Meskipun posisi Al-Qur'an sebagai sumber utaÂma hukum dan fikih Islam, tetapi di dalam peneraÂpan ayat-ayat Al-Qur'an tidak bebas dari perdeÂbatan. Al-Qur'an terkadang turun dalam bentuk kalimat umum (lafz al-'am) sementara ada hadis yang secara spesifik menjelaskan suatu kasus. Di sinilah pangkal perbedaan pendapat para ulaÂma, karena ada yang mengedepankan teks ayat sekalipun bersifat umum, sementara ada ulama mengedepanka hadis yang bersifat khusus terhÂadap suatu kasus.
Demikian pula hadis Nabi. Para ulama sepÂakat menempatkannya di urutan kedua sesuÂdah Al-Qur'an tetapi problemnya sering muncul karena terkadang ada suatu hadis lahir hanya untuk menanggapi suatu persoalan khusus. Belum lagi hadis dikenal ada yang shahih ada yang lemah (dha'if). Ke-dha'if-an hadis juga bermacam-macam dan bertingkat-tingkat. SeÂjumlah ulama mengedepankan ijma’ atau qiyas ketimbang hadis yang bersifat khusus, semenÂtara lainnya tetap lebih mengedepankan hadis, meskipun memiliki kelemahan dari segi matan atau sanad.
Penerapan sumber hukum ijma' juga tidak luput dari kritikan ulama lain. Ada ulama menÂcukupkan hanya dua saja, yantu Al-Qur'an dan hadis. Untuk penerapannya bisa melalui ijma', qiyas, istihsan, atau mashlahat mursalah. PerÂsoalan ijma' sering muncul manakala kualitas keulamaan yang melakukan ijma' itu dipertanÂyakan kredibilitasnya. Karena itu ada ulama lebih mengedepankan hadis, sekalipun dhaif, ketimbang ijma'.
Demikian pula halnya dengan qiyas. Qiyas atau analogy, sering juga dipersoalkan dengan persoalan metodologi qiyas. Sebagian ulama mengedepankan ijma' ketimbang qiyas, dan lainnya mengedepankan qiyas dari pada sumÂber-sumber fikih lainnya selain Al-Qur'an dan Hadis. Imam Syafi' termasuk ulama yang leibh mengunggulkan qiyas daripada ijma' para ulaÂma, mesipun ia juga tetap memegang sumber-sumber fikih lainnya.
Istihsan kebalikan dari qiyas. Karena ada hal tertentu maka ada satu peristiwa yang sesungÂguhnya sudah ada payung hukumnya namun kasus tersebut dikecualikan karena ada alasan lain. Sedangkan 'urf sudah lazim menjadi sumÂber hukum untuk menginsi kekosongan hukum. Ini semua menunjukkan betapa kaya dan elasÂtisnya hukum fikih. ***