihatkan "gesture" yang positif.

Surya Paloh (SP) yang saat itu dikenal sebagai "President Maker" dalam sambutannya secara tersirat 'membela' Setya Novanto. Sambil menyebut Ketua DPR-RI sebagai sahabat, SP yang mantan anggota Golkar - partai yang diwakili Setya Novanto, meminta pihak-pihak tertentu supaya tidak melanjutkan kritikan mereka.

Pidato SP ditafsirkan untuk tak ada yang menganggap Setya Novanto tidak mampu atau tidak pantas, tak layak memimpin DPR-RI. Memang masih banyak politisi yang bisa, tetapi mengapa tidak diberi kesempatan kepada yang sudah terpilih. Begitu kira-kira atmosfirnya.

Para undangan pun ada yang ikut manggut-manggut tanda setuju. Kebetulan usia jabatan Setya Novanto belum genap dua bulan. Masih terlalu pagi untuk dinilai atau dievaluasi.

Sebagai pihak yang hanya mengenal SP tapi tidak tahu banyak tentang Setya Novanto, saya pun agak terpengaruh dengan ajakan SP. Seorang lelaki brewokan, sosok yang berpenampilan "galak" kontras dengan Setyo Novanto.

Sedikit banyaknya, saya tidak lagi menghubungkan Setya Novanto dengan skandal yang pernah mengait-ngaitkan dengan namanya.

Sudah agak lupa detil kejadiannya. Tetapi yang dimaksud adalah 'Skandal Bank Bali'. Nama Setya Novanto di tahun 1998 -2000, ramai disebut dalam 'Skandal Bank Bali' atau "Cessie Bank Bali". Setya Novanto disebut-sebut ikut dilewati aliran dana Bank Bali berjumlah ratusan milyar. Hal mana ikut meruntuhkan bank swasta tersebut.

Namanya belum setenar sekarang. Yang terakhir ini yang menyebabkan saya tidak terlalu mempedulikannya.

Yang lebih saya pedulikan Rudy Ramli, bekas President Direktur Bank Bali. Sahabatku di club golf "Olimpik" ini, mengalami "quatro disadvantage" atau empat kehilangan.

Ceritera Rudy Ramli cukup menyentuh emosi. Sebab katanya selain kehilangan Bank Bali dengan berbagai asetnya, uang tunai hampir satu triliun rupiah, ikut lenyap.

Angka hampir satu triliun itu relatif jauh besar nilainya jika dibandingkan situasi 2015. Sebab saat itu nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika, masih di kisaran Rp 7.000. Sementara saat ini kisarannya sudah di Rp 13.500, bahkan sempat menyentuh Rp 14.000-an.

Salah satu sisi yang cukup mengenaskan dari kisah Rudy Ramli adalah karena isterinya - seorang wanita cantik etnik Chinese, pun ikut hilang. Alias ikut diambil oleh pebisnis lainnya yang terlibat dalam kemelut Bank Bali tersebut.

"Rudy Ramli benar-benar apes. Bank, harta, aset, dan uang mungkin bisa dihitung. Tapi kehilangan isteri sesuatu yang sangat menyakitkan. Menyangkut harga diri", begitu sebut sejumlah teman pegolf.

Entah Setyo Novanto ikut tersandung dalam "love affair" ini atau hanya sahabatnya Djoko Chandra saja.

Yang pasti Setyo Novanto sering disebut sebagai sahabat baik Djoko Chandra. Djoko yang oleh Rudy Ramli disebut sebagai perampas isterinya, dikenal sebagai pebisnis dari grup "Mulia". Ia kini tengah buron ke Papua Nugini.

Skandal Bali,. sejalan dengan perjalanan waktu, akhirnya dilupakan orang. Demikian pula keterlibatan Setya Novanto di dalamnya.

Rudy Ramli pun nampaknya sudah menutup buku atas kasus skandal yang merebak lebih dari 15 tahun lalu tersebut.

Sampai Oktober 2015 baru lalu, saat masyarakat pers meributkan pertemuan Setya Novanto dengan Donald Trump, capres Amerika Serikat dari Partai Republik di New York, simpati saya padanya belum berkurang. Saya masih terpengaruh oleh pernyataan SP, seorang politisi yang juga dikenal "deal maker".

Berbeda dengan kebanyakan masyarakat yang terus mengeritik, diam-diam saya mengakui kehebatan Ketua DPR-RI. Kecerdasannya terletak dalam melakukan manuver.

Bahkan ketika seorang yang mengaku sebagai sahabat isteri Setya Novanto menanyakan apakah saya bersedia menulis bukut tentang Ketua DPR-RI itu, jawaban saya spontan: "Oh bersedia dong. Mengapa tidak?"

Rasa percaya ataupun lebih tepat disebut simpati itu antara lain dipengaruhi wajah Setya Novanto yang nampak "innocent". Raut muka Setya Novanto dalam kacamata saya, seperti orang suci, yang tidak suka berbuat dosa. Dari wajahnya, mengalir darah tenang yang mengesankan sulit dipercaya percaya apalagi menduga ia bisa menjual nama Presiden dan Wapres RI.

Wajahnya memperlihatkan bahwa dia tidak memiliki karakter seperti yang diributkan sekarang ini. Ketenangannya dalam menjawab setiap pertanyaan wartawan, menunjukan, Setya Novanto seorang yang "cool".

Ia tidak mungkin berani bertindak bodoh apalagi menghadapi perusahaan raksasa kaliber PT Feeport.

Ditambah lagi secara materi, Setya Novanto sudah sangat mapan. Dia termasuk salah seorang politisi terkaya yang ada di Senayan.

Pergi ke kantor DPR-RI Senayan saja ia menggunakan mobil mewah pribadi bermerek "Porche". Jam tangan yang dikenakannya sehari-hari, konon seharga Rp 5 milyar.

Manusia yang sudah mencapai tingkat kemapanan seperti ini - apalagi di usianya yang sudah lewat angka setengah abad, semestinya tinggal berbuat hal-hal baik yang banyak bagi masyarakat, bangsa dan negara.

Hanya saja pekan lalu, saya agak terkejut ketika membaca sebuah postingan yang menyebutkan bahwa Setya Novanto selaku Ketua DPR-RI telah melakukan perundingan dengan pemerintah Jepang, dalam rangka pembelian alutsista.

Ha? Apa? Koq pimpinan DPR sekarang sudah mengerjakan tugas pemerintah ? Kayaknya pimpinan dewan sekarang mulai ngawur.

Belum lagi keterkejutan hilang semuanya, Senin sore 16 Nopember 2015 dikejutkan oleh laporan Menteri ESDM Sudirman Said ke Mahkamah Kehormatan Dewan, DPR-RI. Sudirman memastikan Setya Novanto mencatut nama Pimpinan Negara.

Keterkejutan itu bertambah sebab pada pembukaan sidang paripurna Oktober lalu, Setya Novanto bersama pimpinan DPR-RI lainnya, mengenakan masker. Pengenaan masker itu sebagai bentuk protes kepada pemerintah cq Presiden Joko Widodo. Protes itu dilakukan dengan alasan Presiden tidak mampu mengatasi kabut asap yang melanda Sumatera dan Kalimantan.

Cara Setya Novanto ini, paradoks dengan yang dilakukannya empat bulan sebelumnya tepatnya di bulan Juni saat bertemu pimpinan PT Freeport.

Singkatnya manuver Setya Novanto, cara Ketua DPR-RI menghadapi Presiden, sangat tergantung pada kepentingan pribadinya.

Ada saat dia menjual nama Presiden (kepada PT Freeport) secara promotif, tapi ada waktunya ia menghardik Presiden (di muka publik) secara politik.
Menyaksikan adegan ini, sebagai pengamat, rakyat biasa, saya hanya bisa membatin. Inikah wajah politik dan polirisi Indonesia yang tak lagi patuh pada ketulusan dan kejujuran ?

Saya tidak tahu dan belum mendengar bagaimana reaksi SP setelah sahabatnya itu disebut-sebut sebagai politisi yang telah mencatut nama Presiden dan Wakil Presiden.

Sementara sikap saya sudah berubah. Saya hanya bisa menggeleng-gelankang kepala. Koq bisa yah, ada politisi elit seperti ini?

Dan ketika sebuah lembaga swadaya masyarakat : org . com meminta saya untuk menanda-tangani petisi - mendesak agar Setya Novanto mundur dari Jabatan Ketua DPR-RI, sayapun tidak ragu.

Pimpinan DPR-RI perlu dikocok ulang. Sebab lembaga legislatif ini akan menjadi bahan olok-olokan kalau Setya Novanto masih diberi kepercayaan menduduki jabatan terhormat di sana.

Saya tidak malu mengaku, sempat bersimpati kepada Setya Novanto, karena wajahnya yang "innocent".

Barangkali memang benar apa yang dikatakan pepatah. Jangan menilai seseorang dari luarnya saja. Atau jangan menilai buku hanya dari bagian depannya saja.

"Don't judge the book from its cover". Jangan terkecoh dengan wajah simpatik sang Ketua DPR-RI. [***]

Tulisan ini pernah dipublikasikan penulis pada tanggal 17 September 2015.

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA