SERINGKALI kita membiÂcarakan pembaharuan tetapi hanya di sektor hilir, padahal itu hanya merupakan akibat dari sebuah sebab di sekÂtor hulu. Kita hanya membiÂcarakan suatu akibat tetapi sebab yang menyebabkan akibat itu tidak disentuh, akibatnya persoalan tidak selesai secara tuntas. Salahsatu contohnya ialah Fikih Perempaun. Banyak di antara para pemikir kita mempertahankan status quo denÂgan berasumsi bahwa memang seperti itu kata kitab kuning. Padahal, kitab-kitab kuning tidak lain hanya interpretase kultural terhadap kitab suci. Kitab-kitab kuning sesungguhnya pada umumnya disusun di dalam kurun waktu beraÂbad-abad silam dan di dalam masyarakat Timur Tengah yang kulturnya bercorak continental. Tantangan kita sekarang bagaimana melahirÂkan kitab fikih yang bercorak keindonesiaan, yang memiliki corak kultur maritim. Al-Qur'an dan hadis selalu membuka diri untuk diinterpreÂtasi dan diartikulasi berdasarkan kultur lokal.
Samasekali kita tidak bermaksud untuk meng-absurd-kan kitab-kitab kuning, apalagi merendahÂkan para ulama yang menyusunnya. Tokoh pendiri mazhab adalah orang-orang terbaik pada zamanÂnya dan mungkin sejarah sulit mencetak ulama-ulama sekaliber itu. Namun demi untuk memenuhi perasaan keadilan kemanusiaan, sudah saatnya menyusun sebuah fikih yang bisa memenuhi perasÂaan keadilan, terutama kaum perempuan yang seÂlama ini sering merasa disobordinasi oleh pemikiran keagamaan konvensional. Melahirkan fikih kontemÂporer tidak ada larangan dari mana pun. Para ulaÂma pendiri mazhab sesungguhnya juga tidak perÂnah memprediksi karya-karyanya akan dilegitimasi menjadi mazhab Negara atau mazhab rezim terÂtentu. Bahkan mereka dengan tawadhu membuka peluang pikirannya untuk diktritisi.
Penulis di sini mengusulkan reartikulasi seÂjumlah ajaran Islam yang selama ini hanya muncul di atas kertas tetapi tidak terimplemenÂtasikan secara actual. Fakta menunjukkan seÂjumlah norma-norma hukum fikih tidak bisa ditÂerapkan di dalam masyarakat, bukan karena masyarakat kita sudah megalami krisis keimanÂan tetapi mereka hdup di dalam sebuah dunia yang rasional dan fragmatis, sehingga mereka dituntut untuk beragama secara rasional dan berkemanusiaan. Jika sebagian umat kita menÂinggalkan norma-norma hukum sebagaimana dituangkan di dalam kitab-kitab fikih bukan beÂrarti mereka dengan sadar meninggalkan ajaÂran Al-Qur'an dan hadis. Mereka yakin bahwa solusi yang selama ini dilakukan dengan meÂmenuhi perasaan keadilan dianggap itu sudah qur'ani. Contoh, betapa banyak orang mewarisÂkan hartanya tidak seperti konsep Fikih MawarÂis (Hukum Kewarisan) tetapi melalui persepakÂatan antara keluarga atau para ahli waris.
Konsep Reaktualisasi yang pernah digagas oleh Prof. Munawir Syazali sayang sekali agak prematur, tidak disusun sedemikian "logic" seÂhingga menuai banyak tantangan. Apa yang diÂgagas beliau sesungguhnya bukan untuk menÂinggalkan Al-Qur'an lalu diganti dengan pikiran humanism, tetapi maksud beliau tidak lain untuk menciptakan konsep penerapan (tathbiq) huÂkum yang lebih sesuai perasaan keadilan di daÂlam masyarakat. Sayang sekali belum disusun kerangka ushuliyyah pemikirannya terus dilonÂtarkan, sehingga memang konsepnya menjadi tidak jelas. Jika kita akan merubah konsep fikih maka yang terlebih dahulu harus disiapkan ialah kerangka ushul fikih yang kemudian akan diguÂnakan sebagai metodologi (manhaj al-tathbiq) di dalam memproduksi hukum-hukum baru. Para mujaddid terdahulu seperti menarik benang dari tepung. Mereka berhasil merubah suatu ketenÂtuan tanpa menimbulkan ketegangan karena seÂcara konsepsional betul-betul telah dipersiapkan. Dengan kata lain, mereka mereka tidak saja fasih berbicara dekonstruksi tetapi sepasih itu juga meÂnyiapkan konsep rekonstruksinya. ***
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.