MENGENAL FIKIH KEBHINEKAAN (41)

Memproteksi Korupsi

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/nasaruddin-umar-5'>NASARUDDIN UMAR</a>
OLEH: NASARUDDIN UMAR
  • Rabu, 07 Oktober 2015, 09:37 WIB
Memproteksi Korupsi
nasaruddin umar/net
FIKIH kebihinnekaan gar­us mencegah korupsi dan segala macam bentuk pe­nyelewengan. Tujuan se­mula Fikih sesungguhnya untuk mencegak terjadinya ketidak adilan dan ketimpa­ngan sosial sekaligus men­jatuhkan sanksi keras terh­adap para pelaku criminal. Banyak kasus menarik untuk diperhatikan, ba­gaimana sikap Nabi Muhammad saw terhadap pelaku korupsi khususnya pemberi sogok atau gratifikasi (risywah). Abu Humaid al-Sa'idi r.a. berkata: "Nabi Muhammad Saw memperkerja­kan seorang laki-laki dari suku al-Azdi bernama Ibnu Lutbiah sebagai pemungut zakat. Ketika datang dari tugasnya, dia berkata: Hadza la­kum wa hadza ahdiya liy (Ini untuk kalian se­bagai zakat dan ini dihadiahkan untukku). Nabi menanggapi kasus ini dengan mengatakan: "Kalau engkau duduk saja di rumah ayahnya atau ibumu menunggu, apakah ada yang akan memberikan kepadamu hadiah? Dan demi Dzat yag jiwaku di tangan-Nya, tidak seorang­pun yang mengambil sesuatu dari zakat ini, ke­cuali dia akan datang pada hari kiamat dengan dipikulkan di atas lehernya berupa unta yang berteriak, atau sapi yang melembuh atau kamb­ing yang mengembik". Kemudian beliau men­gangkat tangannya, sehingga terlihat oleh kami ketiak beliau yang putih dan (berkata,): "Ya Al­lah bukan kah aku sudah sampaikan, bukankah aku sudah sampaikan", sebanyak tiga kali Demi Allah yang jiwa Muhamad di tangan-Nya tiada seorang yang menyembunyikan sesuatu (koru­psi), melainkan ia akan menghadap di hari kia­mat memikul di atas lehernya.

Sikap Nabi terhadap pemungut zakat itu sangat tegas. Hadiah yang diperolehnya itu bukan had­iah dalam arti normal tetapi sudah masuk grati­fikasi katrena memiliki keterkaitan dengan tugas dan fungsinya sebagai kolektor zakat. Nabi den­gan tegas mengancam api neraka bagi mereka yang melakukan praktek gratifikasi, sebagaimana dilakukan salahseorang sahabatnya. Logika yang digunakan Nabi sangat tepat. Jika yang bersang­kutan hanya berdiam di rumah, tidak berkeliling dengan menggunakan atribut atau identitas oen­erima zakat, maka sudah barangtentu tidak akan memperoleh hadiah apapun.

Jika kita hubungkan dengan definisi gratifika­si sebagaimana dijelaskan di dalam Penjelasan Pasal 12B Ayat (1) UU No.31 Tahun 1999 junc­to UU No.20 Tahun 2001, bahwa : "Yang dimak­sud gratifikasi ialah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elek­tronik atau tanpa sarana elektronik", maka ka­sus shabat di atas masuk kategori gratifikasi.

Dalam UU 20/2001 setiap gratifikasi yang diper­oleh pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap suap. Langkah yang harus segera di­lakukan bagi siapa saja yang menerima gratifikasi ialah yang bersangkutan harus segera melapork­annya kepada KPK yang menurut peraturan pal­ing lambat 30 hari kerja. Seseorang tidak boleh seenaknya menyederhanakan gratifikasi menjadi hadiah, karena hadiah, sogok, dan gratifikasi su­dah jelas perbedaannya, sebagaimana dibahas dalam artikel terdahulu.

Belajar dari sikap tegas Nabi terhadap para pelaku korupsi sebagaimana disebutkan di atas, maka sudah selayaknya fikih kebihinnekaan nantinya identik dengan fikih anti korupsi. Pera­turan dan perundang-undangan yang berhubun­gan penindakan dan pencegahan terhadap para koruptor yang sudah ada dan cukup efektif membatasi laju pekmebangan koruspi di dalam masyarakat perlu disinergikan dengan berbagai pihak, khususnya bagi sesame aparak hukum. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA