Sumber-sumber Fikih

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/nasaruddin-umar-5'>NASARUDDIN UMAR</a>
OLEH: NASARUDDIN UMAR
  • Jumat, 09 Oktober 2015, 10:17 WIB
Sumber-sumber Fikih
nasaruddin umar/net
SETIAP hukum memiliki ber­bagai sumber. Sumbr-sum­ber fikih Islam yang sering dianalogikan dengan hukum Islam ialah Al-Qur'an, Hadis, persepakatan ulama (ijma'), analogy (qiyas), pemberian pengecualian hukum terh­adap suatu peristiwa kare­na alasan tertentu (istihsan), penetapan hukun terhadap suatu peristiwa yang belum ada ke­tentuan hukumnya (mashlahat mursalah), dan tradisi luhur ('urf). Ada juga ulama menambah­kan secara khusus tradisi ahli Madinah ('amal ahl al-Madinah) sebagaimana pendapat Imam Malik. Inilah sumber-sumber fikih Islam di da­lam lintasan sejarah dunia Islam. Tata urutan sumber-sumber tersebut tidak sama menu­rut para ulama. Yang sama ialah penempatan urutan pertama dan kedua, yaitu Al-Qur'an dan hadis. Yang lainnya para ulama majtahid memi­liki pendapatnya masing-masing.

Meskipun posisi Al-Qur'an sebagai sumber uta­ma hukum dan fikih Islam, tetapi di dalam penera­pan ayat-ayat Al-Qur'an tidak bebas dari perde­batan. Al-Qur'an terkadang turun dalam bentuk kalimat umum (lafz al-'am) sementara ada hadis yang secara spesifik menjelaskan suatu kasus. Di sinilah pangkal perbedaan pendapat para ula­ma, karena ada yang mengedepankan teks ayat sekalipun bersifat umum, sementara ada ulama mengedepanka hadis yang bersifat khusus terh­adap suatu kasus.

Demikian pula hadis Nabi. Para ulama sep­akat menempatkannya di urutan kedua sesu­dah Al-Qur'an tetapi problemnya sering muncul karena terkadang ada suatu hadis lahir hanya untuk menanggapi suatu persoalan khusus. Belum lagi hadis dikenal ada yang shahih ada yang lemah (dha'if). Ke-dha'if-an hadis juga bermacam-macam dan bertingkat-tingkat. Se­jumlah ulama mengedepankan ijma’ atau qiyas ketimbang hadis yang bersifat khusus, semen­tara lainnya tetap lebih mengedepankan hadis, meskipun memiliki kelemahan dari segi matan atau sanad.

Penerapan sumber hukum ijma' juga tidak luput dari kritikan ulama lain. Ada ulama men­cukupkan hanya dua saja, yantu Al-Qur'an dan hadis. Untuk penerapannya bisa melalui ijma', qiyas, istihsan, atau mashlahat mursalah. Per­soalan ijma' sering muncul manakala kualitas keulamaan yang melakukan ijma' itu dipertan­yakan kredibilitasnya. Karena itu ada ulama lebih mengedepankan hadis, sekalipun dhaif, ketimbang ijma'.

Demikian pula halnya dengan qiyas. Qiyas atau analogy, sering juga dipersoalkan dengan persoalan metodologi qiyas. Sebagian ulama mengedepankan ijma' ketimbang qiyas, dan lainnya mengedepankan qiyas dari pada sum­ber-sumber fikih lainnya selain Al-Qur'an dan Hadis. Imam Syafi' termasuk ulama yang leibh mengunggulkan qiyas daripada ijma' para ula­ma, mesipun ia juga tetap memegang sumber-sumber fikih lainnya.

Istihsan kebalikan dari qiyas. Karena ada hal tertentu maka ada satu peristiwa yang sesung­guhnya sudah ada payung hukumnya namun kasus tersebut dikecualikan karena ada alasan lain. Sedangkan 'urf sudah lazim menjadi sum­ber hukum untuk menginsi kekosongan hukum. Ini semua menunjukkan betapa kaya dan elas­tisnya hukum fikih. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA