Non-Muslim Dalam Struktur Pemerintahan

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/nasaruddin-umar-5'>NASARUDDIN UMAR</a>
OLEH: NASARUDDIN UMAR
  • Selasa, 15 September 2015, 09:36 WIB
Non-Muslim Dalam Struktur Pemerintahan
nasaruddin umar/net
KEBERADAAN orang-orang non-muslim di dalam struktur masyarakat mayoritas mus­lim bukanlah suatu masalah sepanjang hal ini dicapai melalui persepakatan. Fikih Kebhinnekaan (FK) tentu juga akan memandang wa­jar hal ini. Banyak riwayat dapat dijadikan alasan, antara lain, riwayat Salman al-Farisi, seorang yang berketurunan Persia, belum muslim, ia su­dah akrab dengan Nabi. Ia sering memberikan shadaqah dan hadiah kepada Nabi dan para sahabat Nabi. Salman al-Farisi diperlakukan segaimana layaknya seorang muslim. Ia dike­nal salahseorang arsitek perang yang handal. Ia juga yang merancang benteng Nabi di Ma­dinah berupa penggalian parit (khandaq). Pada akhirnya ia masuk Islam dan ia tetap mendap­atkan kepercayaan terhadap Nabi dalam ban­yak hal, termasuk yang agak rahasia.

Soal kehadiran non-muslim di lingkungan Nabi adalah biasa. Keluarga dari salahseorang is­terinya, yaitu Maria binti Syam’un Al-Qibthiyyah al-Mishriyyah, dari kelompok Keristen Koptik Mesir. Demikian pula keluarga isteri Nabi ber­nama Shafiyah binti Hayy, ayahnya masih aktif sebagai salahseorang pemimpin Yahudi. Kelu­arga mantan suami putrinya, Zainab binti Mu­hammad juga ada yang beragama non-muslim. Yang tak bisa dilupakan ialah sepupu Khadijah, Waraqah bin Naufal ibn Asad ibn Abdul ‘Uzzah, tokoh Kristen, yang menenangkan Nabi setelah mendapatkan wahyu pertama dari Goa Hira. Sahabat-sahabat karib Nabi juga banyak non-muslim, terutama relasi bisnisnya ketika masih aktif sebagai saudagar di Mekkah. Kepercayaan dan kedekatan Nabi dengan orang-orang non-muslim, diikuti juga oleh sahabat-sahabatnya yang lain. Periode Khulafaur Rasyidin, Umar bin Khaththab banyak melibatkan non-muslim sebagai the inner circle di dalam pemerintahan­nya. Umar pernah mengangkat staf khususnya dari bangsa Romawi non-muslim.

Demikian pula Utsman bin 'Affan, Ali bin Abi Thalib, dan sejumlah raja dari kerajaan Bani Umayyah dan Bani Abbas, juga melibatkan orang-orang non-muslim di dalam pemerintahan meraka. Kebanyakan di antara mereka para dok­ter, ahli bahasa dan penerjemah, dan kalangan ahli tentang suatu keterampilan. Sejumlah nama besar non-muslim pernah berkibar di dalam pe­merintahan dunia Islam, terutama dalam pemer­intahan Bani Abbas. Di antara nama-nama terse­but ialah Hunain bin Ishaq (Kristen), Sabit bin Qurra (animisme), dan Abu Bisr Matta bin Yunus (Kristen). Pemerintahan Bani Umayyah juga ada sejumlah nama non-muslim memegang peran penting, terutama di dalam bidang pengemban­gan ilmu pengetahuan dan kedokteran.

Kehadiran orang-orang non-muslim di dalam pemerintahan dunia Islam, baik di dalam struk­tur keluarga maupun dalam struktur pemerin­tahan merupakan sesuatu yang biasa. Mulai dari periode Nabi Muhammad Saw, khulafaur Rasyidin, Bani Umayyah, Bani Abbas, sampai Bani Utsman, tidak ada masalah dalam kehad­iran orang-orang non-muslim. Justru kehadiran mereka sering dimanfaatkan untuk mendekat­kan dan menyatukan kelompok-kelompok yang berbeda di dalam masyarakat. Merangkul yang berserakan, menghimpun yang berbeda, dan mendekatkan yang jauh bisa menjadi perinsip FK. Strategi seperti ini juga sering digunakan Nabi dalam meraih sukses. Salahsatu rahasia Nabi melakukan poligami yang oleh kondisi saat itu ialah merangkul kabilah-kabilah yang jauh dengan mengawini janda pimpinan kabi­lahnya. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA