PUKUL 05.58, pemandangan di luar pesawat sudah terlihat jelas. Cerah. Hamparan awan pun terlihat mengkilap oleh pancaran mentari pagi. Di bawah, sudah tampak daratan, gunung-gunung cokelat bersusun indah, meski tak beraturan. Tak seperti di kawasa tropis, pemandangan hijau di bawah sana kering dan gersang.
Pesawat kami masih berada di atas Laut Merah, namun agak ke samping, di kejauhan tampak daratan. Di layar monitor tertulis, kami baru saja melintasi Sharm al-Syeikh, kawasan wisata yang terkenal di Mesir itu. Kawasan ini menjadi target serangan teror pada 23 Juli 2005 silam. Dua bom mobil dan satu bom koper meledak di hotel-hotel dan pusat belanja Sharm el-Sheikh, Mesir, menewaskan 64 orang dan melukai 200 lainnya termasuk beberapa warga negara asing.
Tak terasa, berarti sekitar 30 menit lagi saya akan mendarat di bandara internasional Ben Gurion Airport, Tel Aviv, Israel. Tak banyak cerita dari mereka yang pernah mendarat disini. Karena biasanya, orang-orang Indonesia yang pernah ke kawasan Palestina masuk dari negara-negara tetangga seperti Mesir atau Yordania. Kalau pun ada, cenderung tidak terlalu suka bercerita.
Kami mendarat tepat waktu, sekitar 06.40 pagi waktu Tel Aviv. Setelah proses pengambilan barang-barang bagasi beberapa rekan dan ke
counter imigrasi, kami menuju hotel di Kota Yerusalem, sekitar 3 km, ditempuh kurang lebih satu jam naik mobil.
Yang seru, kami hanya punya waktu sekitar satu jam di hotel nanti, dan diminta langsung memulai rangkaian diskusi dan program-program lainnya dari The Rambam Israel Fellowship Program ini. Wow! Setelah terbang total 15 jam, langsung lompat lagi? "Aha!
Welcome to the jungle!" Seperti kata Colin Rubenstein, sang Direktur AIJAC sambil bercanda, T
his is no mercy program.†Di jadwal tertulis, kegiatan nyaris tiap hari dimulai dari jam 07.00 hingga jam 20.00 malam!
Dalam perjalanan Tel Aviv-Yerusalem, meski masih agak mengantuk dan capek, saya terus berusaha membuka mata lebar-lebar, melihat dunia†yang tak pernah saya lihat sama sekali sebelumnya.
Yang pertama paling menarik buat saya adalah, sejak berada di pesawat El Al sehari sebelumnya, hingga memasuki airport Ben Guron ini, nyaris semua orang yang saya lihat adalah orang-orang bule, kulit putih. Mulai dari hampir seluruh penumpang, termasuk Colin, petugas yang
standy by menjemput kami di airport, hingga
driver yang mengantarkan kami.
Sebelum saya berangkat, seorang rekan menyatakan kepada, saya pasti akan dapat pengalaman seru, menarik dan unik. Kamu akan merasa seperti di Barat,†katanya. Padahal secara geografis, Israel adanya di Timur Tengah yang umumnya identik dengan Arab. Kecuali mungkin di kota-kota negara Timur Tengah yang banyak pekerja profesionalnya dari kawasan Eropa dan Amerika.
Hal lain yang juga menarik menurut saya adalah penunjuk-penunjuk jalan yang tertulis dalam tiga bahasa, yakni Ibrani (Hebrew), Arab dan Latin. Israel memang memiliki dua bahasa resmi, yakni Ibrani dan Arab. Saya teringat saat beberapa kali ke Aceh. Di sana, nama-nama jalan dan perkantoran juga dibikin dalam bahasa Indonesia dan aksara Arab.
Namun karena nama-nama perkantoran adalah bahasa Indonesia, sehingga aksara Arab itu bukanlah bahasa Arab, tapi bahasa Indonesia yang ditulis dalam aksara Arab. Kadang disebut dengan Arab Melayu. Sementara di Israel, aksara yang tampak itu adalah sekaligus juga dibaca dalam bahasa asli aksara tersebut.
Dulu, saya pernah belajar Judaisme setengah semester, saat kuliah di Perbandingan Agama, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Jadi, saya sedikit akrab dengan istilah bahasa Ibrani ini. Tapi karena kami tak pernah belajar bahasa tersebut secara khusus, sehingga saya tak paham bahasa Ibrani, dan amat asing ketika baru mendengarnya. Namun ketika tampak tulisan ‘right’ (kanan) misalnya, saya sedikit paham, tulisan Arabnya berbunyi ‘yumna’.
Saya tiba-tiba teringat dengan humor jadul, maksudnya karena ingin hati-hati, namun karena tak begitu mengerti bahasa Arab, sebagian masyarakat Muslim mengira, apa-apa yang tertulis dalam bahasa Arab dikira selalu al-Qur’an. Sampai-sampai ketika ada sobekan koran berbahasa Arab jatuh di jalanan pun buru-buru dipungut agar tak terinjak. Karena tulisan korannya dikira sobekan al-Qu’ran yang terjatuh. Ternyata, isinya cuma berita harga-harga barang yang terus menanjak tinggi, hehe...
Bersambung
BERITA TERKAIT: