MEMBERIKAN pelayanan sosial kepada seluruh warÂga adalah wajar. Akan tetapi bagaimana kalau pelayanan itu bersentuhan dengan uruÂsan ibadah? Salahsatu maÂteri yang diharapkan dimuat di dalam Fikih KebhinneÂkaan (FK) ialah masalah pelayanan umat. SesungÂguhnya persoalan ini sudah muncul semenÂjak Nabi. Dalam suatu riwayat dijelaskan bahÂwa ketika paman Nabi Muhammad Saw, yakni Abu Thalib wafat, beliau memerintahkan Ali bin Abi Thalib untuk memandikan orang tuanÂya. (HR. Baihaqi). Seperti kita ketahui bahwa orang-orang paling dekat Nabi belum sempat mengucap dua kalimat syahadat hingga wafat ialah kakeknya, Abdul Muthalib dan pamannya, Abu Thalib. Keduanya sangat menyayangi Nabi sepenuh hati. Ketika keduanya meninggal Nabi betul-betul sangat sedih karena keduanya beÂlum sempat mengucapkan dua kalimat syahaÂdat walaupun sangat meyakinkan keduanya suÂdah sangat islami. Ada juga kerabat dekat Nabi tidak sempat mengucapkan syahadat tetapi Nabi tidak bersedih, seperti Abu Jahal, yang sepanjang hidupnya selalu berusaha untuk melenyapkan Nabi. Riwayat ini dijadikan dalil bolehnya seorang muslim mengurus jenazah orang-orang non-muslim, termasuk memandiÂkannya, sebagaimana petunjuk Nabi diberikan kepada Ali Ibn Abi Thalib.
Masalahnya ialah apakah boleh menshalati orang-orang non-muslim? Pertanyaan ini masih kontroversi karena ada hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim, ketika Nabi mendengar wafatnya Raja Najasy, maka Nabi memerintahkan sahabatnya untuk shalat gaib empat kali takbir di masjidnya untuk keÂmatian raja Habasyah tersebut, seraya memoÂhonkan doa (HRBukhari No. 3880-3881). RiÂwayat dari jalur Imam Muslim juga hampir sama redaksinya.
Meskipun hadisnya shahih tetapi masih tetap kontroversi karena satu sisi Nabi memerintahÂkan menshalati orang yang belum jelas keislaÂmannya, sementara ada ayat Al-Qur'an yang melarang untuk menshalati orang non-musÂli, yaitu: "Dan janganlah kamu sekali-kali meÂnyembahyangkan (jenazah) seorang yang mati di antara mereka, dan janganlah kamu berdiri (mendoakan) di kuburnya. Sesungguhnya merÂeka telah kafir kepada Allah dan Rasul-Nya dan mereka mati dalam keadaan fasik". (Q.S. al-Taubah/9:84).
Kontroversi lainnya ialah apakah Raja NaÂjasy sudah muslim atau belum? Sebagian ulaÂma mengatakan formalnya belum muslim tetapi rasa cintanya terhadap Islam dan Nabi MuhamÂmad sudah seperti umat Islam lainnya. Hanya saja beliau dikelilingi warga non-muslim maka beliau tidak menegaskan keislamannya. Ulama lainnya mengatakan beliau sudah muslim dan juga sudah bersyahadat hanya belum semÂpat menjalankan syari'ah Islam. Pendapat lain mengatakan, shalat gaib seperti ini hanya unÂtuk Raja Najasy sendiri tidak untuk orang lain, mengingat sejarah panjang Najasy yang sudah mempertaruhkan jiwa-raganya untuk membela kepentingan Islam di negerinya, sehingga Nabi memberikan apresiasi khusus kepadanya. Raja Najasy betul-betul terpesona terhadap Islam dan Nabi Muhammad yang diperkenalkan oleh kedua tokoh ini. Bahkan ia menjanjikan kerÂjasama khusus dengan Nabi Muhammad Saw. Belum sampai terwujud semuanya akhirnya ia meninggal. Nabi pun mengapresiasi dengan menganjurkan sahabatnya untuk shalat gaib untuknya. ***
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.