MENGENAL FIKIH KEBHINEKAAN (20)

Pelayanan Ibadah Kepada Non-Muslim

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/nasaruddin-umar-5'>NASARUDDIN UMAR</a>
OLEH: NASARUDDIN UMAR
  • Rabu, 16 September 2015, 09:26 WIB
Pelayanan Ibadah Kepada Non-Muslim
nasaruddin umar/net
MEMBERIKAN pelayanan sosial kepada seluruh war­ga adalah wajar. Akan tetapi bagaimana kalau pelayanan itu bersentuhan dengan uru­san ibadah? Salahsatu ma­teri yang diharapkan dimuat di dalam Fikih Kebhinne­kaan (FK) ialah masalah pelayanan umat. Sesung­guhnya persoalan ini sudah muncul semen­jak Nabi. Dalam suatu riwayat dijelaskan bah­wa ketika paman Nabi Muhammad Saw, yakni Abu Thalib wafat, beliau memerintahkan Ali bin Abi Thalib untuk memandikan orang tuan­ya. (HR. Baihaqi). Seperti kita ketahui bahwa orang-orang paling dekat Nabi belum sempat mengucap dua kalimat syahadat hingga wafat ialah kakeknya, Abdul Muthalib dan pamannya, Abu Thalib. Keduanya sangat menyayangi Nabi sepenuh hati. Ketika keduanya meninggal Nabi betul-betul sangat sedih karena keduanya be­lum sempat mengucapkan dua kalimat syaha­dat walaupun sangat meyakinkan keduanya su­dah sangat islami. Ada juga kerabat dekat Nabi tidak sempat mengucapkan syahadat tetapi Nabi tidak bersedih, seperti Abu Jahal, yang sepanjang hidupnya selalu berusaha untuk melenyapkan Nabi. Riwayat ini dijadikan dalil bolehnya seorang muslim mengurus jenazah orang-orang non-muslim, termasuk memandi­kannya, sebagaimana petunjuk Nabi diberikan kepada Ali Ibn Abi Thalib.

Masalahnya ialah apakah boleh menshalati orang-orang non-muslim? Pertanyaan ini masih kontroversi karena ada hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim, ketika Nabi mendengar wafatnya Raja Najasy, maka Nabi memerintahkan sahabatnya untuk shalat gaib empat kali takbir di masjidnya untuk ke­matian raja Habasyah tersebut, seraya memo­honkan doa (HRBukhari No. 3880-3881). Ri­wayat dari jalur Imam Muslim juga hampir sama redaksinya.

Meskipun hadisnya shahih tetapi masih tetap kontroversi karena satu sisi Nabi memerintah­kan menshalati orang yang belum jelas keisla­mannya, sementara ada ayat Al-Qur'an yang melarang untuk menshalati orang non-mus­li, yaitu: "Dan janganlah kamu sekali-kali me­nyembahyangkan (jenazah) seorang yang mati di antara mereka, dan janganlah kamu berdiri (mendoakan) di kuburnya. Sesungguhnya mer­eka telah kafir kepada Allah dan Rasul-Nya dan mereka mati dalam keadaan fasik". (Q.S. al-Taubah/9:84).

Kontroversi lainnya ialah apakah Raja Na­jasy sudah muslim atau belum? Sebagian ula­ma mengatakan formalnya belum muslim tetapi rasa cintanya terhadap Islam dan Nabi Muham­mad sudah seperti umat Islam lainnya. Hanya saja beliau dikelilingi warga non-muslim maka beliau tidak menegaskan keislamannya. Ulama lainnya mengatakan beliau sudah muslim dan juga sudah bersyahadat hanya belum sem­pat menjalankan syari'ah Islam. Pendapat lain mengatakan, shalat gaib seperti ini hanya un­tuk Raja Najasy sendiri tidak untuk orang lain, mengingat sejarah panjang Najasy yang sudah mempertaruhkan jiwa-raganya untuk membela kepentingan Islam di negerinya, sehingga Nabi memberikan apresiasi khusus kepadanya. Raja Najasy betul-betul terpesona terhadap Islam dan Nabi Muhammad yang diperkenalkan oleh kedua tokoh ini. Bahkan ia menjanjikan ker­jasama khusus dengan Nabi Muhammad Saw. Belum sampai terwujud semuanya akhirnya ia meninggal. Nabi pun mengapresiasi dengan menganjurkan sahabatnya untuk shalat gaib untuknya. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA