Kita tentu masih ingat di tahun 1960-an segala macam produk buatan Jepang selalu dianggap berkualitas rendah. Baik itu produk kendaraan bermotor maupun elektronik. Jepang membutuhkan waktu sekitar 30 tahun untuk merubah persepsi dunia bahwa produk-produk "Made in Japan" adalah berkualitas tinggi. Saat ini Honda, Toyota, Mazda, Sony, Mitsubishi adalah produk teknologi Jepang yang telah merambah pasar di seluruh dunia.
Sehingga tidak heran FutureBrand, sebuah lembaga yang setiap tahun melakukan penilaian "Country Brand Index" di 118 negara, menempatkan negara Jepang sebagai brand terbaik pada tahun 2014. Penilaian bukan saja pada kualitas produk, tetapi juga budaya dan tujuan wisata, sistem politik, kualitas SDM, kualitas kebijakan, potensi dan kemudahan bisnis, kualitas teknologi, dan tentu saja pengalaman orang terhadap komponen penilaian tersebut. Dengan perkataan lain, bagaimanapun kemasan dan slogan yang digunakan oleh sebuah perusahaan atau negara dalam membangun brand di masyarakat, pengalaman pengguna akan menjadi sangat penting apakah produk tersebut memang bagus atau tidak.
Hal yang mirip sedang dihadapi oleh produk produk buatan China sekarang ini. Persepsi masyarakat terhadap produk buatan China adalah murah tetapi kualitasnya rendah. Tetapi kesungguhan China dalam meningkatkan kualitas produk-produknya belakangan ini sudah mulai mengancam produk-produk dari negara lainnya. Lenovo misalnya berani mengambil alih produk komputer pribadi IBM. Produk Huwaei pun sangat bersaing di bidang teknologi telekomuikasi.
Bahkan Alibaba, ritel model Amazon.com, menjadi fenomena baru di dunia bisnis internet. Alibaba meraup 21,8 miliar dolar AS saat IPO di New York Stock Exchange. IPO ini memecahkan rekor dunia sebagai yang terbesar sepanjang sejarah. Kapitalisasi pasar perseroan sudah mencapai 230 miliar dolar AS dan lebih tinggi dari Facebook. Sehingga brand "Made in China" sudah tidak bisa dipersepsikan sebagai produk murah dan kualitas rendah.
BMW dan Mercedes melalui presisi dan kualitas teknologi yang diciptakan telah membantu kenaikan popularitas brand " Made in Germany" ke seluruh dunia. Negara Perancis juga sangat dibantu melalui produk-produk yang ditujukan untuk masyarakat kelas atas melalui Chanel, Christian Dior, Louis Vuitton, L'Oreal dan produk lainnya.
Keberhasilan sebuah produk diasosiasikan dengan citra negara ternyata dimanfaatkan juga oleh produk dari negara lain. Italia misalnya, sangat dikenal reputasinya dengan produk-produk yang berkaitan dengan mode dan gaya hidup kelas atas, seperti merek-merek Armani, Versace, Prada, Guci. Kuatnya brand produk Italia tersebut membuat perusahaan di luar Italia menciptakan produk dengan merek seperti dibuat di Italia. Misalnya produk pakaian asal Hongkong membuat merek Giordanio, dan produk Malaysia bermerek Bonia.
Selain produk atau industri yang memasuki pasar dunia, sebuah negara bisa membangun persepsinya melalui langkah-langkah lain, seperti promosi tujuan wisata dan kebudayaan, kebijakan untuk kemudahan berinvestasi, pemerintahan yang bersih dari korupsi atau ketersediaan SDM yang berkualitas. Intinya adalah melalui strategi branding, diharapkan sebuah negara mampu memperlihatkan keunikannya dibandingkan negara lainnya.
Yang sering digunakan oleh beberapa negara adalah melalui bidang pariwisata. Indonesia memiliki slogan "Pesona Indonesia atau Wonderful Indonesia". Negara-negara lain menggunakan slogan "Amazing Thailand", "Incredible India", "It's more fun in the Philippines", "Sparkling Korea" atau "Malaysia Truly Asia".
Di dalam negeri sendiri, novel dan film "Laskar Pelangi" yang ditulis oleh Andrea Hirata, secara tiba-tiba berhasil merubah persepsi daerah Belitong yang tadinya sangat dikenal dengan tambang timah dan kerusakan alam menjadi tempat tujuan wisata, budaya dan karya sastra. Pemerintah daerah pun memanfaatkan popularitas Belitong lewat "Laskar Pelangi" dengan mempersiapkan infrastruktur jalan raya yang sangat bagus. Sehingga pertumbuhan wisata lokal dan asing meningkat tajam. Wisatawan yang ke Belitong selain mengunjungi tempat wisata pantai atau lokasi pembuatan film "Laskar Pelangi", juga mengunjungi museum "Rumah Kata" karya Andrea Hirata. Ini membuktikan kreativitas karya sastra juga bisa dijadikan kekuatan dalam membangun tempat wisata sebuah daerah atau negara.
Inisiatif dalam "branding" negara telah dilakukan beberapa negara. Brunei misalnya, mulai fokus pada industri makanan dan menggunakan slogan "Brunei Halal Brand". Program ini inisiatif Menteri Industri dan SDA mengingat kekuatan Brunei sebagai negara muslim dan ingin meninggalkan ketergantungan pada minyak.
Yang paling berhasil branding negara adalah Afrika Selatan. Pemerintah Afrika Selatan secara khusus membentuk International Marketing Council (IMC) yang ditugaskan untuk membangun "brand positioning" dengan slogan "South Africa, Alive with Possibilities". Slogan ini digunakan Afrika Selatan untuk membangun kepercayaan masyarakat dalam negeri bahwa peluang untuk hidup lebih baik bisa lebih terbuka. Di samping itu slogan ini juga ditujukan kepada investor negara asing, bahwa peluang mengembangkan usaha di Afrika Selatan sangatlah besar.
IMC langsung di bawah Presiden Afrika Selatan, dibiayai negara dan anggotanya berasal dari pengusaha wisata, telekomunikasi, pertambangan, pejabat pemerintah dan pemimpin informal di masyarakat. IMC kemudian menetapkan langkah strategis dalam upaya mencapai beberapa tujuan yang ditetapkan, terutama di bidang pariwisata dan bisnis.
Salah satu sektor yang menjadi fokus Afrika Selatan untuk membangun persepsi baik tentang negaranya adalah melalui olahraga. Tahun 1995 Afrika Selatan menjadi tuan rumah Piala Dunia Rugby dan berhasil meraih gelar juara dunia. Tetapi Mandela melihat bahwa masyarakat Afrika Selatan lebih suka olahraga sepakbola. Karena itu Mandela berupaya keras untuk menjadi tuan rumah Piala Dunia yang berhasil diwujudkan pada tahun 2010.
Setelah sukses dengan branding "Alive with Possibilites", pada tahun 2012 Afrika Selatan mengganti slogannya dengan "South Africa, Inspiring New Ways". Slogan ini digunakan untuk menggambarkan keunikan Afrika Selatan yang berhasil membangun kembali negerinya sebagai negara demokrasi, tujuan wisata dan investasi. Padahal sebelumnya Afrika Selatan penuh dengan konflik antar ras dan dikuasai oleh masyarakat kulit putih.
Pentingnya sebuah negara membangun strategi branding yang terintegrasi membuat kita bertanya bagaimana dengan Indonesia? Apakah kita tetap hanya mengandalkan pariwisata sebagai ujung tombak branding Indonesia ke dunia? Dan siapakah yang menjadi penentu strategi branding negara Indonesia?
Steven Jantzen dalam bukunya "The Presidency, Congress, and the Supreme Court (1989)" menyatakan ada 7 peran Presiden di Amerika Serikat. Yaitu sebagai Chief of State (inspirator dan simbol bagi rakyatnya), Chief Executive (sebagai pemimpin seluruh aparat pemerintah), Chief Diplomat (pemimpin seluruh duta besar dan pembuat kebijakan luar negeri), Commander-In-Chief (Pemimpin Militer), Chief Legislator (Presiden bisa mempengaruhi parlemen dalam proses pembuatan UU), Chief of Party (membantu partai dalam kampanye dan memilih calon anggota kabinet dari partai), dan sebagai Chief Guardian of the Economy (melakukan segala upaya agar perekonomian tumbuh dengan baik dan kesejahteraan rakyat naik).
Namun keberhasilan Obama dua periode menjadi Presiden AS yang banyak didukung oleh media sosial yang kemudian diikuti dengan fenomena Jokowi sebagai Presiden RI ke 7 tahun 2014, maka seorang seorang Presiden, selain memiliki ketujuh peran di atas, mestinya juga memiliki peran ke delapan yaitu sebagai "Chief Marketing Officer" sebuah negara. Karena melalui kebijakan, cara berkomunikasi, dan penampilan diri yang didukung oleh media sosial maka seorang kepala negara sangat besar perannya dalam membangun reputasi sebuah negara.
Maka sebagai Chief Marketing Officer, Presiden Jokowi perlu segera menetapkan strategi branding yang terintegrasi antara kebijakan di bidang ekonomi, tujuan wisata, nilai budaya dan karya sastra, produk ekspor, dan yang tidak kalah penting adalah pemerintahan yang bersih. Karena pengalaman (experience) menjadi kunci keberhasilan dalam membangun reputasi negara, maka fokus dalam memberikan layanan terbaik ke masyarakat, investor, dan konsumen menjadi sangat penting. Kualitas produk dan layanan tersebutlah yang akan menjadi langkah penting branding Indonesia.
Seperti yang dilakukan Afrika Selatan, branding Indonesia selain untuk membangun daya saing di pasar global juga harus mampu merajut kebersamaan bagi bangsa Indonesia untuk membangun identitas nasional yang positif dalam bersikap, bertutur kata, bersahabat, berdemokrasi, bekerja, berpendidikan dan tidak korupsi. Apabila branding Indonesia berhasil, kita berharap ekspresi dunia setiap kali berinteraksi dengan Indonesia langsung berkata "WOW" yang berarti memang Indonesia negara hebat.
*Penulis adalah Sosiolog, anggota senat Indonesia Marketing Association dan tinggal di Jakarta
BERITA TERKAIT: