Dan yang menjadi juru adil atau Ketua Jaksa, seorang putera Indonesia, Dr. Todung Mulya Lubis.
Selain Todung, hadir di pengadilan itu sebagai "Koordinator", Nursabani Kantjasungkana, seorang aktifis perempuan dan kalau tidak keliru pernah menjadi anggota parlemen di awal reformasi. Kemudian peneliti LIPI Dr. Asvie Warman Adam.
Kabarnya masih ada sejumlah WNI, tapi nama dan indentitas mereka untuk sementara dirahasiakan.
Hanya saja karena tidak paham hukum, akhirnya saya cuma bisa diam memendam rasa kaget dan bingung. Bingung tapi penasaran ingin tahu, apa yang mendorong pengacara kawakan Todung Mulya Lubis mengadili negaranya sendiri di luar negeri? Apakah Todung Mulya Lubis benar-benar mau menegakan hukum dan keadilan? Atau ada alasan lain?
Bingung, karena berita tersebut muncul secara tiba-tiba saja. Tidak ada semacam "pemanasan" bahwa dalam waktu dekat akan ada pengadilan internasional terhadap Indonesia.
Padahal Todung Mulya Lubis yang terkenal cukup kenal dekat dengan pimpinan media, biasanya suka membagi informasi tentang apa yang akan dilakukannya, baik di dalam maupun luar negeri.
Todung bukan hanya sekedar seorang ahli hukum, tetapi juga seorang komunikator yang baik. Lantas mengapa peran dia sebagai Juru Adil atas Indonesia, negaranya, tidak dia komunikasikan dengan orang yang patut diberinya informasi?
Yang menimbulkan tanda tanya, perannya justru tidak menguntungkan Indonesia. Lha apa yang dia cari?
Sementara itu saya cari rujukan termasuk reaksi dari pemerintah. Yang ada, reaksi Wapres Jusuf Kalla. Tetapi begitu membaca reaksi Wapres, di bawahnya ada komentar bahwa Jusuf Kalla salah kaprah.
Semakin bingung lagi. Karena sejatinya Jusuf Kalla sedang membela Indonesia. Tapi mengapa Orang Nomor Dua di republik ini justru dibilang salah kaprah oleh seseorang yang statusnya hanya rakyat biasa?
Ah, saya hanya bisa mendesah. Siapa sebenarnya saat ini yang bisa disebut "Orang Indonesia"?
Kalau saja saya punya nomor HP Dr. Asvie sahabat saya bermain catur 30 tahun lalu, sudah saya telepon dia.
Keberanian bereaksi, tepatnya menulis, baru muncul setelah Kamis pagi membaca postingan Pak Bambang Kesowo, mantan Menteri Sekretaris Kabinet di era Presiden Megawati Soekarnoputri. Pak Bambang secara tersirat mengecam apa yang dilakukan Todung Mulya Lubis di Pengadilan Rakyat Belanda.
Bagi saya pendapat Pak Bambang Kesowo, seorang putera Indonesia yang separuh hidupnya dihabiskan di Sekretariat Negara RI dan paruh waktu untuk mengajar di Universitas Gajah Mada, Yogyakarta cukup pantas.
Dia paham apa yang baik dan perlu dilakukan WNI speerti Todung Mulya Lubis dan mana yang tidak.
Selain itu pemgetahuannya tentang "hak dan kewajiban" warga negara Indonesia, cukup luas.
Kalau tidak begitu Pak Bambang tak mungkin bisa menjadi semacam Sekretaris Kabinet Bayangan selama lebih dari 30 tahun.
Pendapatnya cukup menjadi rujukan. Artinya saya merasa, kalau bersuara menentang pengadilan itu, tidak sendirian. Termasuk mengecam kehadiran Todung Mulya Lubis, seorang pengacara senior yang sekaligus seorang intelektual yang saya respek.
Belum cukup puas dengan tanggapan Pak Bambang Kesowo, saya coba cari di google tentang apa itu IPI (International People's Tribunal) lembaga hukum yang mengadili Indonesia di Denhaag, Belanda saat ini.
Temuan saya, tidak cukup memuaskan. Informasi yang diberikan google, tidak cukup memenuhi harapan.
Akhirnya saya putuskan untuk menggunakan "logika terbalik" tentang IPT dan orang-orang Indonesia yang hadir di pengadilan tersebut.
IPT tidak lebih dari sebuah pengadilan yang tidak adil dibentuk pemerintah Belanda. Ada ketidak jujuran pemerintah Belanda terhadap Indonesia dan dunia HAM Internasional. Ada dendam kesumat yang masih melekat dalam diri negara eks penjajah ini.
Mungkin Belanda berpikir, sebelum Indonesia mengadilinya, dia lebih dulu melakukannya. Sebab sejatinya yang harus diadili dalam pelanggaran HAM berat, justru Belanda.
Selain menjajah Indonesia selama 350 tahun, Belanda juga melakukan pembunuhan. Salah seorang pelakunya, Kapten Westerling, algojo yang mengaku membantai puluhan ribu warga Sulawesi Selatan. Satu di antara korbannya, putera asal Kawanua, Wolter Monginsidi.
Selama menjajah Indonesia, Belanda juga melakukan pencurian hasil bumi. Hitung saja, berapa banyak yang dirampok VOC, badan yang mengurus perdagangan Belanda selama tiga setengah abad.
Belanda sesungguhnya juga masih menyimpan dendam terhadap Indonesia, khususnya Presiden Soeharto. Sebab Soeharto-lah yang membubarkan IGGI - Inter Governmental Group on Indonesia, konsorsium internasional yang mengatur bantuan dan pinjaman luar negeri Indonesia di era Orde Baru.
Bukan hanya membubarkan, Presiden Soeharto juga sekaligus memecat Menteri Belanda yang menjadi Ketua IGGI, Jan Pronk.
Dalam kasus tewasnya aktifis HAM, Munir SH, Belanda juga merasa sakit hati. Karena sebetulnya pegiat HAM itu dikabarkan membawa sejumlah dokumen pelanggaran HAM berat, khususnya yang dilakukan oleh TNI. Belanda mengiming-imingi almarhum dengan bea siswa untuk mendapatkan gelar doktor, dengan bahan disertasi tentang pelanggaran HAM berat oleh TNI. Belanda ingin mendapatkan rahasia-rahasia kelas satu.
Tragis bagi Munir, ia meninggal dunia dalam pesawat terbang Garuda yang belum mendarat di Amsterdam.
Keakurasian atas informasi itu masih harus di-cross check. Tetapi saya tidak merasa berkepentingan melakukannya. Info atau rumor ini sudah beredar sejak tahun 2005, sekitar setahun setelah Munir meninggal di pesawat Garuda rute Jakarta-Amsterdam.
Tetapi rumor ini tidak pernah saya didisiminasi, sekalipun sudah menjadi rahasia umum di kalangan wartawan politik maupun pengamat intelijen.
Namun melihat tingkah dan peran Belanda dalam Pengadilan Rakyat, muncul rasa kecewa terhadap bekas penjajah tersebut. Sebagai warga negara, saya punya tanggung jawab membela negara saya. Caranya dengan membuka apa yang saya dengar tentang - dokumen yang diharapkan Belanda dari almarhum Munir. Untuk saat ini relevansinya ada, sebab Belanda sedang mempermalukan Indonesia.
Keputusan Belanda memberikan panggung kepada IPT termasuk Todung Mulya Lubis dan Nursyabani Kantjasukngkana, tak biasa dibiarkan. Tak boleh dianggap enteng.
Pemerintah bahkan bila perlu mengeluarkan nota protes diplomatik. Belanda harus dilawan dengan cara-cara bermartabat.
Kelakuan jahat Belanda dalam kasus Munir, bila perlu dibongkar. Bisa dibayangkan citra apa yang akan terjadi tentang Indonesia, jika semua dokumen tentang pelanggaran HAM berat oleh TNI menjadi karya ilmiah seorang ahli hukum.
Tentu saja saya tidak setuju pelanggaran HAM berat di tanah air, siapapun yang melakukannya. Tetapi saya tidak setuju jika masalah internal itu harus diumbar ke dunia internasional.
Apapun alasannya, masyarakat internasional, termasuk Belanda yang juga tidak bersih, tidak pantas mencampuri urusan dalam negeri kita. Biarlah kita sendiri yang menyelesaikannya.
Sama dengan pembunuhan tahun 1965, walaupun pada waktu itu masih-anak, saya juga tidak setuju. Tetapi biarlah itu menjadi urusan internal bangsa Indonesia.
Kalau saja saya ditanya pendapat, apa penilaianku terhadap putera-putera Indonesia yang membantu terselenggaranya Pengadilan Rakyat Denhaag itu, jawabanku lugas: "Ada pengkhianat bangsa!" Sebab bagi saya "right or wrong is my country". Benar ataupun salah, saya akan tetap bela negara saya!
Tentang pengadilan peristiwa 1965, apa kompetensi Belanda mengadili Indonesia ? Mengapa kantor pengadilannya di Belanda?
Jika IPT dan para hakim betul-betul jujur, untuk membongkar kasus pembunuhhan 50 tahun lalu itu, semestinya mereka juga menggunakan dokumen CIA yang sudah menjadi buku bebas di pasar. Buku itu menjelaskan tentang peranan Amerika Serikat dalam kekisruhan politik termasuk terjadinya pembunuhan apa yang dikatakan pembunuhan massal di Indonesia yang terjadi 50 tahun lalu.
Menyoroti Pengadilan Rakyat Denhaag, saya terpaksa menggunakan logika terbaik.
Mengapa para saksi yang dihadirkan di Pengadilan Rakyat Denhaag tersebut harus disembunyikan identitas mereka. Apakah untuk membuka semua kebenaran harus ada saksi yang disembunyikan identitas bahkan wajahnya?
Naga-naganya pengadilan akan memvonis pemerintah. Ini berarti Presiden Joko Widodo yang harus bertanggung jawab. Nah masuk akalkah logika yang digunakan Todung Mulya Lubis dan kawan-kawan, kalau Joko Widodo yang tahun 1965 itu baru seorang Balita diminta pertanggung jawaban.
Dari logika terbalik, muncul lagi kecurigaan. Pengadilan ini nampaknya mengincer Soeharto, jenderal yang kemudian muncul sebagai Presiden RI setelah peristiwa 1965.
Nah apakah Soeharto yang sudah meninggal dunia, lalu harus dibangkitkan dari kuburnya untuk mempertanggung jawabkan perbuatan pemerintah yang dipimpinnya?
Sekali lagi saya memang bukan ahli hukum. Maka tolong jangan salahkan kalau dalam kasus Pengadilan Rakyat di Denhaag, Belanda ini, saya gunakan logika terbalik. Bukan logika hukum.
[***]