MENGENAL FIKIH KEBHINEKAAN (34)

Perlu Ushul Fikih Kebhinnekaan

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/nasaruddin-umar-5'>NASARUDDIN UMAR</a>
OLEH: NASARUDDIN UMAR
  • Rabu, 30 September 2015, 09:12 WIB
Perlu Ushul Fikih Kebhinnekaan
NASARUDDIN UMAR/NET
MUNGKIN kelihatan aneh tetapi topik ini penting. Tidak mungkin kita membangun sebuah sistem etika baru dengan mngubah sistem etika lama tanpa melakukan peninjauan secara komp­erhensif dasar-dasar pe­mikiran (ushuliyyah). Yang dimaksud ushuliyyah di sini tidak lain adalah kaedah-kaedah pokok yang digunakan untuk memproduksi sistem norma baru (al-istinbath al-hukm) di dalam masyarakat. Mungkin tidak mesti melahirkan kaedah-kaedah usul (qawa'id al-ushul) baru tetapi cukup mene­kankan sejumlah kaedah yang serasi dengan kondisi obyektif bangsa Indonesia.

Kaedah-kaedah usul penting di dalam upa­ya membaca perubahan sosial yang berpotensi melahirkan perubahan hukum, sebagaimana diungkapkan dalam sebuah kaedah: Al-hukm yaduru ma'a illatih wujudan wa 'adaman (Hu­kum mengikuti illatnya, baik mengadakan atau meniadakannya). Jika terjadi sesuatu kondisi di dalam masyarakat menuntut adanya hukum un­tuk mengaturnya, maka di situ diperlukan adan­ya hukum. Jika kondisi itu sudah hilang maka hukum yang diadakan untuk mengaturnya juga otomatis hilang.

Menurut Imam Al-Syatibi di dalam kitab Al-Muwafaqat-nya, kaedah-kaedah ushul dalam agama bersifat definitif (qath'iyyah), bukan­nya hipotetis (dzanniyyah), karena dalil-dalil tersebut didasarkan kepada semangat umum (kulliyyāt) syariah yang juga bersifat qath'iyyah. Rekayasa sosial yang bersifat kebangsaan di negeri ini perlu dicarikan legitimasi ushuliyyah agar menjadi lebih efektif di dalam pikiran dan hati warga bangsa, khususnya umat Islam. Jika pendekatannya hanya melulu perndekatan hu­kum positif, tanpa mendapatkan legitimasi ush­uliyyah dikhawatirkan tidak atau kurang legi­timed di dalam masyarakat.

Menarik untuk diperhatikan, agenda-agenda Muktamar dan Munas NU selalu juga digunakan untuk membahas persoalan aktual (waqi'iyyah), terutama menyangkut masalah-masalah yang sifatnya kontroversi (dharuriyyah). Hasil kepu­tusan Muktamar dan Munas NUterhadap per­soalan yang muncul menenangkan hati warg­anya. Bahkan selalu dijadikan dalil bagi bagi warganya di dalam menjalankan kehidupan sosial kemasyarakatan. Tidak heran jika ke­beradaan Muktamar dan Munas NU selalu di­nanti dan diminati para warganya.

Kaedah ushul sesungguhnya tidak identik dengan ushul fikih, tetapi keduanya tidak bisa dipisahkan. Bahkan dalam penerapan hukum dari dalil-dalil yang ada mekanisme ushul fikih bekerja dan salahsatu kekuatan dan saranan­ya ialah kaedah-kaedah ushul. Para ulama, khususnya yang tergabung di dalam majlis-ma­jlis fatwa, tentu menguasai persoalan ini. Amat riskan seseorang tidak mengerti ushul fikih di­tanya oleh masyarakat tentang suatu perso­alan terus memberikan jawaban dengan kes­impulannya sendiri setelah membaca ayat atau hadis. Penerapan ayat atau hadis tidak serta merta harus diterapkan dalam setiap kasus. Ayat atau hadis yang dilibatkan terlebih dahu­lu harus difahami apa sabab nuzul atau sabab wurudnya, apakah ayat atau hadis itu bersifat ‘am atau khash, muthlaq atau muqayyad, Apak­ah ayat atau hadis itu tidak ada yang men-takh­shih-nya?

Untuk menyiapkan kaedah-kaedah ushul ter­hadap Fikih Kebhinnekaan memang sebaiknya ada semacam konsorsium di antara para ahli fikih dibantu dengan kelompok ahli dalam disi­plin ilmu yang relevan dengan persoalan yang muncul di dalam masyarakat. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA