WAWANCARA

Nila Djuwita F Moeloek: Masyarakat Jangan Mau Terima Resep Obat Yang Tidak Ditanggung BPJS

Jumat, 13 November 2015, 09:32 WIB
Nila Djuwita F Moeloek: Masyarakat Jangan Mau Terima Resep Obat Yang Tidak Ditanggung BPJS
Nila Djuwita F Moeloek/net
rmol news logo Praktik gratifikasi di dunia kedokteran bukan barang baru. Perusahaan farmasi memberikan ‘imbalan’ kepada setiap dokter yang meresepkan obat produksi perusa­haan farmasi tersebut. Praktik kotor ini jadi perbincan­gan menyusul pemberitaan investigasi sebuah majalah. Menteri Kesehatan Nila F Moeloek langsung meng­gandeng Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk meramu langkah-langkah pencegahannya.

Darihasil investigasi majalah tersebut, nilai gratifikasi yang diberikan perusahaan farmasi kepada dokter cukup fantastis. Nilainya hingga ratusan juta ru­piah. Menurut hasil penelusuran majalah tersebut setidaknya ada 2.125 dokter di Indonesia yang terindikasi menerima gratifikasi. Ketika pabrik obat kongkalikong dengan dokter, muara derita itu tentunya sampai pasien. Apa langkah yang ditempuh Menteri Kesehatan Nila F Moeloek menghadapi kenakalan para dokter tersebut:

Praktik pemberian grati­fikasi dari perusahaan farmasi kepada dokter ini tentunya berimbas kepada pasien, apa langkah kementerian Anda?
Ke depan Kementerian Kesehatan perlu mengatur lebih rinci apa saja yang boleh dan yang tidak boleh diterima dokter. Tapi sebenarnya seorang dokter boleh menerima hadiah dari perusa­haan obat bila ditujukan untuk pengembangan kemampuan si dokter. Misalnya, untuk riset dan penelitian bagi dokter boleh, karena meningkatkan keahlian dokter. Namun saya tidak setuju bila hadiah dari perusahaan farmasi itu diberikan secara individu kepada dokter. Seperti hadiah jalan-jalan, misalnya.

Lantas apa upaya preventif yang sudah Anda lakukan?
Kami bekerja sama dengan Ikatan Dokter Indonesia melaku­kan upaya preventif dengan menggandeng KPK. KPK send­iri sebenarnya juga memang mempunyai suatu pemikiran untuk merumuskan suatu kon­sep pencegahan dulu, daripada kita sudah jatuh kepada masalah hukum. Jadi saya kira itu yang kami lakukan.

Selain itu?
Ya sebenarnya saaat ini di era layanan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) kita sudah me­makai yang namanya elektronik katalog (e katalog). Jadi ru­mah sakit yang sudah beker­jasama dengan BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) kesehatan itu mengambil obat­nya melalui e katalog. Misalnya obat antibiotik, obat antibiotika yang sudah di-acc itu biasan­yayang direkomendasikan itu di­masukkan terlebih dulu ke LKPP (Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang / Jasa Pemerintah. Di situ mereka melakukan semacam ten­der tapi yang dilihat itu kualitas dan harganya. Misalnya obat an­tibiotik yang terdiri dari tiga jenis itu dua di antaranya masuk karena kualitas dan harganya yang terjangkau untuk masyarakat. Nah kami harus memilih di antara kedua itu. Dengan cara itu mudah-mudahan meminimalkan hubungan antara dokter dan pe­rusahaan farmasi. Dengan begitu kan berarti praktik (gratifikasi) itu sudah bisa diminimalisir.

Anda yakin dengan e ka­tolog sudah memutus mata rantai gratifikasi?
Sudah tidak bisa karena ada e katalog. Misalnya tadi obatnya A dan B, farmasi itu obatnya C, kalau saya nulis tetep C itu saya tidak akan bisa dibayar diganti oleh rumah sakit, pasien ini harus beli sendiri. Nah nanti kami juga akan melakukan pencerdasan kepada masyarakat, jika saya menerima resep dan tidak diba­yar oleh BPJS itu protes, jangan mau. Jadi mudah-mudahan ter­minimalkanlah. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA