MENGENAL FIKIH KEBHINEKAAN (23)

Suksesi Kepemimpinan

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/nasaruddin-umar-5'>NASARUDDIN UMAR</a>
OLEH: NASARUDDIN UMAR
  • Jumat, 18 September 2015, 10:10 WIB
Suksesi Kepemimpinan
nasaruddin umar/net
rmol news logo Fikih Islam sangat be­ragam di dalam membi­carakan suksesi dan pola kepemimpinan. Hal ini tidak terlepas dari kenyataan se­jarah dunia Islam semen­jak suksesi kepemimpinan Nabi, disusul para saha­bat, para tabi'in, tabi' tabi'in, hingga saat ini, tidak pernah menerapkan pola seragam. Memang menarik untuk dikaji, mengapa konsep suksesi yang selalu menjadi isu kontemporer tidak pernah diuraikan secara khusus di dalam Islam. Al-Qur’an dan hadis sangat terbatas membicara­kan hal ini. Mengapa Islam tidak mewariskan model suksesi? Mengapa hal yang sepenting ini tidak mendapatkan perhatian khusus di da­lam Islam? Apakah ini pertanda Islam membu­ka diri untuk memberikan pengakuan kepada berbagai pola suksesi yang hidup di dalam se­tiap masyarakat? Atau konsep akhlak berpolitik secara holistik sudah dianggap cukup dijadikan pedoman suksesi?

Suksesi kepemimpinan Nabi melalui musyawarah terbuka, dihadiri seluruh komponen, baik komponen-komponen golongan Anshar maupun Muhajirin. Pergantian Abu Bakar melalui wasiyat meskipun tidak mengikat. Pergantian Umar mela­lui formatur. Pergantian Utsman melalui formatur terbatas. Pergantian Ali melalui pengambil alihan. Suksesi-suksesi selanjutnya kembali lagi seperti pra Islam, suksesi kepemimpinan dilakukan se­cara turun temurun, baik oleh dinasti Mu'awiyah maupun dinasti Abbasiyah. Suksesi secara demokrasi sejati di dalam dunia Islam, secara de­facto dan dejure diawali dalam era Presiden SBY di Indonesia, di mana seluruh rakyat melakukan pemilihan secara langsung pemimpin dan kepala negaranya. Pola suksesi kepemimpinan yang di­rintis Indonesia ini diapresiasi oleh negara-negara mayoritas berpenduduk muslim. Langsung atau tidak langsung, trend suksesi kepemimpinan di Indonesia mengispirasi terjadinya 'Badai Gurun' (Arabs Storms), dimana sejumlah negara ‘dipak­sa’ menjadi negara demokrasi oleh rakyatnya.

Tidak ada dasar hukum yang dilanggar den­gan pola suksesi demokrasi. Al-Qur'an tidak memberikan penjelasan tentang tata cara pe­nentuan, pemilihan, dan penetapan pemimpin umat atau kepala pemerintahan. Rasulullah sendiri juga tidak pernah memberikan wasi­yat atau petunjuk tentang proses pergantian kepemimpinan di dalam Islam. Sampai saat-saat terakhir kehidupannya pun tidak memberi­kan statemen politik. Ini semua pertanda bah­wa urusan suksesi adalah urusan kontemporer duniawi, yang dapat dilakukan dan dipilih sendi­ri oleh masyarakat dan umat berdasarkan kebu­tuhan obyektifnya. Islam hanya menggariskan musyawarah jalur terbaik dalam menyelesaikan segala hal. Sistem demokrasi lebih dekat kepa­da system syura daripada system monarki.

Terbatasnya ayat-ayat Al-Qur'an membicara­kan soal hidup kemasyarakatan umat, termasuk politik suksesi, menurut Prof. Harun Nasution, itu banyak hikmahnya. Diantaranya masyarakat selalu dinamis dan senantiasa mengalami pe­rubahan dan berkembang mengikuti peredaran zaman. Apa jadinya jika peraturan dan hukum absolut yang mengatur masyarakat terlalu ban­yak apalagi terperinci, maka sudah barangtentu dinamika masarakat akan menjadi kaku dan ter­ikat. Dengan kata lain perkembangan masyarakat akan menjadi terbelenggu oleh aturan dan manu­sia akan kehilangan kemerdekaannya.

Naluri masyarakat menghendaki agar ayat-ayat yang mengatur masyarakat jumlahnya sedikit agar lebih supel mengadaptasikan diri den­gan zaman. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA