Suksesi kepemimpinan Nabi melalui musyawarah terbuka, dihadiri seluruh komponen, baik komponen-komponen golongan Anshar maupun Muhajirin. Pergantian Abu Bakar melalui wasiyat meskipun tidak mengikat. Pergantian Umar melaÂlui formatur. Pergantian Utsman melalui formatur terbatas. Pergantian Ali melalui pengambil alihan. Suksesi-suksesi selanjutnya kembali lagi seperti pra Islam, suksesi kepemimpinan dilakukan seÂcara turun temurun, baik oleh dinasti Mu'awiyah maupun dinasti Abbasiyah. Suksesi secara demokrasi sejati di dalam dunia Islam, secara deÂfacto dan dejure diawali dalam era Presiden SBY di Indonesia, di mana seluruh rakyat melakukan pemilihan secara langsung pemimpin dan kepala negaranya. Pola suksesi kepemimpinan yang diÂrintis Indonesia ini diapresiasi oleh negara-negara mayoritas berpenduduk muslim. Langsung atau tidak langsung, trend suksesi kepemimpinan di Indonesia mengispirasi terjadinya 'Badai Gurun' (Arabs Storms), dimana sejumlah negara ‘dipakÂsa’ menjadi negara demokrasi oleh rakyatnya.
Tidak ada dasar hukum yang dilanggar denÂgan pola suksesi demokrasi. Al-Qur'an tidak memberikan penjelasan tentang tata cara peÂnentuan, pemilihan, dan penetapan pemimpin umat atau kepala pemerintahan. Rasulullah sendiri juga tidak pernah memberikan wasiÂyat atau petunjuk tentang proses pergantian kepemimpinan di dalam Islam. Sampai saat-saat terakhir kehidupannya pun tidak memberiÂkan statemen politik. Ini semua pertanda bahÂwa urusan suksesi adalah urusan kontemporer duniawi, yang dapat dilakukan dan dipilih sendiÂri oleh masyarakat dan umat berdasarkan kebuÂtuhan obyektifnya. Islam hanya menggariskan musyawarah jalur terbaik dalam menyelesaikan segala hal. Sistem demokrasi lebih dekat kepaÂda system syura daripada system monarki.
Terbatasnya ayat-ayat Al-Qur'an membicaraÂkan soal hidup kemasyarakatan umat, termasuk politik suksesi, menurut Prof. Harun Nasution, itu banyak hikmahnya. Diantaranya masyarakat selalu dinamis dan senantiasa mengalami peÂrubahan dan berkembang mengikuti peredaran zaman. Apa jadinya jika peraturan dan hukum absolut yang mengatur masyarakat terlalu banÂyak apalagi terperinci, maka sudah barangtentu dinamika masarakat akan menjadi kaku dan terÂikat. Dengan kata lain perkembangan masyarakat akan menjadi terbelenggu oleh aturan dan manuÂsia akan kehilangan kemerdekaannya.
Naluri masyarakat menghendaki agar ayat-ayat yang mengatur masyarakat jumlahnya sedikit agar lebih supel mengadaptasikan diri denÂgan zaman. ***