Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

MENEROBOS ISRAEL MELIHAT PALESTINA

Kedubes Turun Tangan Terobos Antrian Panjang

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/muhammad-rusmadi-5'>MUHAMMAD RUSMADI</a>
OLEH: MUHAMMAD RUSMADI
  • Minggu, 08 November 2015, 20:47 WIB
Kedubes Turun Tangan Terobos Antrian Panjang
SEKITAR pukul 20.10, Senin (26/11), Garuda bernomor penerbangan GA 864 yang saya tumpangi mendarat di Bangkok. Konon, di sinilah saya perlu "persiapan" menghadapi beragam pertanyaan, menjelang check in ke pesawat Israel, El Al Israel Airlines.

Lumayan juga, setelah sekitar tiga setengah jam terbang, lalu harus mengikuti "proses" panjang lagi sebelum meneruskan penerbangan yang jauh lebih lama, Bangkok-Tel Aviv, sekitar 11 jam lebih.   

Urusan mengejar penerbangan selanjutnya menuju Tel Aviv, saya tak terlalu khawatir, karena sepertinya cukup banyak waktu, sekitar empat jam. Kami dijadwalkan take off dari Bangkok pada jam 00.20, tengah malam.

Di bandara internasional Suvarnabhumi Airport, Bangkok ini, saya akhirnya bertemu Dr Colin Rubenstein AM, Direktur Eksekutif Australia/Israel & Jewish Affairs Council (AIJAC), yang membantu saya mengunjungi Israel.

Sambil menunggu giliran wawancara di depan counter check in El Al, saya sambil ngobrol-ngobrol dengan Colin. Ini adalah pertemuan pertama kami secara langsung, setelah sejak akhir Agustus lalu aktif berkomunikasi via email. Colin adalah dosen senior ilmu politik, dengan spesialisasi Timur Tengah dan Kebijakan Publik di Monash University, Melbourne, Australia antara 1975 �" 1998.

Di tengah obrolan, dia memberikan visa Israel kepada saya. "Aha, alhamdulillah! Dapat juga akhirnya, hehe," gumam saya. "Tuh dapat kan, visanya? Kalau kami (warga Israel) jelas bakal sangat sulit kalau mau ke Indonesia!" candanya.

Ya, karena Indonesia memang tak punya hubungan diplomatik dengan Israel. Meski demikian, biasanya mereka juga punya kewarganegaraan ganda, bahkan lebih yang diakui oleh negara Yahudi tersebut. Dengan demikian, ini juga bisa mereka gunakan untuk ke negara-negara yang tak punya hubungan diplomatik langsung dengan Indonesia.

Kini, tiba giliran saya dipanggil ke samping counter check in El Al. Ada dua petugas berkebangsaan Thailand yang bergantian menanyai saya. Sementara seorang petugas Israel hanya mengawasi di belakang mereka. Pertanyaan-pertanyaan keamanan standar tapi terasa lain, karena diajukan menjelang naik pesawat.

Di antaranya; apakah saya mengepak barang sendiri atau dibantu orang lain, apakah saya membawa barang yang bisa meledak atau cairan, apa tujuan saya ke Israel, apakah saya pernah datang ke negara-negara konflik (peperangan), dan seterusnya. Saya juga diminta membuka dan memperlihatkan isi tas-tas yang saya bawa. Alhamdulillah, mulus, tak terlalu ribet!

Tempat check in El Al ini kecil, terpisah dari maskapai-maskapai penerbangan lainnya. Counter-nya pun cuma ada dua. Mini sekali. Antriannya juga tak terlalu banyak.

Tak berapa lama setelah proses wawancara disini selesai, datang seorang petugas lainnya. Pria tinggi plontos ini juga terlihat sepertinya petugas imigrasi Israel. Dia mengajak saya ikut ke ruang tunggu boarding. Tapi sekali lagi, setelah melalui pemeriksaan barang-barang bawaan. "Antriannya sangat panjang. Kami sudah menghubungi Kedubes Israel disini (Bangkok), dan kami diminta membantu Anda," ujarnya.

Saya pun mengikuti petugas ini. Setibanya di dekat boarding gate, memang terlihat lebih banyak calon penumpang yang berkumpul. Tapi menurut saya ini biasa-biasa saja, tak mengagetkan, meski kursi-kursi ruang tunggu penuh terisi. Bersama beberapa rekan lainnya, saya berniat menunggu sambil duduk-duduk lesehan. Belum sempat duduk, si petugas tadi muncul lagi, "Ikuti saya," panggilnya.

Kami pun turun ke ruangan bawah melalui tangga berkelok-kelok. Astaga! Ternyata antrian ke bawahnya justru amat panjang! Mungkin sekitar seratusan orang lebih ngantri berbelok-belok. Kami dibawa melewati semua antrian ini. Tentu tak nyaman rasanya. Mereka antri, kami malah menerobos lewat.

Setidaknya, dua petugas Thailand yang menjaga di antrian ini menyetop kami. Tapi si petugas keamanan Israel ini dengan mudahnya menerobos sembari bilang, "Nggak, nggak, mereka harus ikut saya," ujarnya.

Kami pun terus menerobos panjangnya antrian ini, hingga sampai ke sebuah ruangan. Di sini, semua barang bawaan diserahkan untuk digeledah petugas di ruangan terpisah dan tertutup. Sementara barang bagasi, kami belum tahu, apakah juga diperlakukan seperti ini. Artinya, kalau digeledah, kira-kira bagaimana caranya, karena umumnya bagasi dikunci.

Sembari menunggu, pemeriksaan keamanan juga dilakukan ke segala yang melekat di badan, termasuk sepatu, sebagaimana standar keamanan bandara internasional umumnya. Sekitar setengah jam, proses pemeriksaan disini selesai. Tas-tas milik saya dikembalikan, dan kembali ke ruang tunggu boarding gate.

Melihat catatan sejarahnya, El Al memang merupakan maskapai paling aman di  dunia. Itulah yang setidaknya dimuat di International Business Times, media yang berbasis di the Financial District of Lower Manhattan, New York City, 20 Februari 2014 lalu. Sejak didirikan pada 1948, maskapai ini tak pernah mengalami kecelakaan jatuh sekali pun, dan hanya pernah sekali dibajak, yakni pada 1968.

Meski demikian, maskapai ini juga sering menjadi sasaran teror, baik di darat maupun saat terbang. Misalnya, pada 4 Juli 2002, enam warga Israel ditembak mati saat akan check in di konter El Al di Los Angeles International  Airport AS. Kemudian pada 23 Oktober 2003, penerbangan El Al dari  Tel Aviv ke Los Angeles terpaksa dialihkan karena diancam akan  diledakkan di udara. "Semoga penerbangan saya kali ini aman dan selamat hingga balik kembali ke Jakarta," saya berdoa.

Waktu rasanya berjalan cepat disini. Tak terasa, terdengar panggilan kepada para calon penumpang pesawat El Al dengan nomor penerbangan LY82 untuk boarding melalui Gate E7. Di pesawat Boeing 747-400 ini, saya duduk di kursi nomor 50B, di tengah. Tapi rekan di sebelah malah menyilakan saya duduk di samping jendela, karena dia ingin lebih mudah kalau harus bolak-balik ke toilet. Kebetulan, saya juga suka ngintip ke luar pesawat lewat jendela.

Setiap pengumuman di dalam pesawat, selalu diawali dengan bahasa Ibrani, bahasa resmi Israel (di samping bahasa Arab)  baru kemudian diikuti bahasa Inggris. Sesuai jadwal, sekitar pukul 00.20, pesawat El Al take off,  menembus kegelapan malam langit Kota Bangkok, rasanya segelap bayangan saya tentang Israel-Palestina, menuju ketinggian 34.000-an kaki, atau sekitar di ketinggian 10 km.

Saat saya terbangun, layar monitor di depan menunjukkan jam 10.10 pagi waktu Bangkok (Jakarta). "Wah, kesiangan shalat Shubuh!?" Tapi di monitor ditampilkan, waktu Tel Aviv masih menunjukka jam 05.10 Subuh. Dari jendela kiri pesawat saya intip, di luar masih gelap gulita.

Purnama bersinar cerah bulat sempurna, seakan bertengger persis di sayap kiri pesawat, menemani penerbangan kami beberapa saat, memantulkan cahanya ke hamparan awan di bawah. Saya langsung shalat Shubuh.Nikmat juga rasanya, shalat Shubuh di atas Laut Merah, sesaat setelah melewati Kota Thaif dan Makkah, Saudi Arabia, di arah Timur, bagian kanan pesawat. (Bersambung)


Penulis adalah wartawan Rakyat Merdeka. Pada 26 hingga 31 Oktober lalu penulis mengikuti The Rambam Israel Fellowship Program di Israel, yang disponsori oleh Australia/Israel & Jewish Affairs Council (AIJAC).

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA